"Tuan Senopati, bolehkah aku menebak siapa sebenarnya tuan ?" Kata Sekar Arum. Semua yang mendengar perkataan Sekar Arum sangat heran. Apa pula maksud gadis itu.
"Tentu saja tuan puteri."jawab Senopati itu.
"Tuan sebenarnya paman Wirapati. Bekas pemimpin pengawal katumenggungan Gajah Alit. Suami Nyai Kenanga emban pamomong kami. Dan ayah Sembada."
"Tuan puteri bisa mengatakan itu apa alasannya."
"Pertama sejak awal tuan menyebut kami berdua tuan puteri. Kebiasaan sejak dikatumenggungan saat kami masih kecil. Kedua besar dan tinggi tuan sama dengan pemimpin pengawal ayahku. Ketiga kesukaan tuan minum air kelapa muda. Setiap pulang tugas dulu tuan sering mengambil kelapa muda yang berbuah lebat dan tumbuh di pojok halaman katumenggungan. Benarkah tuan ?"
"Tuan puteri Sekar Arum memiliki daya pengamatan yang tajam sekali. Tebakan tuan puteri benar. Akulah bekas pengawal ayahanda tuan puteri, Tuan Tumenggung Gajah Alit. Aku ayah Sembada" jawab senopati itu.
Lelaki itu lantas membuka caping dan kain penutup wajahnya. Nampak seorang lelaki yang tidak asing lagi bagi Sembada, ia segera maju ke depan dan berjongkok merangkul kaki ayahnya. Setetes air mata ditahannya agar tidak jatuh ke tanah, namun itu perbuatan yang sia-sia. Sembadapun menangis membasahi kaki lelaki tua itu.
Setelah agak lama senopati itu kemudian mengangkat bahu Sembada agar berdiri. Nampak seorang pemuda yang gagah, yang sepuluh tahun lalu ia titipkan di padepokan Cemara Sewu. Sama sekali ia tidak mengira bakal ketemu lagi di kademangan Maja Dhuwur ini.
Lelaki itu menepuk-nepuk pundak Sembada, anak tunggalnya yang sangat membanggakan hatinya.
"Sudahlah jangan menangis. Tabu lelaki mengeluarkan air mata. Karena akan merapuhkan kulit otot dan tulang." Kata senopati yang matanyapun nampak basah.
"Mari tuan, kami iringkan masuk ke balai kademangan."kata ki demang mempersilahkan senopati itu.