"Hore, hore, hore. Kita berangkat. Hore." Sorak mereka lantas membubarkan diri untuk menuju gubug masing-masing. Segera mereka kumpulkan barang-barang milik mereka yang mereka bawa dari padepokan. Beberapa helai pakaian dan beberapa barang berharga yang berhasil mereka rampok di perjalanan.
Ketika kenthongan berbunyi lagi segera mereka berkumpul di kelompok kesatuan perguruan masing-masing. Jumlah anggota terbanyak dari kesatuan perguruan Lodhaya. Hampir semua cantrik ikut rombongan yang hendak menggempur kademangan Maja Dhuwur.
Murid-murid utama berdiri paling depan dalam rombongan yang akan berangkat ke tempat mereka yang baru. Untuk semakin dekat dengan sasaran yang hendak mereka serbu.
Gagak Ijo dengan sepasang pisau panjang yang bergantung di kedua pinggangnya. Landak Ireng dengan pedang besar di pinggang kirinya, serta puluhan pisau kecil beracun yang melingkar pada ikat pinggangnya. Macan Loreng jantan dan betina dengan cakar tajam pada kuku-kukunya, serta Gemak Sangklir murid Srigunting dengan bindi di tangannya. Semua siap memimpin barisan pasukan itu.
Ketika kenthongan berbunyi lagi masing-masing rombongan secara bergilir keluar dari pesanggrahan Wanajaya. Seperti naga raksasa yang baru bangun dari tidur panjangnya, dan mengurai lilitan tubuhnya yang panjang untuk bergerak melata menunggu calon mangsanya.
Rombongan terakhir adalah pedati berisi penuh bahan makanan yang berjalan pelan dalam tarikan lembu yang membawanya. Jumlahnya puluhan, masing-masing dikawal empat orang anggota perguruan yang bergabung dalam rombongan perang itu.
Meski semangat mereka berkobar ingin segera terjun ke kancah perang, namun mereka juga tak ingin kehilangan bekal makanan mereka. Terpaksa mereka harus menahan diri dan berjalan pelan sesuai irama gerak roda pedati.
"Kita berjalan seperti keong. Sebentar-sebentar berhen/ti menunggu pedati. Dadaku bisa terbakar karena kesal."
"Bersabarlah. Isi pedati itu  adalah nyawa kita juga. Jika hilang, semangat kita juga akan kendor. Bagaimana kita memenangkan perang  ? Jika perut lapar ?"
Orang  pertama terdiam.  Otaknya mulai bekerja dan membenarkan pendapat kawannya. Iapun segera duduk dengan tatapan mata yang masih liar. Sebentar-sebentar ia mengumpat, untuk melepas kekesalannya.
Baru tengah  malam rombongan besar pasukan golongan hitam itu sampai di desa Sambirame. Desa itu sepi tak berpenghuni, penduduknya mengungsi entah kemana, menghindari perintah pemimpin desa mereka untuk mendukung perjuangan.