"Ohhh jadi begitu ceritanya. Sehingga aku berjumpa lagi dengannya di desa Balitar, usai aku menghajar enam cantrik padepokan Lodhaya."
"Aku dengar cerita tentang dirimu saat dua prajurit sandi datang kemari."
Demikianlah percakapan dua saudara kembar itu pada suatu malam di kamar Sekar Sari. Â Dua saudara kembar itu seolah membuktikan bahwa mereka saling mengetahui isi hati masing-masing, hingga akhirnya Sekar Sari tidak lagi dapat menahan hati untuk bertanya kepada Sekar Arum. Pertanyaan tentang hal yang sangat pribadi.
"Arum. Apakah kau mencintai Sembada ?"
"Kenapa kakak bertanya begitu ?"
"Aku menangkap gelagatmu saja. Betapa kau seolah begitu mengkawatirkan dia. Saat aku melabraknya karena ia telah berbohong padaku kau nampak begitu cemas."
"Entahlah kak. Aku sendiri tidak tahu suasana hatiku. Aku punya banyak teman lelaki di padepokan Cemara Sewu. Semua baik padaku. Namun yang paling dekat hanya kakang Sembada. Dialah tempat aku mencurahkan seluruh duka laraku terpisah dengan semua keluarga.
Aku merasa, sikapnya padaku tetap seperti dulu. Menganggap kita sebagai junjungan. Padahal segalanya telah berubah. Dulu di padepokan aku menganggapnya sebagai kakak, yang telah menggantikan mbok ayu Sekar Sari.Â
Namun pertemuan kami setelah berpisah beberapa tahun, aku merasa hatiku telah berubah. Aku sangat merindukannya, dan bahagia sekali saat bisa bertemu kembali."
"Tidakkah kau bisa membaca gelagatnya, bahwa diapun suka padamu ?"
"Aku gak tahu. Dia serius apa bercanda. Â Saat kecil dulu ia biasa cengengesan pada kita. Apakah cengengesannya yang sekarang itu memang sudah pembawaannya sejak lahir. Sudah jadi kepribadiannya."