Ketika Kelabang Gede meloncat menjulurkan kelewang besarnya, hendak menusuk dada Nyai Rukmini, dengan cepat wanita itu melompat menghindar sambil memutar tubuhnya. Tongkat penjalin yang melengkung pada salah satu ujungnya itu ia gunakan untuk menggaet leher Kelabang Gede.
Gerak Kelabang Gede berhenti seketika, ia merasakan lehernya tercekik karena gaetan tongkat dan gerakan tubuhnya sendiri. Dengan cepat ia ingin melepas gaetan tongkat penjalin itu. Namun tenaga yang besar menariknya dengan sentakan.
Pendekar itu tak mampu menahan kuatnya tenaga yang menarik lehernya dengan lengkung tongkat. Ia terhuyung-huyung ke belakang. Nyai Rukmini memanfaatkan kesempatan itu. Dengan seluruh tenaga dalam dan kekuatan ajinya ia meloncat cepat dan membenturkan lututnya ke punggung lawan.
"Ciaaaattt, mampus kau kelabang jelek." Teriak Nyai Rukmini.
"Bruuuuggg" Sebuah benturan yang keras terjadi. Dibarengi suara tulang belakang yang patah "kraaakk"
Kelabang Gede jatuh ke tanah, tubuhnya menggeliat-geliat sambil berdesis-desis mulutnya. Nyai Rukmini muak melihat dan mendengar itu semua. Dengan sekali gebugan yang sangat kuat kepala Kelabang Gede pecah.
Akhirnya tubuh pendekar dari pesisir selatan itu diam tak bergerak lagi. Nafasnya terputus, nyawanya melayang. Darah mengalir dari kepalanya yang pecah, bersama otaknya yang berhamburan keluar. Membasahi tanah sawah yang kering di musim kemarau itu.
Para prajurit dan pengawal meski sesaat merasa ngeri melihat peristiwa itu, namun sebentar kemudian mereka bersorak dengan kerasnya.
"Kelabang Gede mampus! Kelabang Gede tewas."
Nyai Rukmini memandang musuhnya sebentar, kemudian ia ngeloyor pergi entah kemana.
Sorak-sorai prajurit dan pengawal Maja Dhuwur yang membelah udara sore itu ternyata sempat menghentikan pertempuran Sembada dan Gagak Arga. Sembada diam berdiri sambil memegangi cambuknya. Sementara Gagak Arga masih menyilangkan pisau panjangnya di depan dada.