"Apa yang mereka lakukan ?" Tanya Mang Ogel.
"Mereka menganiaya para petani yang tidak bersedia menyerahkan isi lumbungnya guru." Kata yang lain menjawab pertanyaan Mang Ogel.
"Bahkan beberapa orang dewasa, juga anak-anak dibunuhnya guru. Maka kami merasa sangat marah, dan mengejarnya untuk merebut pedati yang berisi beras para petani."
"Ooohh, ternyata begitu, baiklah. Jika itu alasannya. Bukan karena kecerobohan kalian hingga sampai tempat ini. Ketahuilah beberapa ratus depa dari tempat kalian bertempur adalah gubug-gubug pesanggrahan calon lawan kita nanti di kademangan Maja Dhuwur. Aku takut tokoh-tokoh sakti datang ke tempat itu bersamaan. Jika itu terjadi kalian akan 'paeh'semua. Mampus tak bernyawa lagi, di tangan para sakti itu. Maka aku terpaksa menggunakan Aji Halimun Pethak untuk menghentikan pertempuran."
"Kami minta maaf telah merepotkan guru."
"Baiklah aku ampuni kalian kali ini." Kata Mang Ogel.
Tiba-tiba lelaki pendek itu membalikkan badannya. Kemudian berkata sedikit keras entah kepada siapa, murid-muridnya tidak ada yang tahu.
"He kalian berdua. Â Sepasang pendekar muda yang hebat, jangan kalian bersembunyi di balik pohon Kesambi yang besar itu, jika kalian ingin kemari, kemarilah !! Keluar dari persembunyianmu. Jangan kau tiru guru-guru kalian yang berjongkok di belakang kalian sambil menguping pembicaraan orang " Kata Mang Ogel sambil tersenyum.
Semua murid pendekar bajang dari Pasundan itu heran, siapa gerangan orang-orang yang disebut gurunya tengah mengawasi mereka di padang perdu dekat hutan Wana Jaya itu ? Mata mereka tidak menangkap bayangan sesosok orangpun dalam kegelapan malam yang pekat.
Tiba-tiba semua kepala mendongak, mata mereka menangkap sebuah bintang jatuh dari langit.  Seleret cahaya putih kebiruan membelah angkasa sekejap. Sebelum mereka melihat empat orang berjalan keluar dari pekatnya malam, menuju tempat mereka berdiri. Sebuah tawa renyah bersahabat terdengar dari mulut lelaki tua di antara mereka.
"Kek kek kek kek....."