Ayam hutan berkokok bersautan. Semburat cahaya mentari pagi tersangkut di balik gunung. Udara masih berkabut, titik-titik embun membasahi dedaunan. Sebentar lagi sisa-sisa kelamnya malam dan kabut berembun itu akan tersingkir oleh mentari yang kian tinggi.
Burung-burungpun terdengar riang menyambut datangnya fajar. Kicaunya menghias keheningan pagi dengan suaranya yang indah dan merdu, sambil berlompat-lompatan di dahan-dahan pohon dengan ceria. Seolah-olah hidup mereka tak kenal sesal dan sedih. Tiada hari tanpa pengharapan memperoleh rezeki dari Illahi.
Empat orang muncul dari pepatnya pepohonan di hutan Wanajaya. Berjalan pelan menghampiri rombongan orang-orang Pasundan itu. Melihat gelagat guru mereka merasa gembira, murid-murid Mang Ogel itupun menghias bibir mereka dengan senyum. Nampak mata mereka juga berbinar ceria.Â
Dua orang di antara pendatang itu telah mereka kenal sebagai penolong yang mengurangi beban mereka menghadapi keroyokan para begundal yang mereka kejar, yang dibantu teman-teman mereka dari pesanggrahan.
"Aku ucapkan selamat pagi kepada kalian semua. Dan terima kasih kepada Sembada dan Sekar Arum yang telah menolong cantrik-cantrikku. Tanpa kehadiran kalian mereka semua pasti sudah dilibas oleh orang-orang pesanggrahan" kata Mang Ogel.
"Aku kira tidak semudah itu tuan, eh paman. Murid-murid paman semua pemuda yang tangguh, tidak gentar meski menempuh bahaya. Butuh waktu panjang untuk bisa melibasnya." Kata Sembada.
"Justru itulah yang aku takutkan. Semakin lama waktu berlangsung banyak kemungkinan terjadi. Gembong-gembong mereka tentu tidak tinggal diam." Kata Mang Ogel, pendekar bajang dari Pasundan itu.
"Alangkah bahagianya murid-murid Mang Ogel. Sudah bukan anak-anak lagi masih terus dikawatirkan gurunya. Seolah mereka bermain di tepi jurang.
Ketahuilah para gembong itu belum hadir di pesanggrahan. Aku sudah melihat pesanggrahan itu dari dekat. Gubug-gubug yang dipersiapkan untuk mereka kosong. Bisa jadi mereka kelayapan seperti kita, melihat-lihat seberapa besar kekuatan lawan."kata Ki Ardi, orang tertua dari empat pendatang itu.
"Jika ilmu mereka setara Sembada yang terbukti mampu mengusir Singa Lodhaya dengan cambuknya, mungkin aku tak akan pernah kawatir kakang. Tapi anak-anakku ini belum mencapai separo dari tataran ilmu Sembada. Bahkan mungkin masih jauh di bawah ilmu Sekar Arum." Jawab Mang Ogel.
"Barangkali semua guru memang begitu. Akupun masih selalu kawatir dengan Sekar Arum. Seolah ia anak kecil yang perlu terus aku awasi. Artinya akupun perlu mendidik hatiku sendiri, untuk percaya pada kemampuan murid.
Nahhh,....Lebih baik kita tak usah meributkan hal itu. Kita segera pergi dari sini. Menghindari kemungkinan yang tidak perlu." Kata Nyai Rukmini.
Semua mengangguk-anggukkan kepala.Â
Ketika murid-muridnya pamit hendak mendahului pergi, Mang Ogel mencegahnya.
"Jangan mencari jalan sendiri. Tentu kalian akan kembali ke desa dekat penyebrangan, kemudian melanjutkan perjalanan lewat hutan Waringin Soban. Kita ikuti saja mereka yang sudah mengenal wilayah sini, pasti ada jalan lain yang lebih cepat."
Akhirnya rombongan itu mengikuti langkah empat orang yang baru mendatangi mereka. Di barat hutan Wana Jaya terdapat hutan perdu, mereka bisa menuntun kuda-kuda mereka di sela-sela tumbuhan itu.
Sebelum tengah hari mereka sampai di desa Gayam. Mereka menuju rumah penduduk Gayam yang mereka titipi kuda. Dua orang prajurit sandi ternyata telah datang lebih dulu. Mereka menyambut yang baru datang.
"Selamat datang tuan-tuan. Ki Ardi mendapat kawan-kawan baru rupanya ?" Kata salah seorang prajurit itu.
"Yah. Kita memperoleh teman-teman baru. Mereka datang dari jauh di barat sana, Tanah Pasundan. Hendak bergabung dengan pasukan kita di Maja Dhuwur."
Dua orang prajurit sandi itu membungkukkan badan memberi hormat. Semua anggota rombongan dari Pasundan itu membalasnya.
"Tidakkah sebaiknya mereka diantar ke kademangan Maja Dhuwur Ki Ardi ? Agar senopati mengetahuinya, dan bisa mengambil keputusan akan ditempatkan di mana dalam gelar perang nanti ?" Kata seorang prajurit.
"Itulah yang ingin aku katakan padamu. Rupanya kau lebih cepat tanggap. Oleh karena itu aku serahkan kepada kalian untuk mengantar mereka." Kata Ki Ardi.
"Siap Ki, sore nanti aku akan mengantarkan mereka, setelah mendapat izin pimpinan kami."
"Lebih baik kalian berangkat sekarang, sore nanti tentu telah sampai. Rombongan ini perlu juga istirahat setelah melakukan perjalanan jauh. Nanti aku yang akan mengatakan kepada pimpinan kalian, kemana kalian pergi."
"Siap ki, kami akan berangkat segera."
Demikianlah sebentar kemudian sebuah rombongan orang-orang berkuda segera berangkat bertolak dari desa Gayam menuju kademangan Maja Dhuwur. Tidak ada hambatan sesuatupun dalam perjalanan, sehingga mereka sampai di kademangan tepat saat matahari akan tenggelam di ufuk barat.
****
Sementara itu di pesanggrahan Wanajaya, nampak empat orang pimpinan gerombolan telah hadir di sana. Beberapa cantrik sibuk membersihkan empat gubug untuk tempat peristrihatan para gembong itu. Tidak lupa mereka menyulut obor yang telah tersedia dengan api. Segera saja tempat itu jadi terang benderang.
Nampak wajah-wajah kesal terpancar di raut muka para gembong itu. Hati mereka tengah terselimuti rasa kecewa yang dalam. Upaya mereka mencari keterangan di mana tiga pusaka yang hilang dari tempat mereka menyimpan benda-benda itu, tak menemukan hasil.
"Kita bumi hanguskan saja kademangan itu." Kata Kelabang Gede.
"Jangan. Kita hancurkan pertahanan pasukan pengawalnya saja. Seluruh isi kademangan yang kaya raya itu sangat bermanfaat bagi perjuangan kita." Kata Singa Lodhaya.
"Rakyat Maja Dhuwur banyak yang kaya raya. Tentu mereka menyimpan benda-benda berharga yang banyak jumlahnya." Kata Srigunting pendekar dari lereng gunung Kendheng  yang baru  saja bergabung.
Singa Lodhaya memandangi sahabat barunya itu sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Tanah mereka juga subur. Saban tahun bisa panen dua sampai tiga kali. Pemudanya juga cukup banyak. Jika kita menang mereka bisa kita kendalikan dalam barisan kekuatan kita." Kata Singa Lodhaya.
Ternyata singa galak dari padepokan hutan Lodhaya itu telah sembuh luka di dalam dadanya akibat sabetan cambuk Nagageni dari Sembada. Namun ia menutup semua berita tentang sakitnya kepada kawan-kawannya. Ia tidak mau martabatnya jatuh, kalah bertempur dengan pemuda yang dianggapnya masih ingusan itu.
"Biarlah mereka mencoba menghadapi pemuda itu jika ia turun di medan. Lebih baik aku menghindarinya daripada harus menderita luka dalam lagi." Bisiknya dalam hati.
Hingga saat ini ia masih heran dan takjub, sama sekali tidak mengerti cara menggembleng Ki Kidang Gumelar terhadap muridnya. Pada usia yang sangat muda anak itu telah menguasai puncak ilmu yang dimiliki gurunya. Pertahanan Aji Macan Liwung miliknya bisa ditembus dengan ujung cambuk yang dilecutkan di dadanya. Selama sebulan terpaksa ia bersembunyi untuk memulihkan lukanya.
Meski luka dalam tubuh itu telah sembuh, namun luka jiwanya masih menganga. Perih ia rasakan di hati. Betapa kini tumbuh rasa takut mengulang kembali perang tanding itu. Tentu pemuda itu kian besar rasa percaya dirinya, telah menemukan rahasia kelemahan ilmunya.
"Kita percepat saja usaha kita menggilas kademangan itu." Tiba-tiba suara berat Gagak Arga guru Gagak Ijo menyeruak keheningan malam.
"Aku setuju. Kelihatannya tidak ada persiapan yang berarti di kademangan itu menghadapi serangan yang bakal kita lancarkan." Kata Srigunting menanggapi.
"Kita tunggu dulu kedatangan adi Bonge Kalungkung"
"Tak perlu kita tunggu dia. Kedatangannya tidak menambah kekuatan pasukan kita. Selama ini dia hidup sendiri. Tak seorang muridpun yang ia miliki." kata Kelabang Gede.
Nampak sekali sebagian besar dari gembong-gembong itu sudah tak sabar lagi untuk memulai peperangan. Mereka sudah haus untuk menyemburkan darah lawan-lawannya. Nafsu membunuh lebih kuat membakar hatinya, ketimbang berpikir bagaimana membangun sebuah cara menyerbu dan menaklukkan lawan lebih mudah.
Singa Lodhaya tak berani menyangkal pendapat-pendapat mereka. Â Ia sangat membutuhkan keterlibatan teman-temannya untuk menggempur kademangan Maja Dhuwur. Kademangan inilah yang tepat ia jadikan pangkalan untuk membangun kekuatan lebih lanjut kelak kemudian hari.
"Baiklah. Kita persiapkan pasukan kita besok pagi. Kitapun butuh istirahat malam ini, setelah dua hari kelayapan ke wilayah kademangan Maja Dhuwur." Kata Singa Lodhaya.
Segera sahabat-sahabat Singa Lodhaya beranjak dari tempat duduknya. Mereka lantas pergi ke gubug masing-masing. Beberapa cantrik mengantarkan makan malam ke masing-masing gubug itu.
Saat matahari merekah di pagi hari belum nampak penghuni pesanggrahan itu keluar dari gubug mereka. Halaman pesanggrahan nampak sepi. Hanya mereka yang bertugas di gardu perondan yang belum memejamkan mata. Mereka menunggu kawan mereka yang menggantikan bertugas siang itu.
Setelah lewat 'wayah tengange' ketika mentari melintasi puncak edarnya, terdengar suara kenthongan dipukul ganda berulang-ulang. Semua penghuni pesanggrahan berkumpul di halaman untuk mendengarkan pengumuman dari pemimpin mereka.
Singa Lodhaya berdiri di atas dahan pohon yang dirobohkan kemarin lusa untuk gubug-gubug yang didirikan. Dengan lantang ia berteriak menyapa anak-anak buahnya.
"Selamat siang kalian semua. Tentu kalian telah bosan menunggu kapan kita terjun ke medan menghancurkan musuh-musuh kita. Sekaranglah saatnya."
Terdengar suara gemuruh sambutan semua yang hadir di halaman itu. Mereka mengacung-acungkan senjata karena riangnya. Rata-rata orang-orang yang bergabung di pesanggrahan itu telah jemu menunggu kapan mereka bertempur.
Singa Lodhaya mengangkat tangannya. Bunyi gemuruh sorak-sorai anak buahnya berhenti.
"Jika demikian segera persiapkan semua barang kalian, sore ini kita berangkat ke Sambirame, dusun terdekat dari kademangan Maja Dhuwur. Jika telah ada tanda yang diberikan telik sandi kita untuk segera melibas kademangan itu, kita langsung turun ke medan perang. Kita babat habis semua pengawal. Kita rebut semua isi kademangan, dan kita duduki kademangan itu untuk jadi sarang baru kita.
Naah silahkan kemasi barang kalian. Jika tengara kenthongan berganda terdengar lagi kalian harus sudah siap berjalan menuju dusun Sambi Rame."
"Hore, hore, hore. Kita berangkat. Hore." Sorak mereka lantas membubarkan diri untuk menuju gubug masing-masing. Segera mereka kumpulkan barang-barang milik mereka yang mereka bawa dari padepokan. Beberapa helai pakaian dan beberapa barang berharga yang berhasil mereka rampok di perjalanan.
Ketika kenthongan berbunyi lagi segera mereka berkumpul di kelompok kesatuan perguruan masing-masing. Jumlah anggota terbanyak dari kesatuan perguruan Lodhaya. Hampir semua cantrik ikut rombongan yang hendak menggempur kademangan Maja Dhuwur.
Murid-murid utama berdiri paling depan dalam rombongan yang akan berangkat ke tempat mereka yang baru. Untuk semakin dekat dengan sasaran yang hendak mereka serbu.
Gagak Ijo dengan sepasang pisau panjang yang bergantung di kedua pinggangnya. Landak Ireng dengan pedang besar di pinggang kirinya, serta puluhan pisau kecil beracun yang melingkar pada ikat pinggangnya. Macan Loreng jantan dan betina dengan cakar tajam pada kuku-kukunya, serta Gemak Sangklir murid Srigunting dengan bindi di tangannya. Semua siap memimpin barisan pasukan itu.
Ketika kenthongan berbunyi lagi masing-masing rombongan secara bergilir keluar dari pesanggrahan Wanajaya. Seperti naga raksasa yang baru bangun dari tidur panjangnya, dan mengurai lilitan tubuhnya yang panjang untuk bergerak melata menunggu calon mangsanya.
Rombongan terakhir adalah pedati berisi penuh bahan makanan yang berjalan pelan dalam tarikan lembu yang membawanya. Jumlahnya puluhan, masing-masing dikawal empat orang anggota perguruan yang bergabung dalam rombongan perang itu.
Meski semangat mereka berkobar ingin segera terjun ke kancah perang, namun mereka juga tak ingin kehilangan bekal makanan mereka. Terpaksa mereka harus menahan diri dan berjalan pelan sesuai irama gerak roda pedati.
"Kita berjalan seperti keong. Sebentar-sebentar berhen/ti menunggu pedati. Dadaku bisa terbakar karena kesal."
"Bersabarlah. Isi pedati itu  adalah nyawa kita juga. Jika hilang, semangat kita juga akan kendor. Bagaimana kita memenangkan perang  ? Jika perut lapar ?"
Orang  pertama terdiam.  Otaknya mulai bekerja dan membenarkan pendapat kawannya. Iapun segera duduk dengan tatapan mata yang masih liar. Sebentar-sebentar ia mengumpat, untuk melepas kekesalannya.
Baru tengah  malam rombongan besar pasukan golongan hitam itu sampai di desa Sambirame. Desa itu sepi tak berpenghuni, penduduknya mengungsi entah kemana, menghindari perintah pemimpin desa mereka untuk mendukung perjuangan.
Segera semua pimpinan  berkumpul lagi. Para murid utama kini bergabung untuk  mendengarkan keputusan guru-guru mereka. Apakah malam ini mereka langsung terjun menyerbu kademangan Maja Dhuwur.
Sebagian besar dari mereka menginginkan malam ini juga mereka bergerak. Jika tidak semangat mereka  akan kendor lagi. Anak buah mereka akan kelayapan mencari rumah orang-orang kaya yang bisa dirampok.
"Kita tidak memiliki kelengkapan peralatan perang  yang cukup. Lebih baik kita tunda beberapa hari untuk melengkapinya." Kata Singa Lodhaya.
"Butuh apalagi ? Kita semua sudah membawa senjata. Pedang, parang, kelewang, tombak,  bindi, nenggala, trisula, canggah. Semangat kita  juga  sedang berkobar. Sulit untuk membendung semangat ini  jika tidak disalurkan." Kata Kelabang Ireng murid Kelabang Gede.
"Anak buahkupun mungkin akan pergi mencari mangsa jika tidak segera diterjunkan ke medan. Bisa jadi mereka akan memasuki kademangan itu tanpa perintah, karena kabarnya di sana banyak  rumah orang-orang kaya." Kata Gemak Sangklir  murid Srigunting dari gunung Kendheng.
"Benar Kakang Singa Lodhaya, lepaskan saja mereka untuk ngamuk di kademangan Maja Dhuwur. Aku lihat tidak cukup persiapan mereka menghadapi kita." Kata Bonge Kalungkung pendekar pincang dari gunung Semeru.
"Kau Adi. Apakah kau baru mengamati kademangan itu ?"
"Aku melihatnya sekilas saja."
"Kita harus punya perhitungan yang pasti, sekali gebug lawan kita tak bangkit lagi." Kata Singa Lodhaya.
"Kenapa kakang kehilangan sifat kakang yang dulu, yang tegas berani dan tak  perlu banyak perhitungan ? Kakang telah kehilangan  sifat kepemimpinan yang aku kagumi." Kata Bonge Kalungkung.
Singa Lodhaya menundukkan kepala. Ia memang telah mengalami kemunduran kejiwaan, setelah mengalami luka di dalam dadanya yang cukup parah. Hampir seminggu ia pingsan tak sadarkan diri, setelah perang tanding dengan seorang pemuda di pinggir Hutan Lodhaya. Ia belum kenal siapa nama pemuda itu, tetapi cambuk yang ia pakai sudah lama diketahuinya. Cambuk Naga Geni milik pendekar gaek Kidang Gumelar.
"Baiklah. Kita mulai saja sekarang. Aku minta Gagak Ijo dan Kelabang Ireng memisahkan diri dari induk pasukan. Bawa anak buahmu untuk menyisir tepi kademangan wilayah selatan. Bikin keonaran dan kepanikan penduduk di dusun paling timur kademangan ini."
"Siap ki Singa Lodhaya, perintah aku laksanakan." Kata Gagak Ijo lantas keluar dari lingkaran permusyawaratan. Ia melangkah menuju  rombongan dari perguruannya diikuti oleh Kelabang Ireng.
Dua orang itu segera memilih beberapa orang anggotanya untuk menjalankan perintah pimpinan tertinggi pasukan gabungan itu. Sebentar  kemudian mereka segera memisahkan diri dan menyelinap ke arah selatan.
Meski anggota rombongan pasukan tidak tahu ada sekelompok kecil yang melepaskan diri dari induk pasukan mereka, namun tidak demikian dengan Sembada dan Sekar Arum. Kebetulan mereka sedang mengawasi pergerakan pasukan itu di sisi selatan. Di  atas puncak  sebuah pohon yang rimbun mereka melihat sekelompok pasukan kecil itu berjalan ke arah selatan.
"Mereka tentu akan menyusup ke salah satu  dusun untuk membuat keonaran. Kita harus laporkan perkembangan terakhir ini."
Sembada dan Sekar Arum segera turun. Setelah kedua kaki mereka mendarat di tanah, dengan ilmu peringan tubuhnya yang telah matang mereka berlari dengan cepatnya menuju kademangan Maja  Dhuwur.
Sebentar saja mereka telah sampai di perbatasan kademangan. Keduanya  beristirahat sebentar untuk mengatur  nafasnya yang sedikit memburu. Ketika sudah agak tenang mereka melanjutkan langkahnya.
Namun belum lagi belasan pecak kakinya melangkah, mereka menangkap bayangan pasukan yang sudah menanti datangnya lawan. Sebuah barisan rangkap prajurit berdiri dalam kegelapan, mereka berjajar membentuk formasi garis lengkung.
"Gelar Wulan Tumanggal. Kenapa sedikit sekali pasukan yang di siapkan ? Hanya dua baris pasukan yang memanjang sekitar seribu depa ? Jaraknyapun masing-masing tidak begitu rapat ?" Kata Sembada.
"Barangkali pasukan dengan gelar Wulan Tumanggal itu sekedar untuk memancing lawan agar buru-buru mendekat. Lihat mereka masing-masing  bawa obor kakang, tapi belum dinyalakan. Saat api telah di sulut, lawan segera melihat kekuatan yang menghadangnya.Â
Jika mereka buru-buru mendekat karena terkecoh penampakan pertahanan yang lemah, Â akan segera disambut ribuan anak panah dari pasukan yang tengah berjongkok itu." Kata Sekar Arum sambil menunjuk puluhan pasukan remaja yang berjongkok beberapa depa dari pasukan yang dilihat Sembada.
"Ohh, benar-benar taktik perang yang jitu. Ayah tentu sudah tahu mereka maju tanpa perisai. Dalam benturan pertama tentu korban akan berjatuhan dari pihak lawan."
"Beliau juga telah mengajarkan kepada remaja-remaja yang bergabung dalam pasukan, bagaimana  memberi andil  jasa membela kademangannya." Jawab Sekar Arum.
Demikianlah Sembada dan Sekar Arum segera menuju  balai kademangan yang dipakai ayahnya sebagai pusat komando pertempuran yang sebentar lagi bakal berkobar.
"Ada sekelompok kecil pasukan memisahkan diri  dari induknya. Mereka bergerak menuju selatan, kemungkinan akan berbelok ketimur menyisir perbatasan kademangan bagian selatan." Kata Sembada yang telah menghadap senopati.
"Berapa orang kekuatan kelompok kecil itu ?" Tanya senopati.
"Sekitar seratus orang senopati." Jawab Sembada.
"Bagaimana ki demang ? Â Mereka tentu hanya akan bikin keonaran dengan membakar rumah penduduk saja."
"Meski demikian harus kita cegah." Kata ki demang Sentika.
"Akan aku bawa pasukan gadis untuk menghadang mereka. Ayah" Kata Sekar Sari.
"Baiklah akan kubawa pula lima puluh pengawal untuk menghadapinya, dan membantu pasukan gadis." Kata Handaka.
"Aku akan ikut kalian. Aku percayakan seluruhnya pasukan induk kepada senopati." Kata ki demang Sentika.
"Baik ki demang. Aku junjung tinggi kepercayaan ki demang kepada saya." Kata Senopati
Sementara  itu pasukan yang berjajar di pinggir persawahan dekat kademangan induk telah melihat munculnya pasukan lawan. Segera mereka menyalakan  obor agar terlihat oleh pasukan musuh. Deretan ratusan obor yang terang benderang yang menyinari mereka segera tertangkap mata semua rombongan pasukan musuh.
Benar saja perhitungan Senopati, gerombolan pasukan itu segera menggelegak  nafsu bertempur mereka. Ketika mereka melihat prajurit kademangan yang sangat lemah itu bergerak maju menyongsong mereka, rombongan pasukan yang hendak menggempur kademangan itu segera berlari untuk  mendekat dan menghancurkan musuhnya itu.
Namun mendadak pasukan kademangan itu terlihat berhenti, mereka nampak termangu-mangu, seolah ketakutan melihat besarnya kekuatan lawan. Ketika jarak mereka tinggal beberapa puluh depa, tiba-tiba para pengawal membuang obor mereka. Kemudian balik badan dan lari sekencang-kencangnya.
Pasukan lawan terpancing mengejar mereka. Dengan gegap gempita mereka bersorak keras sekali sambari mengacung-acungkan senjata. Dengan bernafsu mereka ingin segera membantai lawan.
Namun malang yang mereka dapatkan, barisan terdepan pasukan itu jadi sasaran empuk dan terbuka. Ribuan anak panah tiba-tiba meluncur dengan derasnya. Melanda tubuh mereka yang tak tertutup perisai apapun.
Puluhan  pasukan berjatuhan di tanah. Umpatan dan erang kesakitan keluar dari mulut mereka. Dada, perut bahkan kepala mereka tertembus oleh tajamnya anak panah yang deras seperti hujan, dan melaju cepat  seperti kilat.
Benturan pertama perang itu telah memakan korban yang tidak sedikit di pihak lawan.
(Bersambung)
Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H