Matahari telah bangun dari peraduannya. Sinarnya memantul pada dedaunan yang masih basah oleh embun. Ayam hutan tak lagi terdengar kokoknya.
Bonge Kalungkung menebar pandangannya. Tiga orang calon korbannya ternyata masih muda-muda. Namun ia tidak peduli. Baginya siapapun yang membahayakan kelompoknya harus ditebas.
Bonge Kalungkung melangkah maju mendekati calon korbannya. Sembada demikian pula melangkah maju menyongsong lelaki pincang itu. Tangannya memberi isyarat agar kawan-kawannya menjauh.Â
Sekar Arum dan Branjanganpun lantas bergeser beberapa langkah, memberi ruang yang longgar untuk arena pertarungan dua pendekar, yang selisih umurnya seperempat abad itu.
"Majulah kalian bertiga. Agar aku cepat selesaikan pekerjaan, mengantar kalian ke alam maut."
"Biarlah aku mencoba menghadapi tuan. Apakah benar tokoh bertangan api yang kesohor di jagat persilatan itu sesuai kenyataan. Atau hanya omong kosong semata."
"Jangan sombong anak muda. Jika kedalaman ilmumu masih dalam tapak itik di atas lumpur rawa-rawa, dalam sekejab nyawamu pasti melayang."
"Kematianku bukan di tangan tuan. Batas hidup dan mati, manusia tidak mampu menentukan."
"Hahaha, hahaha, ihihihih, hehhehheh" Bonge Kalungkung tertawa terbahak bahak.Â
Tiga orang di depannya terkejut. Suara Bonge Kalungkung mengandung tenaga sakti yang mengejutkan tiga orang calon korbannya itu. Ia lontarkan aji Gelap Ngampar yang dapat merontokkan jantung lewat tawanya.