"Itulah bukti penguasa berpikir ganda. Mereka membiarkan golongan hitam melakukan kegiatannya sebagai hadiah pernah membantu menaklukkan Medang."
Di dusun Suwaluh Sembada mengajak teman-temannya mampir ke rumah Ki Narto Celeng yang tinggal di pinggir hutan. Namun rumah itu ternyata pintunya tutup. Di pategalanpun orang tua itu tidak nampak batang hidungnya. Mungkin mereka sekeluarga telah mengungsi, menghindari pasukan golongan hitam yang akan melewati dusun kecil itu.
Akhirnya mereka melanjutkan perjalanan menuju arah selatan. Menjelang matahari sepengalah mereka sampai ke desa Gayam. Di desa ini mereka menitipkan kuda.
Jarak hutan Wanajaya hanya beberapa ribu depa saja dari desa Gayam. Mereka memilih waktu malam hari untuk memasuki hutan itu. Di banding hutan Waringin Soban hutan ini tak begitu lebat, meski masih banyak pohon-pohonnya yang besar.
Ketika matahari telah tenggelam mereka memisahkan diri. Sembada berjalan bersama Sekar Arum, Nyai Rukmini bersama Ki Ardi, lima prajurit sandi berjalan sendiri-sendiri.
Saat tengah malam mereka menyaksikan ratusan gubug berdiri di tengah hutan itu. Kemunculannya seperti jamur yang tumbuh di musim hujan. Mereka melihat semua itu dari tempat yang berbeda-beda.
Gubug-gubug itu didirikan melingkari beberapa pedati di tengahnya. Besar kemungkinan pedati-pedati itu berisi bahan makanan. Jumlahnya puluhan pedati, letaknya tak jauh dari kandang lembu penariknya. Bentuknya tak ubahnya lumbung-lumbung padi milik petani, hanya saja ini bisa dengan cepat dipindahkan.
Obor-obor besar menyala dengan terang di depan setiap gubug. Hilir mudik penjaga nampak dari kejauhan. Terutama di sekitar pedati-pedati itu.
Sembada dan Sekar Arum lantas bergeser ke arah selatan. Mereka ingin mengelilingi pesanggrahan pasukan golongan hitam itu. Nampaknya seluruh kekuatan belum semuanya hadir. Terlihat sekelompok gubug belum kelihatan berpenghuni. Hal itu nampak di depan gubug-gubug itu obor belum terlihat menyala, dan tak ada rontek terpasang di sana.
Ketika terdengar dua anak panah sendaren berurutan melayang membelah udara, kemudian disusul langkah-langkah orang yang tengah berlari sambil berteriak-teriak, Sembada dan Sekar Arum bergegas melihat apa yang tengah terjadi.
Rupanya suara panah sendaren itu adalah pertanda permintaan pertolongan. Terbukti para penjaga yang berjumlah belasan itu bergegas menuju sumber suara panah itu berasal. Dengan ilmu peringan tubuh mereka yang telah matang, Sembada dan Sekar Arum segera menyusul kemana arah langkah kaki para penjaga regol itu berlari.