Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 41. Benturan Pertama

27 Juli 2024   11:56 Diperbarui: 14 Agustus 2024   23:22 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hore, hore, hore. Kita berangkat. Hore." Sorak mereka lantas membubarkan diri untuk menuju gubug masing-masing. Segera mereka kumpulkan barang-barang milik mereka yang mereka bawa dari padepokan. Beberapa helai pakaian dan beberapa barang berharga yang berhasil mereka rampok di perjalanan.

Ketika kenthongan berbunyi lagi segera mereka berkumpul di kelompok kesatuan perguruan masing-masing. Jumlah anggota terbanyak dari kesatuan perguruan Lodhaya. Hampir semua cantrik ikut rombongan yang hendak menggempur kademangan Maja Dhuwur.

Murid-murid utama berdiri paling depan dalam rombongan yang akan berangkat ke tempat mereka yang baru. Untuk semakin dekat dengan sasaran yang hendak mereka serbu.

Gagak Ijo dengan sepasang pisau panjang yang bergantung di kedua pinggangnya. Landak Ireng dengan pedang besar di pinggang kirinya, serta puluhan pisau kecil beracun yang melingkar pada ikat pinggangnya. Macan Loreng jantan dan betina dengan cakar tajam pada kuku-kukunya, serta Gemak Sangklir murid Srigunting dengan bindi di tangannya. Semua siap memimpin barisan pasukan itu.

Ketika kenthongan berbunyi lagi masing-masing rombongan secara bergilir keluar dari pesanggrahan Wanajaya. Seperti naga raksasa yang baru bangun dari tidur panjangnya, dan mengurai lilitan tubuhnya yang panjang untuk bergerak melata menunggu calon mangsanya.

Rombongan terakhir adalah pedati berisi penuh bahan makanan yang berjalan pelan dalam tarikan lembu yang membawanya. Jumlahnya puluhan, masing-masing dikawal empat orang anggota perguruan yang bergabung dalam rombongan perang itu.

Meski semangat mereka berkobar ingin segera terjun ke kancah perang, namun mereka juga tak ingin kehilangan bekal makanan mereka. Terpaksa mereka harus menahan diri dan berjalan pelan sesuai irama gerak roda pedati.

"Kita berjalan seperti keong. Sebentar-sebentar berhen/ti menunggu pedati. Dadaku bisa terbakar karena kesal."

"Bersabarlah. Isi pedati itu  adalah nyawa kita juga. Jika hilang, semangat kita juga akan kendor. Bagaimana kita memenangkan perang   ? Jika perut lapar ?"

Orang  pertama terdiam.  Otaknya mulai bekerja dan membenarkan pendapat kawannya. Iapun segera duduk dengan tatapan mata yang masih liar. Sebentar-sebentar ia mengumpat, untuk melepas kekesalannya.

Baru tengah  malam rombongan besar pasukan golongan hitam itu sampai di desa Sambirame. Desa itu sepi tak berpenghuni, penduduknya mengungsi entah kemana, menghindari perintah pemimpin desa mereka untuk mendukung perjuangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun