Rombongan itupun melanjutkan perjalanan menuju balai kademangan. Ketika berbelok memasuki gapura kademangan itu mereka melihat penyambutnya berdiri berjajar diterangi beberapa obor yang menyala terang. Setelah dekat semua turun dari atas kuda, dan menyerahkan hewan-hewan itu kepada para pengawal yang bertugas untuk ditambatkan pada patok-patok bambu yang tersedia.
Ki demang Sentika segera membungkuk memberi hormat kepada lelaki tegap kekar bercaping bambu dan tertutup wajahnya dengan ikat kepala itu. Lelaki itupun membungkuk membalas memberi hormat.
"Selamat malam ki demang. Kami datang sesuai perintah Pangeran Erlangga untuk membantu mempertahankan kademangan ini dari rencana serbuan musuh."Â
"Selamat malam. Apakah aku berhadapan dengan Senopati Wira Manggala Pati ?"
"Benar ki demang. Maafkan saya tidak membuka tutup muka dan caping saya. Mungkin ini agak kurang sopan buat ki demang."
"Tidak menjadi persoalan tuan. Silahkan berlaku bebas saja."
"Apakah aku bisa bertemu dengan Sembada, tuan puteri Sekar Sari dan Sekar Arum ? Kabarnya mereka telah lama di sini."
"Benar tuan. Ketiganya malam ini juga menyambut kedatangan tuan." Jawab ki demang agak keheranan. Senopati itu memanggil calon menantunya dengan sebutan tuan puteri.Â
"Sembada, Sari, Arum majulah kalian. Tuan Senopati ingin bertemu kalian." Teriak Ki demang memanggil mereka.Â
Sembada maju mendekati Senopati serta membungkukkan badan sambil menangkupkan kedua tangan di bawah hidung untuk memberi hormat. Lelaki itu membalas dengan mengangkat dua tangannya ke dada.Â
Semua yang melihat agak terkejut, ternyata senopati itu cacat tangannya. Ia tidak memiliki telapak tangan kiri. Tangan itu buntung sejengkal di atas pergelangan telapak tangan.