Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bab. 36. Ular Raksasa (Cersil STN)

7 Juli 2024   20:27 Diperbarui: 8 Juli 2024   13:53 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sembada dan Sekar Arum masih duduk di atas kuda mereka. Keduanya mengawasi sejenak orang-orang yang menghadangnya dalam perjalanan pulang ke Maja Dhuwur. Ada sepuluh orang yang berdiri membentuk formasi setengah lingkaran di depan mereka berdua. 

Pemimpin mereka, seorang lelaki kekar berjambang dan berjenggot hitam tebal, bersenjata bindi, sendirian melangkah maju mendekati calon mangsanya. Matanya yang juling mengawasi Sekar Arum beberapa saat. Bibirnya selalu tersenyum mencurigakan.

"Nyalakan obor. Agar aku bisa melihat jelas calon mangsa kita." Kata orang yang  mendekati Sembada dan Sekar Arum.

Salah seorang penghadang itu segera nyalakan obor. Setelah terang karena sinar api, lelaki itu mengamati sejenak calon mangsanya. Iapun tertawa senang.

"Ternyata ada bidadari malam-malam lewat jalan sepi ini. Tentu kau sedang mencariku, anak manis." Katanya sambil memandang Sekar Arum penuh nafsu.

"Apa maksud kalian menghadang kami." Kata Sekar Arum ketus.

"Menjemput calon temantenku" kata lelaki yang disambut tawa keras teman-temannya.

"Kalian tentu para perampok yang mengotori jalan hutan ini."

"Benar. Kami akan merampok semua barang yang kalian bawa. Kuda dan payung emas itu. Juga merampok kecantikanmu." Sekali lagi kata-kata lelaki itu disambut tawa teman-temannya.

Sekar Arum menyentuh perut kuda dengan tumitnya. Kudanya berjalan mendekati lelaki itu. Beberapa langkah darinya ia menarik kekang kudanya lagi. Lelaki itu sama sekali tidak menaruh curiga, karena yang mendekatinya hanya seorang wanita.

Namun benar-benar ia terkejut ketika wanita itu melompat dengan gesit dan cepat lewat di atas kepala kudanya.  Kemudian mendaratkan kakinya tepat di depannya.  Tangan kiri wanita itu menotok pangkal lengan lelaki itu dengan ujung warangka tombak. Sementara ujung tombak di tangan kanannya menempel di dadanya.

Terasa tangan kanan lelaki itu menjadi lemas, bindi yang dipegangnya itupun terjatuh ke tanah. Ia tidak berani bergerak sejengkalpun karena takut ujung tombak di tangan kanan gadis itu bisa menusuk dadanya.

"Mari ikut aku naik kuda, jika kau tak ingin ujung tombakku merobek dadamu." Kata Sekar Arum.

Lelaki itupun berjalan mengikuti Sekar Arum yang melangkah mundur mendekati kudanya lagi. Ia memerintah lelaki itu agar segera melompat ke atas kudanya.

"Naik ke atas kudaku. Cepat !!" Perintahnya keras.

Setelah lelaki itu melompat naik dan duduk di atas kuda, Sekar Arum ikut pula melompat. Ia duduk di belakang lelaki itu, sambil memegang tali kuda di tangan kirinya.  Ujung tombaknya kini menempel di punggung lelaki itu.

"Jangan bergerak. Goresan sedikit saja tombakku akan melayangkan nyawamu." Kata Sekar Arum mengancam.

Dari atas kuda Sekar Arum menatap tajam para penghadang yang terpaku keheranan. Dengan mudah pemimpinnya ditundukkan seorang gadis. Tak seorangpun yang bergerak memberi reaksi atas kejadian itu.

"Minggir kalian !!! Kami akan lewat. Jika tak kalian beri jalan kami, pemimpin kalian akan mampus segera." Sekar Arum berteriak.

Sembilan lelaki kekar bersenjata yang mengepung Sembada dan Sekar Arum seperti kena sihir. Kata-kata gadis itu mengandung perbawa yang tak terlawan. Mereka yang mengepungnya melangkahkan kaki ke pinggir, memberi jalan dua orang berkuda yang menyandera pemimpinnya.

Sembada dan Sekar Arum segera menghela kuda mereka. Setelah agak jauh dari pengepungnya, dan lepas dari jarak jangkau anak panah, Sekar Arum tiba-tiba membenturkan lutut kanannya ke atas pinggang lelaki di depannya. Lelaki itu mengaduh dan mengumpat kasar. Tubuhnya melayang terlempar jatuh dari kuda.

"Setan. Anak-anak demit kalian. Semoga mampus diterkam harimau." Umpat lelaki itu sambil merintih kesakitan. 

Tangan kirinya menekam  pinggang kanannya. Ia mengira tulang rusuknya pasti ada yang patah. Sementara tangan kanannya masih sengkleh, tak bisa digerakkan.

Sembada dan Sekar Arum terus memacu kudanya dengan cepat, menerobos gelapnya malam di tengah hutan yang hanya diterangi cahaya bintang-bintang. 

Sebentar saja mereka memacu kuda, terdengar ayam hutan bersautan seolah berlomba siapa yang lantang berkokok. Di timur sinar matahari telah tersangkut di pucuk gunung. Pagi datang saat mereka telah keluar dari lebatnya hutan.

Mereka menghentikan kuda. Memberi kesempatan pada hewan itu untuk merumput dan minum di sungai kecil pinggir jalan. Sembada dan Sekar Arum duduk bersandar pohon sambil menikmati indahnya pemandangan gunung Kelud yang tampak mempesona pada pagi hari itu.

Dalam angan Sembada, gunung yang masih aktif itu seperti raksasa yang sedang tidur. Sewaktu-waktu ia bisa bangun dan murka, dan memuntahkan lahar panas yang sangat berbahaya bagi kehidupan di sekitarnya. Binatang-binatang yang hidup di lereng gunung itu lebih dulu akan lari turun gunung ketika merasakan Eyang Kelud akan murka.

Kata sohibul hikayat, konon gunung itu terjadi karena adanya seorang putri yang telah ingkar terhadap janji. Siapa putri itu tak pernah dijelaskan oleh sang perawi kisah. 

Konon gadis putri raja yang cantik rupawan itu mendapat pinangan dari dua  raja raksasa, bernama Mahesa Asura dan Lembu Asura. 

Kedua raja raksasa itu memiliki kesaktian yang tinggi.  Tapi juga memiliki cacad yang sama pula. Kepala keduanya tidak seperti manusia, namun mirip hewan bertanduk, mahesa atau kerbau dan Lembu atau Sapi.

Sang putri rupawan tak berani menolak pinangan. Ia cari akal untuk terlepas dari keharusan jadi isteri salah satu raja raksasa itu. Maka ia punya satu permintaan. 

Ia akan menerima pinangan salah satu dari mereka jika ada yang mampu membuat sebuah sumur untuk sumber air minum warga dukuh Kelud yang sering dilanda kekeringan.

Singkat cerita dua raja raksasa itu menyanggupinya. Bermodal tanduknya mereka menggali tanah. Namun meski sudah sedalam seribu depa belum juga keluar airmya.

Ketika keduanya berada di lubang sumur, niat jahat tumbuh di hati sang putri. Sebenarnya ia tak mau menerima pinangan itu. Namun hanya karena takut terhadap mereka sang putri menerimanya. 

Mumpung keduanya berada dalam sumur, sang putri keluarkan titah kepada kawula. Untuk mencari batu sebanyak-banyaknya guna menutup lubang sumur itu sampai penuh. Agar dua raja raksasa itu mati di dalam tanah. Tumpukan batu itulah yang menjilma jadi gunung.

Kata orang, dua raja raksasa itu tidaklah mati meski tubuhnya ditimbun batu yang menggunung. Keduanya justru menaruh dendam membara kepada sang putri. Setiap saat mereka ingin membalas sakit hatinya atas kecurangan sang putri. Karena telah menimbun mereka dengan batu.

"Kenapa kau diam saja kakang ? Ada sesuatu yang sedang kau pikirkan ?" Tanya Sekar Arum.

"Aku teringat tentang dongeng asal mula terjadinya gunung itu." Jawab Sembada.sambil menuding gunung di depannya. 

Sekar Arum tertawa. Iapun pernah mendengar dongeng asal mula terjadinya gunung Kelud yang berdiri di depannya itu. Tapi sama sekali ia tidak pernah percaya kebenaran cerita itu. Ia hanyalah sebuah dongeng. Cerita pengantar tidur saat dirinya masih kecil.

"Apakah kakang percaya bahwa dongeng itu pernah terjadi ?"

"Tidak. Ia hanyalah dongeng. Cerita pengantar tidur saat kita masih kecil. Masih bocah. Konon Mahesa Asura dan Lembu Asura punya Aji Kilat Buwana dan Guntur Saketi. Karena itu jika mereka marah, dari puncak gunung itu akan keluar kilat berulang kali, kemudian terdengar suara menggelegar seperti guntur" kata Sembada.

"Hahaha. Makanya sangat menarik kita dengarkan dongeng itu saat kita masih kecil. Kitapun diam terpaku mendengar cerita itu dari ibu kita. Lama-lama kita mengantuk, kemudian tidur pulas sampai pagi. Jika anak-anak kita kelak tetap terjaga sampai malam, kita kisahkan dongeng itu. Tentu mereka akan segera tidur."

"Terus, kita bisa membuat kisah sendiri setelah mereka tidur ?"

"Ah, kakang ada-ada saja." Jawab Arum malu.

"Hahaha. Marilah kita lanjutkan perjalanan. Perutku sudah lapar. Kita berhenti di Sendang Sumber Sanga, dekat desa Trisula. Kita isi perut kita dengan ikan bakar yang kita cari dari sendang itu."

Keduanya segera naik ke kuda masing-masing. Kini mereka melarikan kuda tidak terlalu cepat.  Karena mereka merasa tidak perlu tergesa-gesa.

Memasuki desa Sugih Waras, mereka berdua jadi perhatian beberapa penduduk desa itu yang sedang mencangkul di ladang. Barangkali jarang mereka temui orang berkuda lewat desa mereka. Apalagi salah satunya seorang wanita berpedang. Sedangkan lelakinya memanggul payung emas.

Ketika matahari agak bergeser ke barat perjalanan mereka sudah mendekati telaga Sumber Sanga.  Beberapa ratus depa dari telaga itu, tiba-tiba kuda mereka ragu melangkahkan kakinya. Berulang kali kuda-kuda itu meringkik, seolah takut meneruskan perjalanan.

Sembadapun mendadak mencium bau banger, pertanda ada seekor ular tak jauh dari mereka. Keduanya lantas berhenti, serta mengikat kuda mereka. 

"Arum, barangkali menu makan kita siang ini lebih lezat dari dari daging ikan. Ada seekor ular yang mungkin sedang mengintai kita. Biasanya ia tinggal dekat sendang, jika sedang lapar ia akan menangkap binatang yang mencari air karena kehausan."

"Apakah bau banger yang kita cium ini tandanya kakang ?"

"Iya. Mari kita cari. Binatang itu membahayakan orang yang lewat jalan ini."

Pelan-pelan keduanya melangkahkan kaki mendekati telaga Sumber Sanga. Mereka berdua terkejut ketika melihat pohon besar di pinggir telaga itu tergoncang-goncang daunnya. Seekor ular raksasa mengayun-ayunkan tubuhnya, sementara ekornya masih menyangkut di dahan pohon besar itu.

Sembada dan Sekar Arum terpana menyaksikan. Mereka berpikir binatang itu tentu sedang kelaparan. Hidungnya mencium bau kuda yang akan lewat.

Namun ketika mereka menguak tanaman perdu untuk mencari jalan mendekat, Sembada tiba-tiba berhenti. Tangannya meraih lengan Sekar Arum agar iapun berhenti melangkah.

Di depan mereka nampak kepala naga sebesar kepala kerbau. Matanya memancar hijau kebiruan tengah mengawasi dua orang di hadapannya.

"Arum, siapkan tombakmu. Kita terpaksa bertempur sebentar dengan ular raksasa ini." Kata Sembada.

Sekar Arum membuka selongsong tombaknya. Dia siap menghujamkan tombak itu jika ular raksasa itu menyerangnya.

Masih terdengar suara pohon besar itu tergoncang-goncang. Tapi sebentar kemudian dahan itupun patah. Suara geretak terdengar telinga Sembada dan Sekar Arum. Baru kepala ular itu bisa menjulur mendekati mereka.

Sembada segera mengurai cambuknya. Iapun siap menghantam kepala ular raksasa itu dengan ujung cambuknya jika menyerang. Keduanya telah menyalurkan seluruh kekuatan aji yang di milikinya.

Sekar Arum tiba-tiba melompat, tubuhnya melayang mendekati kepala naga itu. Ia menusukkan ujung tombaknya tepat ke arah mata naga. Ular raksasa itu berteriak keras karena kesakitan. Ia menggerakkan tubuhnya kesana kemari hingga merobohkan beberapa pohon besar di sekitar itu.

Sebentar kemudian ular itu mengangakan mulutnya. Nampak taringnya sebesar lengan orang dewasa. Lidahnya yang bercabang menjulur keluar dari mulut yang menganga. Dengan marah naga itu menatap dengan sebelah matanya ke arah Sembada.

Sembada menyiapkan cambuknya. Saat kepala ular itu menjulur hendak menyerangnya, dengan tangkas ia lecutkan ujung cambuknya. Seluruh kekuatan aji Tapak Naga Angkasa telah ia salurkan. Ketika ujung cambuk itu menghantam kepala ular raksasa itu terjadilah sebuah ledakan dahsyat.

Namun aneh betapa kuat kepala naga itu, ia tidak pecah atau terluka sedikitpun. Hanya sekali lagi ular itu menggerak-gerakkan tubuh lebih menggila. Beberapa pohon bosah-basih roboh dilanda tubuh ular itu.

Kini Sekar Arum beraksi kembali. Ia menghadang kepala naga itu yang hendak menyerangnya. Saat kepala naga itu bergerak dengan mulut menganga menyerangnya, Sekar Arum melompat pula menyambutnya. Dengan sekuat tenaga ia lemparkan tombaknya ke mulut naga itu. 

Kekuatan yang telah di lambari Aji Garuda Sakti itu menyebabkan tombak Naga Kumala meluncur secepat kilat  menerobos dan menghujam di langit-langit mulut naga itu hingga tembus di kepalanya.

Ular raksasa itupun menjerit-jerit kesakitan. Ia sekarat dengan menggerakkan tubuhnya lebih menggila lagi. Sekar Arum melompat jauh menghindari benturan tubuh ular itu. Keduanya lantas berdiri berjajar di kejauhan, sambil menunggu apa yang terjadi selanjutnya atas ular raksasa itu.

Tidak lama kemudian akhirnya ular itu berhenti meronta-ronta. Kepalanya menggeletak di atas tanah. Sembada dan Sekar Arum yakin binatang itu telah mati. Segera mereka menghampirinya, untuk melihat wujud ular raksasa itu dari dekat.

Betapa besar dan panjang ular itu.  Kulitnya berwarna hijau tua dan mengkilap. Terdapat hiasan yang indah pada kulit ular itu. Ketika melihat ekornya, rupanya dahan pohon itu mengganggu geraknya karena taji di ekor naga itu menancap terlalu dalam, sehingga sulit di lepas.

"Kita apakan ular ini kakang ?"

"Kita ambil kulitnya dan sedikit dagingnya. Kita sudah lapar. Tentu lezat daging ini bila di bakar."

"Aku ambil tombakku dulu."

Sekar Arum kemudian mencabut tombak yang menancap di langit-langit mulut ular raksasa itu. Nampak warna darah yang merah mengkilap mewarnai bilah tombaknya. Sekar Arum mencoba menghapusnya dengan menggosok bilah itu dengan dedaunan yang ia petik di sekitarnya. Namun aneh darah itu tak bisa hilang, ia menempel kuat pada bilah itu.

"Darah ini tak bisa aku hilangkan kakang. Meski aku telah menggosoknya dengan dedaunan." Kata Sekar.

"Nanti kita cuci di sendang." Kata Sembada.

Pemuda itu meminjam pedang Sekar Arum. Ia kemudian memotong kepala ular itu. Kemudian dengan sigap dan tangkas ia melepas kulit ular raksasa itu dari tubuhnya. Setelah lepas kulit itu ia gulung, kemudian ia ikat dengan kulit batang pohon. 

Ia ambil beberapa kerat daging ular itu untuk di bakar.  Sisanya ia biarkan dimakan binatang di hutan dekat telaga itu.  Ia tersenyum, menemukan menu spesial untuk makan siang mereka yang sudah terlambat.

"Ternyata daging ularpun lezat sekali. Jika dekat rumah kita, semua dagingnya pasti aku bawa. Bisa untuk pesta para pemuda di sana. Karena jauh aku relakan jadi santapan anjing hutan yang meraung-raung itu." Kata Sembada saat menyantap daging bakar itu.

Memang sudah sejak ia menguliti ular itu, suara anjing hutan meraung-raung ramai sekali. Tentu mereka telah mencium darah dan daging hewan makanan mereka yang lezat pula.

Sementara Sembada dan Sekar Arum terus menikmati daging bakarnya. Setelah kenyang mereka pergi ke pinggir sendang untuk minum dan membasuh tangan dan mulutnya.

Sekar Arum masih mencoba menghilangkan darah ular yang menempel pada bilah tombaknya. Namun ia merasa heran, berbagai cara ia lakukan tetapi darah merah mengkilap itu tak bisa dihapus dari bilah tombak itu.

"Sudahlah Sekar biarkan sajalah. Barangkali sudah takdirnya, Tombak Naga Kumala itu harus dibalur darah ular. Aku yakin tidak mengurangi kesaktiannya. Ujung cambukku tidak mampu membunuh naga itu, meski telah kukerahkan Aji Tapak Naga Angkasa sampai puncak. Namun ia justru tertembus oleh tombakmu, Naga Kumala."

"Baiklah kakang, biar sajalah. Bahkan bilah tombak ini nampak lebih indah. Pamornya nampak lebih menyala. Ini adalah kenangan hidup kita"

Ketika matahari sudah tenggelam di ufuk barat, mereka meneruskan perjalanan pulang. Sembada meletakkan gulungan kulit ular di punggung kudanya.

Ketika memasuki desa Trisula nampak banyak orang bergerombol di jalan.  Saat mereka melihat dua orang berkuda dari arah telaga Sumber Sanga, mereka sangat heran. Salah seorang menghentikan perjalanan mereka.

"He, anak muda berhentilah. Pasti kalian tadi melewati Telaga Sumber Sanga. Tidakkah kalian melihat peristiwa yang terjadi di sana ?"

"Peristiwa apa bapak ?" Tanya Sembada.

"Dari desa ini terdengar raungan naga yang tinggal di sana. Kedengarannya ia sedang marah, mungkin ia bertarung dengan hewan lain. Tidakkah kalian melihat ?"

"Yah. Kami melihatnya. Naga itu telah dibunuh istriku. Ini buktinya. Kulitnya aku ambil, untuk pengganti tikar alas tidurnya."

Lelaki itu melihat gulungan benda berbau anyir di punggung pemuda itu. Ia memandang Sekar Arum beberapa lama, tiba-tiba ia berteriak keras.

"Naga Sumber Sanga telah mati, naga sumber sanga telah mati."

Beberapa orang yang mendengar teriakkannya datang dan mengerumuni Sembada dan Sekar Arum. Mereka mengucapkan terima kasih telah membunuh ular raksasa yang menakutkan penduduk situ. Kini mereka bisa mencari ikan di sana lagi tanpa takut bahaya.

Ketika penduduk meminta mereka berdua menginap di desa itu, Sembada menolaknya. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan teriring lambaian tangan banyak orang.

Beberapa lama mereka berjalan, Sekar Arum bertanya kepada Sembada.

"Kenapa kakang tadi menyebutku sebagai istrimu ?"

"Haha. Apakah kau keberatan ?"

"Keberatan sih tidak. Untung kita tidak menginap di sana."

"Kenapa beruntung ?"

"Kita pasti disuruh tidur satu kamar."

"Hahaha. Itulah yang aku harapkan."

"Huuuu, dasar. Musang berbulu domba. Aku kira kau pemuda baik-baik, tahunya sama saja."

"Sama saja bagaimana ?"

"Sama saja dengan Singa Lodhaya dengan para haremnya."

"Hahaha"

Mereka terus bergurau di tengah perjalanan itu. Menjelang tengah malam mereka baru masuk desa Gedang Sewu.

Nampak seorang pengawal bersenjata pedang dan membawa obor di tangan kirinya menghadang mereka di tengah jalan. 

"Berhenti. Siapa kalian malam-malam berkuda memasuki desa kami ?"

"Kau lupa wajahku Sanepa ? Aku Sembada."

"Sembada ? Ohh maafkan aku. Aku hanya jalankan tugas. Siapa temanmu ?"

"Tanyakan sendiri padanya." Jawab Sembada.

Sanepa mendekati salah seorang berkuda yang menemani Sembada itu. Ia angkat obornya untuk menerangi.

"Kau Sekar Sari. Tumben kau bersama Sembada. Biasanya kau tak pernah pisah dengan Handaka ? "

"Ia diperintah ki demang untuk menjemputku." Kata Sembada.

Tiba-tiba beberapa pengawal melompat pagar gardu perondan itu. Semua memberi hormat kepada Sembada. Tidal lama kemudian  terdengar pula suara keras dari mulut pengawal yang baru turun dari gardu perondan.

"Sekar Sari, besok malam bersiaplah. Aku akan menjajagi ilmumu di panggung kademangan saat lomba tanding di sana."

"Apakah ada lomba tanding besok di kademangan ?" Sekar Arum bertanya.

Semua pengawal tertawa. Sekar Arum keheranan.  Sanepalah yang kemudian menjawabnya.

"Apakah kamu sudah pikun Sekar Sari ? Kaulah yang mengusulkan lomba tanding itu beberapa hari lalu, dalam pertemuan di balai kademangan. Agar para pengawal tidak bosan berlatih, perlu acara yang menantang."

"Oooo Ya ya ya, aku lupa. Aku terima tantanganmu besok malam." jawab Sekar Arum dengan senyum manisnya. Ia baru sadar bahwa dirinya dikira Sekar Sari oleh para pengawal.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun