Malam itu Senopati Wira Manggala Pati bersama tiga puluh prajurit pengikutnya berbincang-bincang dengan ki demang serta para pemimpin pengawal pedusunan se kademangan Maja Dhuwur. Mereka memperbincangkan penempatan prajurit Bala Putra Raja yang sekelompok demi sekelompok kecil akan masuk ke wilayah kademangan.
"Prinsipnya jangan semua di tampung di satu dusun, jadi harus menyebar rata ke seluruh kademangan."
"Apakah tidak lebih menyulitkan Senopati jika mereka tersebar. Akan sulit mengumpulkan mereka jika dibutuhkan mendadak." Kata ki demang.
"Selama musuh belum di depan mata, barangkali itu yang lebih baik. Mereka dapat membantu pengawal mengungsikan penduduk sebelum perang terjadi. Â Kebutuhan makanpun bisa dikelola lebih sederhana, tidak perlu membuat dapur umum yang melibatkan banyak orang. Pokoknya, jangan merepotkan warga kademangan. Kita datang untuk meringankan beban, bukan menambah beban" kata senopati.
Benar saja esok harinya telah datang rombongan kecil memasuki kademangan lewat dusun Sumber Rejo, mereka mengiringi dua buah pedati berisi bahan makanan.Â
Seorang pengawal segera mengantarkan mereka menuju dusun di mana mereka sementara tinggal. Lima puluh prajurit itu di tempatkan di balai kabekelan setempat.
Dari pintu gapura dusun Tempuran juga masuk rombongan serupa, mereka juga membawa bekal bahan makanan yang dimuat dua pedati. Dua orang pengawal menyarankan untuk terus ke dusun berikutnya. Ke dusun Maja Legi.
Demikianlah untuk hari-hari berikutnya, kelompok demi kelompok telah ditempatkan di setiap dusun kademangan. Prajurit-prajurit itu dipersiapkan menjadi inti pasukan yang akan menahan serangan golongan hitam.
Menurut senopati masih ada sejumlah prajurit yang ditempatkan di luar kademangan. Mereka membuat pesanggrahan di sebuah hutan yang cukup tersembunyi dari intaian mata-mata musuh. Mereka akan terjun ke medan jadi sayap gelar yang akan disusun kelak.
Beberapa malam berikutnya tengara disampaikan kepada para pimpinan pengawal lewat bunyi kentongan tiga berganda berulang ulang. Mereka harus kumpul di balai kademangan.
Setelah malam itu semua berkumpul, senopati menyampaikan pikirannya.
"Kita butuh telik sandi untuk mengamati setiap pergerakan lawan. Dibutuhkan beberapa orang untuk melakukan kerja yang cukup berbahaya ini. Setidaknya memiliki ilmu yang cukup, dan kecepatan lari yang tinggi untuk menghindar dari bahaya tertangkap musuh" kata senopati.
Beberapa pengawal menoleh memandang Sembada. Senopati segera tanggap, iapun segera bertanya kepada pemuda itu.
"Apakah kau sanggup menjalankan kerja mata-mata Sembada ?" Tanya Senopati.
"Sanggup ayah. Saya siap menjalankannya." Jawab Sembada.
"Di sini tidak ada ayah. Yang ada senopati yang mendapat tugas memimpin pertempuran ini."kata Senopati Wira Manggala Pati.
"Baik senopati. Saya siap." Jawab Sembada lagi. Semua yang hadir di balai kademangan tersenyum, mendengar percakapan ayah dan anak itu.
Namun tidak berselang lama, tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh suara wanita dari deretan belakang. Semua sudah hafal suara siapa itu, pasti suara Sekar Arum.
"Saya juga siap ditugaskan sebagai mata-mata, membantu kakang Sembada."
"Ini kerja sangat berbahaya tuan puteri." Kata Senopati.
"Tidak ada tuan puteri di sini, yang ada prajurit dan senopati." Jawab Sekar Arum. Semua yang mendengar ucapan Sekar Arum tertawa.
"Prajurit wanita dan laki-laki muda tidak diperkenankan melakukan tugas rahasia bersama-sama. Apalagi tanpa dikawal." Senopati kebingungan berusaha mencegah niat Sekar Arum mengikuti Sembada. Ia sampaikan alasan itu sekenanya saja.
Nampak Sekar Arum tertunduk malu. Tak ada jawaban yang bisa ia katakan atas pernyataan senopati. Seolah lelaki itu tahu dirinya selalu ingin bersama Sembada kemanapun ia pergi.
Namun tiba-tiba terdengar jawaban dari luar balai kademangan, di balik remang-remang cahaya obor di halaman.
"Aku yang akan mengawal kepergian mereka. Aku juga ingin melihat sekuat apa pasukan yang dipersiapkan untuk menyerang kademangan ini." Demikian suara seorang wanita itu menyela.
Senopati menoleh keluar kearah datangnya suara. Ia tidak tahu suara siapa yang ikut nimbrung dalam perbincangan itu.
"Suara siapa itu ?" Tanyanya.
"Guru !!!" Sekar Arum berteriak. "Ia Nyai Rukmini, guruku." Lanjutnya, ditujukan kepada senopati yang menatapnya.
"Nyai Rukmini, Si Walet Putih Bersayap Pedang ?"
"Iya. Dia guruku."
"Baiklah, jika gurumu ikut bersamamu. Tadi aku tidak tega saja kau hanya berdua dengan Sembada."
"Bukan alasan yang masuk akal untuk dua prajurit yang sudah matang pikirannya."terdengar lelaki tua menanggapi.
"Siapa lagi itu ?"
"Ki Ardi. Si Kidang Gumelar, pendekar bercambuk legendaris jaman prabu Darmawangsa." Kata ki demang.
"Ohhh,...Tokoh-tokoh tua yang dulu menggemparkan jagat persilatan telah datang juga." Kata senopati lirih.
Demikianlah esok harinya empat orang itu berangkat menjalankan tugas, diikuti lima prajurit sandi dari pasukan Bala Putra Raja. Mereka mengendarai kuda menuju ke barat.
Ketika lewat desa Sambirame nampak desa itu sepi sekali. Para punggawa desa tentu sudah berangkat pergi mengikuti pemimpinnya, Gagak Ijo. Ikut bergabung dengan semua gerombolan yang berrencana menggempur kademangan Maja Dhuwur.
"Mereka sudah merebut desa-desa sekitar kademangan Maja Dhuwur. Kademangan itu sebenarnya sudah terkepung kekuatan pendukung kerajaan Wura Wari."
"Benar Kek. Namun kerajaan itu tak pernah membantu usaha golongan hitam untuk menguasai kademangan Maja Dhuwur."
"Aneh. Tentu merekapun tidak ingin golongan ini menjadi kuat." Kata kakek Ardi.
"Ini juga kelihaian ki demang. Begitu Medang hancur ia memperlihatkan tanda takluk kepada penguasa kerajaan Wura Wari. Setiap tahun ki demang mengirim upeti ke Lwaram, Bloura. Dengan demikian golongan hitam harus berjuang sendiri jika ingin merebut kademangan Maja Dhuwur."
"Itulah cara kerja para penguasa yang memerintah sebuah wilayah, mereka harus berpikir ganda. Sekarang ki demangpun telah mendua jalan pikirnya. Satu sisi dia masih tunduk kepada kerajaan Wura-wari, karena negeri ini sekarang yang berkuasa, tapi dia diam-diam menjalin hubungan dengan Pangeran Erlangga. Menantu Prabu Darmawangsa, penguasa kerajaan Medang yang dulu dirobohkan raja Wura Wari itu."
"Penguasa kerajaaan Wura-wari juga membiarkan golongan hitam melakukan kegiatan perampokan, pembegalan di hutan Waringin Soban. Tanpa terlihat tindakan prajurit mengamankan wilayah itu."
"Itulah bukti penguasa berpikir ganda. Mereka membiarkan golongan hitam melakukan kegiatannya sebagai hadiah pernah membantu menaklukkan Medang."
Di dusun Suwaluh Sembada mengajak teman-temannya mampir ke rumah Ki Narto Celeng yang tinggal di pinggir hutan. Namun rumah itu ternyata pintunya tutup. Di pategalanpun orang tua itu tidak nampak batang hidungnya. Mungkin mereka sekeluarga telah mengungsi, menghindari pasukan golongan hitam yang akan melewati dusun kecil itu.
Akhirnya mereka melanjutkan perjalanan menuju arah selatan. Menjelang matahari sepengalah mereka sampai ke desa Gayam. Di desa ini mereka menitipkan kuda.
Jarak hutan Wanajaya hanya beberapa ribu depa saja dari desa Gayam. Mereka memilih waktu malam hari untuk memasuki hutan itu. Di banding hutan Waringin Soban hutan ini tak begitu lebat, meski masih banyak pohon-pohonnya yang besar.
Ketika matahari telah tenggelam mereka memisahkan diri. Sembada berjalan bersama Sekar Arum, Nyai Rukmini bersama Ki Ardi, lima prajurit sandi berjalan sendiri-sendiri.
Saat tengah malam mereka menyaksikan ratusan gubug berdiri di tengah hutan itu. Kemunculannya seperti jamur yang tumbuh di musim hujan. Mereka melihat semua itu dari tempat yang berbeda-beda.
Gubug-gubug itu didirikan melingkari beberapa pedati di tengahnya. Besar kemungkinan pedati-pedati itu berisi bahan makanan. Jumlahnya puluhan pedati, letaknya tak jauh dari kandang lembu penariknya. Bentuknya tak ubahnya lumbung-lumbung padi milik petani, hanya saja ini bisa dengan cepat dipindahkan.
Obor-obor besar menyala dengan terang di depan setiap gubug. Hilir mudik penjaga nampak dari kejauhan. Terutama di sekitar pedati-pedati itu.
Sembada dan Sekar Arum lantas bergeser ke arah selatan. Mereka ingin mengelilingi pesanggrahan pasukan golongan hitam itu. Nampaknya seluruh kekuatan belum semuanya hadir. Terlihat sekelompok gubug belum kelihatan berpenghuni. Hal itu nampak di depan gubug-gubug itu obor belum terlihat menyala, dan tak ada rontek terpasang di sana.
Ketika terdengar dua anak panah sendaren berurutan melayang membelah udara, kemudian disusul langkah-langkah orang yang tengah berlari sambil berteriak-teriak, Sembada dan Sekar Arum bergegas melihat apa yang tengah terjadi.
Rupanya suara panah sendaren itu adalah pertanda permintaan pertolongan. Terbukti para penjaga yang berjumlah belasan itu bergegas menuju sumber suara panah itu berasal. Dengan ilmu peringan tubuh mereka yang telah matang, Sembada dan Sekar Arum segera menyusul kemana arah langkah kaki para penjaga regol itu berlari.
Sebentar kemudian terdengarlah dentang suara senjata beradu, dan teriakan-teriakan orang yang tengah bertempur. Begitu sampai tujuan para penjaga regol pesanggrahan segera menjeburkan diri mereka dalam kancah pertempuran. Mereka tahu bahwa kawan-kawannya yang ditugaskan mencari tambahan bahan makan dari desa-desa sekitar pesanggrahan  tengah dihadang oleh sekelompok orang.
Rupanya pertempuran itu terjadi dengan sengitnya, dan sudah berlangsung beberapa lama. Beberapa anggota pasukan golongan hitam nampak menggeletak di tanah. Belum diketahui apakah mereka sudah tewas atau belum. Namun mereka tak lagi mampu ikut melawan para penyerangnya.
Kelompok penyerang anggota gerombolan itu belum dikenal oleh Sembada dan Sekar Arum. Rata-rata ilmu kanuragannya setara. Usia merekapun masing-masing tak jauh terpaut banyak. Dari jenis senjata yang mereka pakai dan gerak ilmu kanuragannya, mereka tentu berasal dari satu perguruan.
Datangnya bala bantuan belasan orang dari gardu regol pesanggrahan membuat mereka kuwalahan. Â Sejenak mereka terdesak dengan cepat. Namun karena masing-masing berilmu cukup tinggi segera saja mereka menyesuaikan diri. Gerak mereka semakin cepat dan keras, teriakan-teriakan mereka kian sering bergema di hutan itu.
Namun suara teriakan dan dentang senjata di medan pertempuran itu belum mampu terdengar para penghuni pesanggrahan. Â Jarak tempat mereka bertempur masih cukup jauh, dan waktu sudah larut malam. Sebagian besar penghuni pesanggrahan tentu banyak yang telah tidur.
Sembada segera mempertajam pandangannya agar lebih mengenal kelompok pemuda yang menyerang anggota gerombolan itu. Hawa sakti Aji Tapak Naga Angkasa bergerak dari jantung menuju indera penglihatannya. Nampak para pemuda itu tangan kiri mereka memegang senjata semacam keris, namun bentuk bilahnya berlainan dengan keris pada umumnya. Sedang tangan kanan mereka membawa pedang.
"Tangan kiri mereka memegang senjata seperti keris, tapi bilahnya tidak seperti keris." Bisik Sembada kepada Sekar Arum.
Sekar Arum yang kebetulan juga tengah mempertajam penglihatannya, bahkan sekaligus meningkatkan daya pendengarannya dengan Aji Garuda Sakti, segera menyaut bisikan Sembada.
"Benar kakang. Dari bahasa yang mereka teriakkan,  mereka tentu orang-orang kulon, jawa Barat, tepatnya Tanah Pasundan. Saya pernah ikut guru mengembara ke sana. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda. Aku kenal beberapa istilah yang mereka teriakkan, 'paeh siak', artinya 'mampus kau'." Jawab Sekar Arum.
"Jadi senjata yang seperti keris yang mereka pegang di tangan kiri itu tentu kujang. Aku ingat berbagai bentuk senjata kujang yang menghiasi dinding sanggar Ki Wangsa Jaya, saudagar kaya dari desa Wates itu."
"Apakah mungkin mereka para cantrik dari Gunung Halimun, murid-murid pendekar Bajang dari Pasundan, Mang Ogel , Kakang ?" Tanya Sekar Arum.
"Mungkin sekali." Jawab Sembada.
"Kalau begitu mari kita segera terjun ke medan kakang. Membantu para cantrik Pasundan itu." Ajak Sekar Arum.
"Baiklah. Tempat ini sangat berbahaya bagi para cantrik itu. Jika salah satu tokoh sakti di pesanggrahan itu tahu, mereka bisa celaka."
Sembada dan Sekar Arum segera keluar dari persembunyian. Sepasang pedang segera beralih dari selongsongnya di punggung ke kedua tangan gadis itu. Demikian pula Sembada telah mengurai cambuknya yang melingkari perutnya.
Dengan teriakan lantang keduanya segera terjun ke medan pertempuran yang sangat riuh itu.
"Kami di pihak orang-orang Pasundan." Teriak Sekar Arum.
Dalam waktu singkat senjata keduanya telah memakan beberapa korban. Sepasang pedang Sekar Arum telah menyobek kulit dada beberapa lawannya. Sedangkan cambuk Sembada telah mencabut beberapa senjata dari tangan-tangan kekar anggota gerombolan itu.
Geraknya yang cepat keras dan tangkas sepasang pemuda dan pemudi yang baru terjun ke medan itu membuat kagum mereka yang merasa dibantu. Teriakan-teriakan pujian segera bergema dari mulut mereka.
"Hebat. Hebat. Seperti garuda bersayap pedang." Teriak sebagian dari mereka. "Cambuk ajaib, suaranya menggetarkan." Teriak yang lain. Padahal Sembada baru menggunakan tenaga wantahnya saja, belum memakai tenaga dalam, apalagi daya sakti Aji Tapak Naga Angkasa.
Kehadiran sepasang pemuda bersenjata sepasang pedang dan cambuk itu benar-benar menggetarkan hati orang-orang dari pesanggrahan itu. Salah seorang dari mereka berteriak keras agar terus bertahan.
"Bertahanlah kalian. Jangan gentar dengan dua orang gila itu." Teriaknya kepada pasukan yang bertempur..Â
"Panggil lagi bala bantuan, kirim anak panah sendaren lagi, dua kali ganda." Teriaknya lagi lebih keras, seolah disampaikan kepada orang yang jauh dari mereka.
Sebentar kemudian mendengung dua anak panah sendaren membelah udara malam. Belum hilang suara sendaren yang bergetar dari dua panah pertama, disusul suara dua panah berikutnya. Â
Demikian dua kali berganda, getaran suara panah sendaren membelah udara malam. Ternyata ada dua orang yang bersembunyi yang  mendapat tugas melakukan itu. Mereka tidak ikut dalam riuhnya pertempuran.
Belum selesai hati mereka yang menyerang gerombolan itu terganggu suara panah sendaren, muncul sebuah keanehan lainnya. Tiba-tiba angin sepoi bersuhu dingin berhembus membelai kulit orang-orang yang bertempur mempertaruhkan nyawa itu.
Kabut putih tipis melayang bersama angin sepoi itu. Lama-lama kabut itupun menebal, dan menyebarkan hawa dingin yang lebih mencengkam kulit dan tulang.
"Aji halimun pethak. Ini pasti perbuatan guru." Kata seseorang.
"Ya, guru telah datang." Sambut orang berikutnya.
"Artinya kita disuruh segera meninggalkan tempat ini." Kata yang lain lagi.
"Kita belum menghancurkan begundal-begundal yang merampas bahan makanan para penduduk desa yang kita lewati."
"Lupakan mereka. Kita patuhi perintah guru. Tinggalkan tempat ini. Bahaya mungkin segera mengancam kita."
"Baiklah. Kita pergi. Kisanak yang perkasa. Pendekar bercambuk dan berpedang rangkap yang geulis, segera pergi dari sini. Terima kasih bantuannya." Kata seseorang.
Salah seorang mengingatkan Sembada dan Sekar Arum. Kemudian bersama-sama mereka melontarkan tubuhnya ke belakang dan berbalik  badan,  kemudian lari menembus kegelapan.
Sembada dan Sekar Arum tak ingin terjebak oleh keroyokan orang-orang pesanggrahan. Mereka segera melontarkan tubuh jauh ke belakang pula, dan bergegas meninggalkan tempat itu. Keduanya menelusup masuk pepatnya hutan dan menghilang dari pandangan mata lawan-lawannya.
Namun tak seorangpun orang-orang pesanggrahan itu yang berusaha mengejar lawan-lawan mereka. Semua tercengkam oleh hawa dingin yang menusuk kulit hingga masuk ke tulang belulang mereka. Semuanya menggigil, serasa tak tahan oleh dinginnya malam.
Namun sebentar saja kabut tebal itu semakin menipis, kemudian hilang dari pandangan mereka. Hawa yang dinginpun sedikit demi sedikit berkurang, sehingga tidak menggigilkan badan lagi.
Di sebuah tempat yang tersembunyi dekat medan pertempuran itu, di atas batu besar bekas tempat duduknya bersila, seorang lelaki pendek baru melepaskan kedua tangannya yang semula bersedekap di dada.Â
Lelaki bajang itu baru saja bermeditasi untuk menyalurkan Aji Halimun Pethak, yang dapat mendatangkan udara dingin berkabut putih, untuk menyelamatkan murid-muridnya. Ia kawatir dua panah sendaren dua kali berganda yang membelah udara malam itu memanggil tokoh-tokoh sakti golongan hitam mendatangi arena pertempuran itu.
Sebentar kemudian, lelaki pendek kekar yang tak lain pendekar bajang dari tanah Pasundan yang bernama Mang Ogel itu segera melesat dari tempatnya. Dengan ilmu peringan tubuhnya yang sempurna, sebentar saja ia telah menyusul dua puluh pemuda yang baru bertempur itu.
"Kenapa kalian kelayapan sampai kemari ?. Bukankah sudah aku beri tahu, setelah menyeberang sungai Brantas kalian harus jalan lurus masuk hutan Waringin Soban ? Kenapa belok ke selatan, memasuki hutan Wana Jaya, apa yang kalian cari ?" Demikian omelan Mang Ogel kepada murid-muridnya.
Semua pemuda yang baru hendak naik ke punggung kuda itu diam tak bersuara. Mereka tahu telah melanggar perintah gurunya. Oleh karena itu tak ada yang berani membuka mulut.
"Apakah kalian semua bisu ? Tak bisa menjawab pertanyaanku ?" Tanyanya bertambah kesal.
"Maaf guru, bukan maksud kami melanggar pesan guru. Tapi kami mengejar sekelompok orang yang telah bertindak kejam terhadap penduduk beberapa desa di sepanjang jalan setelah kami menyeberang sungai Brantas." Kata salah seorang muridnya.
"Apa yang mereka lakukan ?" Tanya Mang Ogel.
"Mereka menganiaya para petani yang tidak bersedia menyerahkan isi lumbungnya guru." Kata yang lain menjawab pertanyaan Mang Ogel.
"Bahkan beberapa orang dewasa, juga anak-anak dibunuhnya guru. Maka kami merasa sangat marah, dan mengejarnya untuk merebut pedati yang berisi beras para petani."
"Ooohh, ternyata begitu, baiklah. Jika itu alasannya. Bukan karena kecerobohan kalian hingga sampai tempat ini. Ketahuilah beberapa ratus depa dari tempat kalian bertempur adalah gubug-gubug pesanggrahan calon lawan kita nanti di kademangan Maja Dhuwur. Aku takut tokoh-tokoh sakti datang ke tempat itu bersamaan. Jika itu terjadi kalian akan 'paeh'semua. Mampus tak bernyawa lagi, di tangan para sakti itu. Maka aku terpaksa menggunakan Aji Halimun Pethak untuk menghentikan pertempuran."
"Kami minta maaf telah merepotkan guru."
"Baiklah aku ampuni kalian kali ini." Kata Mang Ogel.
Tiba-tiba lelaki pendek itu membalikkan badannya. Kemudian berkata sedikit keras entah kepada siapa, murid-muridnya tidak ada yang tahu.
"He kalian berdua. Â Sepasang pendekar muda yang hebat, jangan kalian bersembunyi di balik pohon Kesambi yang besar itu, jika kalian ingin kemari, kemarilah !! Keluar dari persembunyianmu. Jangan kau tiru guru-guru kalian yang berjongkok di belakang kalian sambil menguping pembicaraan orang " Kata Mang Ogel sambil tersenyum.
Semua murid pendekar bajang dari Pasundan itu heran, siapa gerangan orang-orang yang disebut gurunya tengah mengawasi mereka di padang perdu dekat hutan Wana Jaya itu ? Mata mereka tidak menangkap bayangan sesosok orangpun dalam kegelapan malam yang pekat.
Tiba-tiba semua kepala mendongak, mata mereka menangkap sebuah bintang jatuh dari langit.  Seleret cahaya putih kebiruan membelah angkasa sekejap. Sebelum mereka melihat empat orang berjalan keluar dari pekatnya malam, menuju tempat mereka berdiri. Sebuah tawa renyah bersahabat terdengar dari mulut lelaki tua di antara mereka.
"Kek kek kek kek....."
(Bersambung)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H