Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 45 Para Gembong Tewas

13 Agustus 2024   23:40 Diperbarui: 13 Agustus 2024   23:42 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dokpri

Srigunting karena marah segera melompat dengan cepat seperti kilat, menerjang Sekar Arum dengan pukulan yang dahsyat. Tangan kanannya menjulur lurus mengarah ke dahi gadis itu. Jari-jarinya terkepal siap memecahkan kepala lawannya yang telah membuat geram hatinya. 

Namun gadis murid pedepokan gunung Arjuna itu dengan mudahnya menghindar. Ia menggeser kakinya ke kiri, tangan kirinya menepis tangan Srigunting yang menjulur ke dahinya dengan telapak kiri, sedangkan tangan kanannya menyilang melindungi dada.

Gagal dengan serangan pertamanya, Srigunting balik badan dengan cepat. Ia kirim siku kirinya untuk menyerang pelipis lawan. Tapi lagi-lagi Sekar Arum bergeser. Kini ia pindahkan kakinya ke kanan sambil mencondongkan badannya.

Srigunting memutar tubuhnya sambil mengangkat kaki kiri mengirim tendangan sabit. Sekar Arum menarik kaki kirinya ke belakang sambil membenturkan siku kanannya ke mata kaki lawan.

Srigunting menghindar dari benturan itu, cepat-cepat ia tarik kakinya. Dengan lompatan ia memukulkan sisi tangannya ke kepala lawan. Seperti burung kuntul Sekar Arum melompat melontarkan tubuhnya menjauhi lawan, kini sikap tangannya seperti satria siap memanah.

Srigunting semakin marah, ia melompat seperti kilat menyerang pinggang lawan dengan mengirim tendangan miring kaki kanan lurus dengan cepatnya. Namun tendangan itupun tidak mengenai lawannya. Sekar Arum telah pindah tempat dengan cepat pula. 

 Srigunting menggeram, hatinya panas. Ia merasa dipermainkan oleh gadis muda lawannya itu. Segera ia putar kedua tangannya seperti baling-baling, pertanda ia kerahkan puncak ilmunya. Sejenak kemudian iapun menyerang dengan pukulan dan tendangan berantai dengan cepatnya. Tetapi usahanya nihil, tak sekalipun serangannya mengenai lawan.

Sekar Arum melompat menjauhi musuhnya.  Ia mengatur nafas sejenak sambil mengamati pendekar gunung Kendeng itu. Ilmu lawannya tak jauh bertaut dengan ilmu muridnya. Gadis itu kian percaya diri mampu mengalahkan lawannya.

"Kau sudah aku kalahkan tuan. Lebih sepuluh jurus kau menyerangku, tapi tak satupun mengenai tubuhku. Seperti sesumbar tuan jika lima jurus bisa aku hindari, maka tuan akan menyerah kalah." Kata Sekar Arum.

"Persetan. Apa peduliku dengan semua yang telah aku ucapkan. Sebentar lagi kau pasti tewas." Jawab Srigunting.

"Dasar lelaki tak perwira. Mulut pembohong tetap dipelihara. Kita lanjutkan pertempuran kita."

Demikianlah keduanya kini melanjutkan pertarungan. Mereka  saling serang dan hindar dengan gesit cepat dan tangkas. Belum dapat ditebak siapa nanti yang unggul di medan perang.

Sementara itu Mang Ogel tengah bertempur dengan Bonge Kalungkung dengan sengitnya. Keduanya silih berganti menyerang dan menghindar dengan dahsyatnya. Tempat mereka bertarung teraduk-aduk oleh gerakan kaki mereka, hingga seperti tanah sawah yang baru dibajak. Debu berhamburan membubung ke udara, menyesakkan nafas mereka yang bertempur di sekitarnya.

Pelan-pelan orang-orang yang bertempur dekat tempat itu menyisih. Sehingga arena buat mereka bertarung semakin luas. Keduanyapun kian leluasa untuk berperang tanding.

Matahari semakin bergeser ke barat. Prajurit dan pengawal kian keras mendesak lawannya. Mereka masih nampak sigap dan gesit menyerang.

Berbeda dengan para penyerbu kademangan itu. Mereka terlihat semakin letih dan lemah juga haus dan lapar. Serangan-serangan mereka tak lagi membahayakan musuh-musuhnya. Kewaspadaannyapun semakin kendor, sehingga jadi sasaran empuk bagi semjata-senjata lawannya.

Berulang kali terdengar jerit menyayat di antara mereka. Satu persatu mereka terjungkal di tanah karena tusukan atau tebasan pedang. Dalam situasi seperti itulah pemimpin pasukan berkuda menjatuhkan perintahnya.

"Kenakan janur kuning kalian sebagai selempang.!!" Teriaknya. Iapun lantas mengambil janur yang terselip di tali kudanya, menghilangkan tulang daunnya, mengikat pangkalnya dan menyelimpangkan di badannya. Semua prajurit bertindak serupa.

Ketika semua sudah siap bergerak, lelaki tegap kekar itu berteriak keras.

"Seraaanng !!! Usir kutu-kutu kerdil dari medan perang !!" 

Seratus anggota pasukan itu menyebar. Dengan pedang mereka masuk ke medan perang. Tangan mereka berputaran menggerakkan senjata menyerang orang-orang yang tak berselempang janur.  Anehnya mereka tidak mau melukai lawan-lawannya, hanya berusaha menjatuhkan senjata.

"Pergi ! Pergi kalian !!! Jika tidak kalian akan mati di sini. Pergi." Rupanya mereka hanya mendapat tugas untuk mengusir musuh-musuhnya.

Orang-orang yang kehilangan senjata karena serangan prajurit berkuda segera lari menerobos medan untuk keluar dari peperangan. Makin lama makin banyak yang lari dari gelanggang perang. Sehingga tinggal beberapa lingkaran pertempuran saja di medan persawahan sore itu.

Ketika pengawal dan prajurit mengejar mereka, senopati berteriak dengan lantangnya.

"Jangan kejar kecoak-kecoaknya. Kepung gembong-gembongnya, tangkap hidup atau mati !!!" 

Prajurit dan pengawal berhenti mengejar mereka yang lari dari gelanggang. Mereka balik badan dan berjalan ke tempat pertempuran lagi. Mereka melihat beberapa lingkaran pertempuran yang masih berlangsung dengan serunya.

Segera saja mereka berdiri melingkari pertempuran itu. Menyaksikan tokoh-tokoh mereka yang berilmu tinggi sedang berlaga melawan gembong-gembong penyerbu. Baru sekarang inilah para pengawal Maja Dhuwur menyaksikan pertempuran raksasa-raksasa berilmu itu.

Di lingkaran paling selatan Ki Ardi bertempur dengan Singa Lodhaya. Dengan senjata tongkat kayunya ki Ardi menghalau serangan-serangan cakar logam baja Singa Lodhaya. Berulang kali kakek sakti yang telah tua itu berhasil mendaratkan gebugan tongkat kayu ke punggung singa galak itu.

Setiap terkena gebugan singa itu menggeliat dan menggetarkan tubuhnya. Lantas mengaum dengan kerasnya. Nampaknya ia tidak merasakan sakit karena gebugan tongkat Ki Ardi. Dengan cepat ia merundukkan badan dan melompat menerkam musuhnya lagi. Demikian peristiwa semacam itu terjadi berulang-ulang.

Ki Ardi memang sama sekali tidak berniat membunuh musuhnya. Ia mengikat Singa Lodhaya agar tidak lari dari gelanggang. Ia ingin menangkap gembong buas itu saja, dan menyerahkannya ke Pangeran Erlangga, biar pangeran itu yang menjatuhkan hukuman.

Di lingkaran pertempuran yang lain, suasananya berbeda. Kelabang Ireng telah banyak kehilangan tenaga melawan Nyai Rukmini. Pendekar pantai selatan itu kondisinya agak mengenaskan. Ia telah banyak mengeluarkan cairan tubuhnya. Keringatnya deras mengalir lewat pori-pori kulitnya, air liurnya berulang kali disemprotkan untuk menyerang musuh. Namun wanita lawannya itu tetap terus mampu memberikan perlawanan dengan gigih.

Ketika Nyai Rukmini memandang matahari sebentar lagi tenggelam di ufuk barat, ia berniat mengakhiri pertempuran. Tidak seperti Ki Ardi yang ingin menangkap Singa Lodhaya hidup-hidup, wanita itu memilih hendak membinasakan saja musuhnya. Maka berputarlah tongkatnya dengan cepat seperti baling-baling, pertanda wanita itu telah membangkitkan Aji Garuda Sakti dalam tubuhnya.

Kelabang Gede meloncat menjulurkan kelewang besarnya, ia hendak menusuk dada Nyai Rukmini, dengan cepat wanita itu melompat menghindar sambil memutar tubuhnya. Tongkat penjalin yang melengkung pada salah satu ujungnya itu ia gunakan untuk menggaet leher Kelabang Gede.

Gerak Kelabang Gede berhenti seketika, ia merasakan lehernya tercekik karena gaetan tongkat dan gerakan tubuhnya sendiri. Dengan cepat ia ingin melepas gaetan tongkat penjalin itu. Namun tenaga yang besar menariknya dengan sentakkan.

Pendekar itu tak mampu menahan kuatnya tenaga yang menarik lehernya dengan lengkung tongkat. Ia terhuyung-huyung ke belakang. Nyai Rukmini memanfaatkan kesempatan itu, dengan seluruh tenaga dalam dan kekuatan ajinya ia meloncat cepat dan membenturkan lututnya ke punggung lawan.

"Ciaaaattt, mampus kau kelabang jelek." Teriak Nyai Rukmini.

"Bruuuuggg" Sebuah benturan yang keras terjadi. Dibarengi suara tulang belakang yang patah "kraaakk"

Kelabang Gede jatuh ke tanah, tubuhnya menggeliat-geliat sambil berdesis-desis mulutnya. Nyai Rukmini muak melihat dan mendengar itu semua. Dengan sekali gebugan yang sangat kuat kepala Kelabang Gede pecah.

Akhirnya tubuh pendekar dari pesisir selatan itu diam tak bergerak lagi. Nafasnya terputus, nyawanya melayang. Darah mengalir dari kepalanya yang pecah, bersama otaknya yang berhamburan keluar. Membasahi tanah sawah yang kering di musim kemarau itu.

Para prajurit dan pengawal meski sesaat merasa ngeri melihat peristiwa itu, namun sebentar kemudian mereka bersorak dengan kerasnya.

"Kelabang Gede mampus! Kelabang Gede tewas."

Nyai Rukmini memandang musuhnya sebentar, kemudian ia ngeloyor pergi entah kemana.

Sorak-sorai prajurit dan pengawal Maja Dhuwur yang membelah udara sore itu ternyata sempat menghentikan pertempuran Sembada dan Gagak Arga. Sembada diam berdiri sambil memegangi cambuknya. Sementara Gagak Arga masih menyilangkan pisau panjangnya di depan dada.

"Tidakkah tuan dengar ? Salah satu bandot sahabat tuan telah tewas. Sebaiknya tuan menyerah saja !!" Kata Sembada.

"Persetan. Tidak ada kata menyerah dalam hidupku. Sampai mati aku tetap akan berjuang menggapai semua keinginanku." Jawab Gagak Arga.

"Jangan mimpi tuan. Anak buahmu sudah lari semua. Tinggal kau sendirian melawan kami. Tidakkah tuan melihat ? Prajurit dan pengawal kademangan Maja Dhuwur melingkari arena pertempuran kita ? Menyerahlah tuan !!!" Kata Sembada lagi.

Gagak Arga menggeram. Matanya nanar memandang orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Ia telah terkepung oleh kekuatan bersenjata yang sulit ia lawan. Namun ia tidak merasa gentar. Sebelum nyawanya melayang tidak ada satupun di dunia ini yang ditakutinya.

"Bedebah kalian. Majulah bersama-sama. Agar lebih cepat aku membantai kalian." Kata Gagak Arga. Suaranya bergetar. Nampak sekali betapa ia menahan amarah yang sangat besar.

Tiba-tiba lelaki besar berjambang lebat, pemimpin tertinggi padepokan Gagak Birawa dari gunung Kawi itu menggetarkan tubuhnya. Perilakunya persis seperti burung gagak mengibaskan titik-titik air yang membasahi bulunya setelah menerobos hujan lebat. 

Sejenak kemudian suara gaokan keluar dari mulutnya. Nadanya berat dan keras. Persis seperti bunyi burung gagak saat mencium bau darah. Namun suara Gagak Arga sangat aneh. Suara itu mengandung energi yang menggetarkan dada siapa saja yang mendengarnya.

Mendadak para prajurit dan pengawal mendekap dada dan sempoyongan ke belakang. Suara gaokan itu tidak saja menyakitkan gendang telinga serasa mau pecah. Tapi juga menyakitkan seluruh isi dada. Rasanya seperti dicabik-cabik binatang ganas yang tidak kasat mata.

Sebentar kemudian para prajurit dan pengawal semua jatuh ke tanah. Tubuh mereka kejang-kejang seperti ayam yang baru disembelih. Bunyi gaokan terus berkumandang, kian keras dan menyayat.

"Gelap Ngampar ? Persis aji Bonge Kalungkung." Bisik Sembada.

Suara itu sama sekali tidak berpengaruh pada diri Sembada. Getaran aji Tapak Naga Angkasa tiba-tiba mengalir dari jantungnya ke seluruh tubuh. Daya saktinya mampu melindungi dirinya dari kekuatan ilmu sesat dari gunung Kawi itu.

Peristiwa ini mengingatkan dia saat pertama kali bertemu Bonge Kalungkung, pendekar pincang dari lereng Semeru. Pendekar pincang itu juga ingin membunuh dirinya bersama kedua kawannya, Sekar Arum dan Branjangan, yang kepergok pendekar itu saat mengamati padepokan Singa Lodhaya.

Dengan tawanya Bonge Kalungkung melontarkan ilmunya. Ia dan Sekar Arum tidak merasakan apa-apa, mereka terlindungi Aji yang mereka miliki. Namun Branjangan, pemimpin prajurit sandi utusan senopati Narotama itu, merintih-rintih kesakitan. Kedua tangannya menekam dada, tubuhnyapun bergetaran, persis seperti perilaku para prajurit dan pengawal itu.

Namun saat itu mereka tertolong oleh tersebarnya udara wangi yang memiliki daya tolak terhadap kekuatan aji gelap ngampar itu. Udara wangi yang disebarkan oleh kekuatan ilmu pendekar bajang dari Pasundan, Mang Ogel.

Kini aji jahat gelap ngampar itu ia hadapi lagi. Bukan disebarkan dengan tawa, tapi dengan bunyi gaok Gagak Arga. Sesaat Sembada bingung bagaimana menghadapinya. Ia tidak memiliki ilmu seperti kepunyaan Mang Ogel. Juga belum pernah dapat petunjuk dari gurunya bagaimana menghadapi aji sesat itu.

Akhirnya ia memutuskan untuk menyumbat sumber suara yang mematikan itu.

"Apa boleh buat. Aku batalkan niatku menangkapnya hidup-hidup. Jika aji Tapak Naga Angkasa nanti menghancurkannya, itu bukan salahku. Daripada puluhan prajurit dan pengawal sekarat mati mendengar suara gaoknya, lebih baik satu orang aku jadikan tumbal. " tekad Sembada. 

Pemuda itu segera memutar cambuknya di atas kepala. Sedangkan tangan kirinya ia tempelkan di dada, segera ia salurkan seluruh kekuatan aji Tapak Naga Angkasa ke tangan kanannya. Getaran aji itu mengalir sampai keujung cambuknya. Sebentar kemudian cambuk itu ia sentakkan ujungnya kearah tubuh Gagak Arga.

Seleret cahaya putih kebiruan melesat dari ujung cambuk itu. Cahaya itu meluncur ke arah tubuh Gagak Arga. Lelaki berjambang lebat itu nampak lengah terbuai kemenangan karena aji gelap ngamparnya. Mendadak ia terkejut dengan hadirnya cahaya putih kebiruan yang hendak melandanya. Namun tak ada kesempatan lai ia menghindari. Matanya terpejam dan ia meregangkan seluruh kekuatannya untuk melawan.

"Blaaarrr"

Terdengar ledakan yang dahsyat memekakkan telinga. Benturan itu menimbulkan getaran yang dahsyat, bumi di sekitar mereka serasa bergoncang. Meski suara itu menggetarkan dada mereka yang mendengarkannya tetapi tidak menyakiti dada.

Aneh, setelah benturan ilmu itu terjadi, para pengawal dan prajurit tidak kejang-kejang lagi. Merekapun tidak lagi merasakan dada mereka  sakit seperti dicabik-cabik. Segera mereka bertatih-tatih bangun untuk menyaksikan apa yang terjadi.

Mereka tidak melihat tubuh Gagak Arga, yang tadi berdiri sambil mengeluarkan bunyi mengerikan itu. Namun di tempat itu mereka melihat darah berceceran bersama kepingan -kepingan dan gumpalan-gumpalan daging yang hangus terbakar. 

Ada yang menemukan jari saja, ada yang menemukan lengan tangan dan kaki, ada yang menemukan kepala. Mereka heran kekuatan apa yang dimiliki Sembada sehingga mampu menghancurkan musuhnya hingga seperti itu.

Tiba-tiba sorak membahana kembali terdengar ramai sekali. Sorak dari pengawal dan prajurit yang baru saja terhindar dari cengkraman maut.

"Gagak Arga tewas, Gagak Arga tubuhnya hancur." Demikianlah suara itu bersaut-sautan di tengah sawah saat matahari musim kemarau itu tenggelam di ufuk barat sana.

Waktu terus merangkak, kegelapan malam mulai mencengkeram. Masih terdapat dua lingkaran pertempuran yang dikelingi oleh para prajurit dan pengawal. Mereka tertarik untuk melihat perang tanding tokoh-tokoh sakti di bekas medan perang itu.

Di sebelah selatan ki Ardi terus meladeni singa ganas dari Lodhaya itu. Keduanya seperti tak mengenal rasa capek. Mereka masih bertempur dengan cepat keras dan ganas. Saling serang dan menghindar silih berganti.

Sementara di sebelah utara Sekar Arum masih berjuang keras melawan Srigunting dari gunung Kendeng. Keduanya memiliki ilmu kanuragan yang sama-sama matang, mereka berlaga bak dua burung raksasa yang tengah bertarung di udara.

Karena malam telah datang dan kegelapan menyelimuti medan persawahan itu, para prajurit dan pengawal tak dapat melihat pertempuran dengan jelas. Maka beberapa orang segera berprakarsa mengumpulkan batang-batang padi yang telah kering di sawah. Batang -batang padi itu biasanya di bawa pulang penduduk untuk makanan ternak. Namun musim panen ini tidak sempat mereka lakukan. Banyak yang hanya ditumpuk di sawah mereka.

Prajurit dan pengawal membakar damen atau batang padi itu. Api yang menyala segera berkobar menerangi medan persawahan. Maka kini mereka bisa menyaksikan pertempuran di hadapan mereka, tidak melihat bayangan-bayangan hitam yang saling serang dan menghindar saja.

Senopati Wira Manggala Pati, demang Sentika, Sekar Sari yang telah membinasakan Macan Belang Betina, Handaka yang terluka lengannya oleh cakar Macam Belang Jantan, Jalak Seta, Sambaya dan Kartika serta pemimpin pengawal pedusunan lainnya berdiri berjajar di lingkaran pertempuran di sisi utara itu. Mereka telah kehilangan lawan-lawan mereka.

Di antara mereka juga ada pemimpin pasukan berkuda dan anak buahnya ikut menyaksikan Sekar Arum berlaga. Ingin rasanya lelaki tinggi kekar berjambang lebat itu terjun ke arena menggantikan gadis yang tengah bertempur dengan dahsyatnya melawan gembong perampok dari gunung Kendeng itu. Entah mengapa hatinya selalu waswas atas keselamatan gadis itu.

"Ah mengapa aku terganggu suasana hatiku. Biarlah ia menguji seberapa tinggi ilmunya. Semoga ia selamat, mampu mengalahkan lawan dengan sikap perwira" bisiknya dalam hati.

Semua yang menyaksikan pertempuran itu berdebar-debar hatinya. Semua tahu Sekar Arum memiliki kelebihan, tapi ia adalah wanita yang masih sangat muda. Sedangkan lawannya lelaki perkasa yang ilmunya sangat tinggi. Usianya yang telah tua sudah cukup lama berpengalaman dalam pertempuran di segala bentuk medan. Mungkinkah gadis itu mampu mengalahkannya ?

Penonton yang paling cemas adalah Sekar Sari. Gadis yang bertempur itu adalah saudara kembarnya. Belum lama mereka bertemu dan bersatu kembali, setelah lama terpisah akibat perang. Ia tidak ingin adiknya celaka, apalagi berpisah untuk selamanya.

Jika Handaka tidak memegangi tangannya, ingin rasanya ia melompat terjun ke medan pertarungan itu. Meski telinganya sendiri juga mendengar permintaan Sekar Arum Agar tak seorangpun membantunya.

"Siapapun jangan ganggu kami bertempur. Kami sepakat untuk berperang tanding." Kata Sekar Arum ketika pengawal dan prajurit berdatangan ingin menyaksikan mereka.

Demi menghormati jiwa pendekar Sekar Arum, tak satupun dari mereka melangkah ke arena pertempuran itu. Jika mereka melanggarnya sama seperti menjatuhkan harga diri gadis itu di depan lawannya. Tentu gadis itu akan marah besar.

Ketika Srigunting menyerang dengan tangan kanannya yang tergenggam, tak sepenuhnya Sekar Arum mampu menghindarinya. Tangan itu menyerempet lengannya. Namun betapa kaget gadis itu, ia merasakan pedih di lengan yang terserempet serangan tangan Srigunting.

Dengan gerak spontan ia mengusap lengannya, ada cairan hangat keluar dari luka di lengannya itu, darah. Berarti Srigunting tidak bertempur dengan tangan kosong. Ia menggunakan senjata yang tersembunyi.

Sekar Arum mengamati kedua tangan musuhnya. Dari kilatan cahaya api yang terpantul di tangan Srigunting, Sekar Arum akhirnya mengetahui. Srigunting menggenggam cincin baja berrangkai pada empat jari-jari di kedua tangannya. Bagian luar cincin itu dibuat lancip dan tajam. Setajam duri tanaman cangkring.

Tanpa ragu-ragu gadis itu mencabut kedua pedangnya. Ia tidak mau kulitnya terluka lagi, dan mengeluarkan darah. Siapa tahu cincin baja berrangkai itu diberi racun pada bagian ujungnya, tentu ia akan celaka dibuatnya.

Sejenak kemudian Sekar Arum meloncat menyerang Srigunting dengan sepasang pedangnya. Senjata itu menyambar-nyambar dengan cepat dan ganas. Tak sesaatpun Srigunting diberi kesempatan untuk membalas.

Namun semua mata yang menyaksikan pertempuran itu melihat, tusukan dan sabetan pedang Sekar Arum meski mengenai kulit lawannya, namun sama sekali tidak melukai kulit Srigunting. Pendekar dari gunung Kendeng itu memiliki ilmu kebal.

Tumbuh rasa kawatir dalam hati mereka yang melihatnya, akhir perang tanding itu nanti Sekar Arum yang bakal kalah. Namun meski gadis pendekar itu juga telah menyadari kehebatan musuhnya, sedikitpun ia tidak merasa gentar. Terus saja ia memainkan sepasang pedangnya sambil meloncat-loncat menghindari atau menyerang lawan.

Srigunting berusaha keras membalas semua serangan Sekar Arum. Namun ia tak mampu menandingi kecepatan gerak gadis itu. Dengan ilmu peringan tubuhnya ia dengan mudah melontarkan badannya kesana kemari dengan ringannya.

Akhirnya ia diam saja menunggu musuhnya mendekat. Ia tidak mempedulikan tajamnya kedua pedang lawannya. Berulang kali telah terbukti gadis itu tak mampu menembus ilmu kebalnya. Jika ia mendekat saat itulah ia akan membalas.

Menyadari keunggulannya itu Srigunting menjadi pongah. Ia menantang gadis itu untuk menusukkan pedang ke tubuhnya.

"Ayo pilihlah bagian tubuhku yang hendak kau tusuk dengan pedangmu. Sejengkalpun aku tak akan menghindar." Sumbarnya.

Sekar Arum telah bosan bermain-main dengan pendekar itu. Ia ingin mengakhiri pertempuran. Segera ia putar sepasang pedangnya dengan cepat. Getaran gaib Aji Garuda saktinya bangkit, dan mengalir deras ke seluruh tubuhnya. Ia pusatkan getaran itu menuju kedua tangannya. Setelah mencapai puncak gadis itu berteriak sambil meloncat menusukkan pedang di tangan kirinya.

Semua mata yang melihat terperangah hatinya. Ujung pedang itu ternyata mampu menembus dada Srigunting. Lelaki kekar berjambang lebat itu membeliakkan mata, hatinya tak yakin jika pedang gadis itu telah terbenam di dadanya.

Sekar Arum mencabut pedangnya, darah menyembur dari lubang di dada musuhnya. Srigunting sempoyongan ke belakang. Sebelum tubuhnya jatuh ke tanah Sekar Arum meloncat menyabetkan pedang kanannya ke arah leher dengan cepat dan keras.

"Arum, jangan !!!" Terdengar teriakkan lelaki dari pinggir arena. Namun teriakkan itu tidak mampu menghentikan pedang yang sudah terlanjur bergerak.

"Craakkk" terdengar suara benda terpotong. Semua orang membelalakkan mata, leher Srigunting putus oleh pedang Sekar Arum.

Pendekar gunung Kendeng guru Gemak Sangklir itu nasibnya sama dengan muridnya. Ia mati oleh seorang gadis. Kepalanya lepas dari badannya yang ambruk ke tanah. Dua mata pada kepala yang menggelinding itu masih terbuka lebar, seolah tak yakin bahwa pedang di tangan gadis itu mengakhiri petualangannya.

Sekar Arum memandang jasad lawannya sebentar sambil memasukkan pedangnya ke sarungnya lagi. Sejenak kemudian ia melangkahkan kakinya keluar dari lingkaran prajurit dan pengawal yang tadi menyaksikannya bertempur. Entah kemana kaki gadis itu mengajaknya melangkah pergi.

Api batang padi telah padam. Malampun kembali gelap gulita. Hanya bintang-bintang di langit yang gemerlapan memancarkan sinarnya. Menjadi saksi abadi segala peristiwa di mayapada ini. Termasuk benturan kepentingan antar manusia.

(Bersambung)

  

 

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun