Segera semua pimpinan  berkumpul lagi. Para murid utama kini bergabung untuk  mendengarkan keputusan guru-guru mereka. Apakah malam ini mereka langsung terjun menyerbu kademangan Maja Dhuwur.
Sebagian besar dari mereka menginginkan malam ini juga mereka bergerak. Jika tidak semangat mereka  akan kendor lagi. Anak buah mereka akan kelayapan mencari rumah orang-orang kaya yang bisa dirampok.
"Kita tidak memiliki kelengkapan peralatan perang  yang cukup. Lebih baik kita tunda beberapa hari untuk melengkapinya." Kata Singa Lodhaya.
"Butuh apalagi ? Kita semua sudah membawa senjata. Pedang, parang, kelewang, tombak,  bindi, nenggala, trisula, canggah. Semangat kita  juga  sedang berkobar. Sulit untuk membendung semangat ini  jika tidak disalurkan." Kata Kelabang Ireng murid Kelabang Gede.
"Anak buahkupun mungkin akan pergi mencari mangsa jika tidak segera diterjunkan ke medan. Bisa jadi mereka akan memasuki kademangan itu tanpa perintah, karena kabarnya di sana banyak  rumah orang-orang kaya." Kata Gemak Sangklir  murid Srigunting dari gunung Kendheng.
"Benar Kakang Singa Lodhaya, lepaskan saja mereka untuk ngamuk di kademangan Maja Dhuwur. Aku lihat tidak cukup persiapan mereka menghadapi kita." Kata Bonge Kalungkung pendekar pincang dari gunung Semeru.
"Kau Adi. Apakah kau baru mengamati kademangan itu ?"
"Aku melihatnya sekilas saja."
"Kita harus punya perhitungan yang pasti, sekali gebug lawan kita tak bangkit lagi." Kata Singa Lodhaya.
"Kenapa kakang kehilangan sifat kakang yang dulu, yang tegas berani dan tak  perlu banyak perhitungan ? Kakang telah kehilangan  sifat kepemimpinan yang aku kagumi." Kata Bonge Kalungkung.
Singa Lodhaya menundukkan kepala. Ia memang telah mengalami kemunduran kejiwaan, setelah mengalami luka di dalam dadanya yang cukup parah. Hampir seminggu ia pingsan tak sadarkan diri, setelah perang tanding dengan seorang pemuda di pinggir Hutan Lodhaya. Ia belum kenal siapa nama pemuda itu, tetapi cambuk yang ia pakai sudah lama diketahuinya. Cambuk Naga Geni milik pendekar gaek Kidang Gumelar.