Mereka tidak melihat tubuh Gagak Arga, yang tadi berdiri sambil mengeluarkan bunyi mengerikan itu. Namun di tempat itu mereka melihat darah berceceran bersama kepingan -kepingan dan gumpalan-gumpalan daging yang hangus terbakar.Â
Ada yang menemukan jari saja, ada yang menemukan lengan tangan dan kaki, ada yang menemukan kepala. Mereka heran kekuatan apa yang dimiliki Sembada sehingga mampu menghancurkan musuhnya hingga seperti itu.
Tiba-tiba sorak membahana kembali terdengar ramai sekali. Sorak dari pengawal dan prajurit yang baru saja terhindar dari cengkraman maut.
"Gagak Arga tewas, Gagak Arga tubuhnya hancur." Demikianlah suara itu bersaut-sautan di tengah sawah saat matahari musim kemarau itu tenggelam di ufuk barat sana.
Waktu terus merangkak, kegelapan malam mulai mencengkeram. Masih terdapat dua lingkaran pertempuran yang dikelingi oleh para prajurit dan pengawal. Mereka tertarik untuk melihat perang tanding tokoh-tokoh sakti di bekas medan perang itu.
Di sebelah selatan ki Ardi terus meladeni singa ganas dari Lodhaya itu. Keduanya seperti tak mengenal rasa capek. Mereka masih bertempur dengan cepat keras dan ganas. Saling serang dan menghindar silih berganti.
Sementara di sebelah utara Sekar Arum masih berjuang keras melawan Srigunting dari gunung Kendeng. Keduanya memiliki ilmu kanuragan yang sama-sama matang, mereka berlaga bak dua burung raksasa yang tengah bertarung di udara.
Karena malam telah datang dan kegelapan menyelimuti medan persawahan itu, para prajurit dan pengawal tak dapat melihat pertempuran dengan jelas. Maka beberapa orang segera berprakarsa mengumpulkan batang-batang padi yang telah kering di sawah.Â
Batang -batang padi itu biasanya di bawa pulang penduduk untuk makanan ternak. Namun musim panen ini tidak sempat mereka lakukan, karena akan terjadi perang. Maka banyak damen yang hanya ditumpuk di sawah mereka.
Prajurit dan pengawal membakar damen atau batang padi itu. Api yang menyala segera berkobar menerangi medan persawahan. Maka kini mereka bisa menyaksikan pertempuran di hadapan mereka, tidak melihat bayangan-bayangan hitam yang saling serang dan menghindar saja.
Senopati Wira Manggala Pati, demang Sentika, Sekar Sari yang telah membinasakan Macan Belang Betina, Handaka yang terluka lengannya oleh cakar Macan Belang Jantan, Jalak Seta, Sambaya dan Kartika serta pemimpin pengawal pedusunan lainnya berdiri berjajar di lingkaran pertempuran di sisi utara itu. Mereka telah kehilangan lawan-lawan mereka.