Pagi - pagi, ketika matahari belum terbit, seorang pengawal berangkat berkuda ke dusun Majalegi. Ia utusan ki demang untuk memanggil Sambaya agar menghadap. Ketika Sambaya bertanya ada keperluan apa ki demang memanggilnya, utusan itu menggelengkan kepala.
"Mungkin ada kaitannya dengan tamu yang hadir ke pendapa kademangan semalam, Sambaya. Mungkin..."
"Tamu dari mana ?"
"Apakah kamu nggak dengar berita, Gusti Senopati Narotama berkunjung ke Majaduwur ?"
"Nggak ada yang memberitahuku."
"Kalau begitu tanya sendiri saja kepada ki demang nanti, kenapa kau diperintah menghadap"
"Baiklah aku akan segera datang. Kau boleh kembali dan lapor bahwa Sambaya siap menghadap"
Dengan meminjam kuda ki bekel Majalegi Sambaya berangkat ke induk kademangan. Ia sedikit syak wasangka bahwa ada rahasia yang ditutupi dengan pemanggilan dirinya. Sambaya sedikit terpancing ingin tahu, apa gerangan peristiwa yang bakal terjadi.
Ketika Sambaya sudah sampai di pendapa kademangan, ia diminta menemui ki demang di kamar tidurnya. Sambaya kian heran, tak biasanya ki demang begitu. Setelah ia masuk tempat pembaringan, ki demang menyuruhnya duduk di sebuah dingklik.
"Sambaya, ada tugas kecil untukmu. Sampaikan surat ini kepada Sembada. Kau harus bertemu dia langsung, jangan sampai surat ini jatuh ke tangan orang lain." perintah ki demang.
"Sendika ki demang. Perintah aku jalankan sebaik-baiknya. Jika hanya mengundang Sembada kenapa harus lewat jalan berliku seperti ini ki demang ?"Â
"Kali ini kewajibanmu hanya menjalankan perintah. Tidak boleh ada pertanyaan."
"Baik ki demang"
Sebuah rontal dimasukkan dalam bumbung, kemudian diserahkan kepada Sambaya. Pemimpin pengawal itu memasukkannya dalam saku celananya. Ia lantas pamit untuk segera jalankan perintah.
Sambaya melarikan kudanya seperti angin. Ia takut Sembada keburu pergi cari ikan di sungai atau kayu di hutan. Jika demikian pekerjaannya akan lebih sulit, butuh waktu untuk mencarinya.
Ketika Sambaya sampai di rumah Mbok Darmi, pintu rumah sudah tertutup. Dugaannya tidak meleset, Sambaya sudah pergi untuk keperluan satu dari dua kebiasaannya.Â
Namun beruntung bagi Sambaya, tetangga Mbok Darmi menghampirinya.
"Kau cari Sembadakah Sambaya ?"
"Benar paman. Ia ke sungai apa ke hutan paman ?"
"Kayu bakarnya menumpuk banyak sekali di belakang rumah. Aku yakin ia ke sungai mencari ikan."
"Iya ya paman terima kasih. Aku akan cari dia di sungai."
Pemuda pemimpin pengawal dusun Majalegi itu segera melarikan kudanya, dan menelusuri jalan di pinggir sungai Serinjing. Sebentar saja ia sudah menjumpai pemuda yang dicarinya.
"Sembada, sepagi ini kau sudah mengganggu ikan di sungai ?"
"Hehe tumben kau cari aku. Pakai kuda lagi. Bukankah itu kuda ki bekel ?"
"Tahu saja kamu kalau ini bukan kudaku."Â
"Nasibmu sama denganku, miskin"
"Hahaha iya benar. Â Meski miskin kita masih bisa sombong"
"Ada keperluan pentingkah mencariku dengan berkuda ?"
"Aku diperintah ki demang menyampaikan surat untukmu."
Sembada bergegas menghampiri Sambaya. Ia naik lereng sungai dan duduk di dekat pemimpin pengawal itu. Sembada menerima bumbung dari tangan Sambaya. Ia buka tutupnya dan mengambil selembar rontal di dalamnya.
"Tepat tengah malam ini, temui aku di tanah lapang selatan rawa pandan." demikian isi surat itu. Setelah Sembada membacanya tanpa sadar ia berikan kembali pada Sambaya. Sambayapun berkesempatan membacanya.
"Kenapa kau berikan padaku ?. Â Mungkin ada rahasia dalam surat ini, yang tak boleh di ketahui orang lain. Termasuk aku."
"Aku kira tidak ada rahasia apa apa. Sambaya. Kau bisa datang menyaksikannya." kata Sembada pelan.Â
Ia yakin ki demang tak akan mengajaknya bertempur lagi. Sehingga Sambaya tak akan tahu tingkat ilmunya. Mungkin ada hubungannya dengan Sekarsari yang ilmunya meningkat pesat setelah bertemu orang misterius berkostum seperti pendekar bercambuk. Ki demang pasti sudah tahu, bahwa orang yang hadir dalam peperangan di padang ilalang itu adalah dirinya. Jika ki demang menanyakan hal itu ia tidak akan mengelak. Meski ia dianggap lancang mencampuri urusan dalam perguruannya.
Namun Sambaya mempunyai perkiraan yang berbeda dengan Sembada. Ia mengkaitkan kehadiran Senopati Narotama dengan permintaan ki demang ingin bertemu Sembada di tanah lapang selatan rawa pandan di dusun Majalegi. Pasti ada hubungannya dengan jatidiri Sembada, yang ia curigai sebagai tokoh yang hadir dalam peperangan di padang ilalang. Tak ubahnya dengan kehadiran dia di arena pertempuran di hutan Wringin Soban. Kali ini kehadiran dia di medan perang yang besar pasti sudah terlihat prajurit sandi, dan menjadi bahan laporan untuk Senopati Narotama.
Sambaya semakin tertarik untuk menyaksikan pertemuan itu. Ia akan mengajak Kartika bersamanya nanti malam.
"Benarkah kau mengijinkan aku melihat pertemuanmu dengan ki demang.?"
"Iya. Tapi kau jangan memperlihatkan diri. Karena ki demamg tentu tidak berkenan."
"Terima kasih Sembada. Â Kau bisa melanjutkan mencari ikan. Aku pamit pulang mengembalikan kuda ki bekel"
"Kuda ki bekel banyak. Jual saja itu, pasti ia tidak tahu" kata sembada bergurau.
"Hahaha nanti saja kalau aku butuh biaya nikah."
"Hahaha. Terima kasih atas jerih payahmu kesini"
Sambaya segera melarikan kudanya. Ia tidak mengembalikan kuda itu ke rumah ki bekel, tetapi ke dusun Jambu menemui Kartika. Â Nanti malam ia akan melihat apa yang terjadi bersamanya.
_______
Tanpa sepengetahuan para pengawalnya, malam itu Senopati Narotama keluar dari kamar tempat peraduannya. Bersama dengan demang Sentika mereka menyelinap keluar induk kademangan Majaduwur. Lewat kebun kebun tetangga mereka pergi ke arah timur.Â
Tempat yang mereka tuju adalah tanah lapang di selatan rawa pandan di dusun Majalegi. Â Tempat itu dikelilingi pohon pohon besar yang tinggi berdaun rimbun. Cocok sebagai tempat untuk mengadu ilmu.
Sembada sendiri masih berada di rumah. Kebetulan simboknya sibuk membuat masakan pepes ikan untuk dijual di pasar esok pagi. Jadi sampai hampir tengah malam belum tidur. Sembada tak ingin ketahuan simboknya keluar dengan kostum pakaian yang mungkin dianggap aneh oleh simboknya.
Baru sesaat setelah kenthongan di rumah bekel Majalegi memecah sepinya malam dengan irama dara muluk, pertanda tengah malam, Â terdengar pintu kamar simboknya berderit. Wanita tua itu telah masuk ke kamarnya untuk beristirahat.
Pelan pelan Sembada keluar rumah, dan bergegas lari dengan ilmu peringan tubuhnya ke tempat sebagaimana ki demang minta. Â Di langit rembulan tak bulat lagi, purnama telah lewat sehari. Namun cahaya bulan masih terang benderang menyinari bumi. Sekejap saja Sembada telah sampai di tempat yang dituju.
Namun pemuda itu heran bahwa ki demang tidak sendirian. Seorang lelaki tegap perkasa dan berwibawa menyertainya. Sembada belum pernah ketemu, apalagi mengenal lelaki yang menyertai ki demang.
"Selamat malam Sembada. Maafkan aku tidak memberi tahu lebih dulu padamu. Aku datang berdua dengan orang yang mungkin belum kau kenal."
"Selamat malam ki demang. Â Salam hormatku untuk ki demang. Â Tak perlu ki demang sungkan, tak memberi tahuku bahwa ki demang tidak sendirian. Â Justru aku suka akan mendapat teman baru yang kini menyertai ki demang." jawab Sembada tanpa berprasangka.
"Salam hormatku untuk tuan yang gagah perkasa. Saya senang bertemu tuan. Perkenalkan namaku Sembada. Kawula kademangan Majaduwur yang dipimpin ki demang Sentika." kata Sembada kepada kawan ki demang.
"Terima kasih anak muda. Kau begitu lembut dan sopan. Sama sekali tak mencerminkan bahwa dirimu seorang pemuda yang sakti mandraguna."
Sembada mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti maksud teman ki demang berkata begitu. Ia lantas memandang ki demang, dengan tatapan mata bertanya tanya. Ki demang tanggap dan menyampaikan maksud kehadirannya bersama lelaki di sampingnya bertemu kepadanya.
"Sembada ketahuilah. Tamuku ini adalah punggawa kerajaan Wura wari. Beliau adalah Tumenggung Pragolapati. Ia telah mengalahkan aku dalam perang tanding. Sebagai taklukan terpaksa aku berkata jujur, bahwa pendekar bercambuk yang ikut campur tangan dalam perang beberapa hari lalu adalah kau. Beliau tersinggung bahwa kau telah memporak porandakan pasukan yang dipimpin sekutunya. Ia datang menantangmu berperang tanding"
"Benar anak muda. Aku Pragolapati, seorang punggawa kerajaan Wura wari. Pangkatku tumenggung. Aku dengar laporan telik sandi, kau mengacaukan pasukan Gagakijo, dengan cambuk saktimu. Aku datang hendak merampas senjata saktimu, karena senjata itu membahayakan bagi keamanan kerajaan wura wari."
Sembada benar benar heran, keadaan ini tidak diperkirakannya. Ia melongo sesaat, tak percaya apa yang baru didengarkan.
"Ki demang tidakkah ini hanya gurauan ? " tanyanya.
"Tidak Sembada, tuan Pragolapati benar benar ingin merampas cambuk nagageni yang kau miliki" jawab ki demang.
"Bersiaplah kau anak muda. Â Melawan atau tidak melawan akibatnya akan sama. Kau akan aku bunuh, dan cambuk nagagenimu akan aku rampas"
"Baiklah kisanak yang gagah dan perkasa. Cambuk nagageni boleh kau miliki jika kau telah mampu mengambil nyawaku. Jangan salahkan aku jika nyawamu sendiri yang akan lepas dari ragamu di sini"
"Jangan membual. Kita buktikan di arena "
Senopati Narotama yang bersembunyi dengan nama baru Pragolapati, seorang tumenggung kerajaan Wura wari, melangkah maju. Â Sejak benturan pertama ia menghendaki pertempuran bersenjata. Â Lelaki itu mencabut pedangnya, nampak bilah pedang kemilau tertimpa sinar rembulan.
Sembada segera mundur mencari posisi yang nyaman bagi dirinya. Iapun segera melepas cambuknya yang melilit di pinggangnya. Ketika tangkai cambuk telah di tangannya, segera ia lecutkan. Terdengar bunyi ledakan yang dahsyat memekakkan telinga.
Tanpa diketahui tiga orang di tanah lapang itu, hadir pula dua orang yang mengendap endap  menyibak tanaman perdu. Mereka lantas bersembunyi di belakang pohon berbatang besar, kepalanya melongok untuk menyaksikan dua orang yang akan bertempur di tengah tanah lapang. Mereka terkejut ketika sebuah ledakan memecah sepinya malam. Buru buru mereka menyumbat kedua telinga mereka.
"Ternyata dugaan kita benar. Pendekar bercambuk yang hadir di padang ilalang itu Sembada."kata Sambaya berbisik di telinga Kartika.
"Pertempuran kali ini pasti seru. Kita beruntung bisa menyaksikannya." Jawab Kartika.
Terdengar suara tawa lelaki gagah yang berdiri di depan Sembada.
"Hahahaha. Kau jangan main main anak muda. Suara cambukmu itu hanya menakutkan kambing kambing di tempat pengembalaan. Bagiku itu tidak berarti. Hanya permainan anak kecil."
Sembada diam tak menanggapi. Namun ia melecutkan cambuknya sekali lagi, dengan menyalurkan sedikit tenaga cadangannya, meski tidak bersuara namun getarannya benar benar terasa menggoyang jantung.
Dua orang yang tengah bersembunyi itu mendekap dadanya, seolah mempertahankan agar jantungnya tidak copot.
"Hebat, Sembada. Jantungku seperti mau lepas." bisik Sambaya.
"Dahsyat benar ilmu Sambaya"kata ki demang yang sempat meregangkan badan untuk menahan getaran itu.
"Setan kau anak muda. Hendak menyombongkan diri di hadapanku."
Tiba tiba lelaki itu berkelebat dengan cepat. Pedangnya yang berkilauan karena sinar rembulan menebas leher Sembada. Pemuda itu segera melontarkan tubuhnya ke kanan. Cambuknya meledak menghantam lawannya.Â
Namun ternyata lelaki itu juga gesit, ia melompat jauh ke depan, tidak sekedar menghindari ujung cambuk Sembada tapi sekaligus menyerangnya. Â Sebuah tusukan ujung pedang menyambar pelipis anak muda itu.
Sembada memiringkan tubuhnya. Pedang itu lewat sejengkal dari keningnya. Ia melompat sambil melecutkan cambuk sendal pancing. Ujung cambuk itu memburu punggung lawannya. Tapi gagal. Lawannya juga gesit seperti singgat. Ia melenting jauh dari Sembada.
Maka sebentar saja telah terjadi sebuah perkelahian yang dahsyat. Perkelahian dua orang manusia yang tak pernah disaksikan oleh Sambaya dan Kartika. Mulut keduanya melongo menyaksikan dua raksasa berilmu tengah berlaga di depan mereka.
Pertempuran itu seperti dua bayangan yang saling menyambar dengan cepat dan gesitnya. Â Keduanya juga mampu melenting tinggi seperti tubuhnya tak berbobot. Saat saat tertentu mereka juga berbenturan. Tetapi tenaga mereka seolah seimbang, sehingga keduanya selalu terlontar ke belakang bila habis berbenturan.
Silih berganti mereka menyerang dan mendesak lawannya. Tanah lapang yang ditumbuhi banyak  rumput itu seperti teraduk, rumput rumput itu seperti tercerabut dan  terungkat, tanah di bawahnya seperti terbajak.
Sampailah mereka pada puncak ilmunya. Pedang di tangan lawan Sembada tiba tiba menyala putih kekuningan. Pedang itu menyambar-nyambar di antara putaran cambuk yang meledak ledak menggetarkan. Bahkan tubuh sembada berubah seperti cahaya putih yang berkelebat kesana kemari melibat lawannya.
Ki demang yang khawatir pertempuran itu melewati batas dari rencana semula, segera ia terteriak sambil mengerahkan ilmunya.
"Tidakkah pertempuran ini telah melewati batas dari rencana Gusti Senopati ? Kita datang tidak untuk bertempur sampai ada yang mati" demikianlah teriak ki demang.
"Berhentilah ! Sudah cukup penjajagan ini !!!"
Barangkali karena teriakkan ki demang, tiba tiba lawan Sembada melontarkan tubuhnya jauh ke belakang. Ia angkat pedangnya dan tangan kirinya sambil berteriak lantang.
"Cukup cukup. Sembada. Kita akhiri dulu pertempuran ini."
Sembada pun melontarkan tubuhnya ke belakang, tidak lagi menggerakkan cambuknya untuk menyerang. Tubuhnya yang tadi seperti cahaya kembali lagi seperti manusia biasa
Senopati Narotama dan Sembada menghentikan pertempuran mereka. Â Sembada meletakkan tangan kirinya di dada, dengan jari jari menyatu mendongak ke atas, itulah cara meredam getaran hawa saktinya yang telah menyebar ke seluruh badan.
Badan cahaya yang tadi nampak putih bening berubah pelan pelan jadi badan jasmani lagi. Tanpa bekal ilmu kebal, badan cahaya itu tak dapat dilukai dengan senjata dan ilmu pamungkas jenis apapun. Itulah hebatnya aji Tapak Naga Angkasa yang telah mencapai puncak.
Senopati Narotama benar benar geleng geleng kepala. Hatinya merasa takjub melihat kenyataan itu, seorang pemuda yang masih belia telah sampai pada puncak ilmu yang mendebarkan itu. Namun tentu ia tidak memperlihatkan kegentarannya.
"Sembada. Kita hentikan perang tanding ini. Â Meskipun salah satu dari kita belum ada yang menang atau kalah. Jika kita lanjutkan sampai puncak, salah seorang dari kita pasti mati. Aku tidak mengingini itu. Jika kau mati, akupun merasa sayang. Kau tunas muda yang sangat diharapkan banyak orang."Â
"Dilanjutkanpun aku tak akan menolak kisanak. Cambuk nagageni ini adalah milikku, diwariskan oleh orang yang aku hormati, wujud karunia Hyang Widhi untukku. Jika kau tetap ingin merampasnya, ayo. Kita lanjutkan perang tanding sampai tuntas." kata Sembada masih memendam rasa geram.
"Tidak Sembada. Aku tidak lagi menginginkan cambuk itu. Aku hanya ingin melihat apa yang kau bisa lakukan dengan cambuk itu. " Katanya merespon kegeraman Sembada.
"Lihatlah apa yang bisa aku lakukan dengan pedang ini. Pandanglah kesana !" Â Lanjut senopati sambil menunjuk dengan telunjuknya ke arah sebuah pohon yang besar, berdahan banyak dan berdaun rimbun.
"Aku akan memangkas salah satu dahannya dari sini. Dengan pedangku ini aku yakin mampu memotong dahan sebesar pohon kelapa itu. Aku ingin tahu apakah kau mampu melakukannya juga" Â kata senopati.
Senopati Narotama yang mengaku sebagai punggawa kerajaan Wura wari, dan memakai nama Pragolapati itu, mengangkat pedangnya. Sinar putih kekuningan yang kemilauan menyelimuti lagi pedangnya. Kemudian sambil berteriak keras ia menggerakkan pedang ke bawah, cahaya putih kekuningan itu seolah memanjang, ujungnya memangkas dahan pohon yang tadi ditunjuknya. Sungguh dahsyat dan ajaib. Dahan yang besar itu terpagas dan melayang runtuh lepas dari batangnya.
Semua mata yang melihatnya terkesima, diliputi rasa takjub dan heran. Apalagi dua orang yang sejak tadi berada di bawah pohon itu, mereka tidak sekedar takjub, namun juga takut setengah mati, dahan dan daunnya yang rimbun itu menimpa mereka.Â
Namun anehnya mereka tak segera beranjak dari tempat itu, untuk menghindari bencana yang akan menimpa mereka. Apa yang mereka lakukan hanya berjongkok dan menutup kepala mereka dengan sepuluh jari tangan.
"Ampunuunn, maafkan kami" demikian keduanya berteriak dengan spontan.
Sembada yang telah hafal dengan suara mereka itu dengan sigap bertindak. Sebelum dahan beserta daun rimbun itu jatuh menimpa mereka, ia segera bersikap, tangan kirinya diletakkan di dada, jarinya menyatu mendongak keatas. Pertanda ia tengah membangkitkan aji tapak naga angkasa.
Sejenak kemudian ia lecutkan cambuknya mengarah pada dahan besar dan berdaun rimbun itu.Â
Dari ujung cambuk itu meluncur cahaya putih kebiruan. Seperti kilat petir cahaya itu melesat dan menghantam dahan besar berdaun rimbun itu saat masih melayang jatuh.Â
Terdengar sebuah ledakan dahsyat memekakkan telinga. Sungguh akibatnya lebih dahsyat dari sinar pedang milik senopati. Dahan besar berdaun lebat itu hancur menjadi abu. Butiran butiran lembut itu menyebar sejenak bergumpal gumpal, kemudian jatuh ke bawah menghujani dua orang yang tengah menelungkup di tanah.
Senopati dan demang Sentika menganga mulutnya. Hatinya takjub dan heran, melihat betapa dahsyat cambuk Nagageni di tangan pemiliknya.
"Maha besar Hyang Widhi. Betapa dahsyat cambuk Nagageni." kata ki demang dalam hati.Â
Setelah getar hatinya mereda, ki demang melongokkan kepalanya kearah pohon itu. Tadi iapun mendengar dua orang berteriak di bawah pohon besar itu. Oleh karena itu ia segera berteriak memanggil mereka.
"Heee siapa kau yang mengintip kami. Datanglah kesini. Jika tidak kami akan mengejar dan menangkapmu !!!"
Sambaya dan Kartika mengibas-ibaskan abu yang melekat pada pakaian mereka. Rambut dan kulitnya tertutup oleh abu pula. Untung abu itu tidak panas, hanya terasa hangat saja, jika tidak kulit mereka tentu melepuh.
Dua pemuda itu mendengar teriakan ki demang. Mereka berpandangan sejenak, namun bergantian mereka menganggukkan kepala. Tanpa berucap mereka setuju menemui ki demang. Keduanya lantas berjalan menuju tempat di mana tiga orang berdiri di tanah lapang di selatan rawa pandan itu.
"Kau Kartika dan Sambaya. Beraninya kau mengintip pertemuan ini. Siapa yang mengijinkan kalian ?"
Sambaya melirik Sembada sekejap, lantas menjawab pertanyaan ki demang.
"Kami berinisiatif sendiri ki demang. Ingin melihat pertemuan ki demang dengan Sembada di sini. Kamipun telah lama ingin tahu jatidiri Sembada. Sejak peristiwa di hutan Waringin Soban, hilangnya Sekarsari, ketidakmampuan Handaka mengalah-kannya saat bentrok dengannya di halaman kademangan, hingga hadirnya orang bercambuk yang kami duga adalah Sembada. Karena perawakan dan gerak geriknya kami nilai sama. Ternyata dugaan kami benar. Bahwa Sembada sebenarnya pendekar besar yang menyamar sebagai pemuda biasa di dusun kami."
Ki demang terdiam mendengar keterusterangan Sambaya. Sedikit banyak iapun sempat menaruh syak wasangka yang sama terhadap Sembada.
"Tapi tindakanmu kali ini aku nilai lancang Sambaya."
"Tapi kami mendapat ijin dari Sembada ki demang. Isi surat ki demang ia tunjukkan padaku. Iapun membolehkan hadir disini melihat pertemuan ki demang dengannya. Apa yang tidak kami duga adalah kehadiran Senopati Narotama menyertai ki demang."
Mendengar nama senopati Narotama disebut, Sembada terhenyak. Ia kaget dan heran. Matanya menatap ki demang.
"Senopati Narotama ? Bukankah tuan tadi mengatakan nama tuan Pragolapati ? Punggawa kerajaan Wura wari berpangkat tumenggung ?"
Sebelum Senopati menjawab sendiri pertanyaan Sembada, ki demang mendahului berkata.
"Maafkan kami Sembada. Kami telah membohongimu. Akulah yang punya ide mengganti nama Gusti Senopati Narotama menjadi Pragolapati. Cerita bahwa ia punggawa kerajaan Wura wari berpangkat tumenggung dan telah mengalahkan aku dalam perang tanding, semua bohong belaka. Itu semua karena kami tak ingin kau menghindar, dari keinginan Gusti Senopati Narotama menjajagi kedalaman ilmumu."
"Benar Sembada. Akulah Senopati Narotama yang diutus kakanda Pangeran Erlangga mencari pendekar bercambuk yang menggemparkan kademangan Majaduwur. Karena tenaga satu orang yang berilmu tinggi sangat berguna bagi kami, jika mau bergabung. Â Kau mengingatkan aku kepada Paman Kidang Gumelar pendekar legendaris jaman ayahanda Prabu Darmawangsa. Itulah sebabnya aku ingin menjajagi ilmumu. Hasilnya aku hampir tenggelam karena betapa dalamnya ilmumu."
"Ahhh Gusti terlalu memuji. Â Ilmu Gusti Senopati juga dahsyat " kata Sembada.
"Lega hatiku bahwa kamu tidak marah Sembada. Jatidirimu kini juga telah terkuak, dua orang yang tak kuundang ini akhirnya juga tahu siapa dirimu."
"Tidak apa apa ki demang. Asal jangan disebar luaskan lagi kepada orang lain."
Ki demang tertarik dengan ucapan Sambaya, bahwa hilangnya Sekarsari mungkin terkait keberadaan Sembada.
"Apakah benar hilangnya Sekarsari malam itu karena kamu ?. Sejak saat itu ilmunya meningkat pesat. Semakin gesit dan kuat. Macan Belang saja kewalahan menghadapinya." tanya ki demang.
Sembada menundukkan wajahnya. Ia tak dapat mengelak lagi atas semua yang ia lakukan.
"Sebelumnya saya minta maaf kepada ki demang. Tanpa ijin ki demang aku telah mencampuri urusan dalam perguruan ki demang. Saya diam diam telah menyaksikan sendiri, saat Sekarsari berlatih sendiri di sanggar. Ada sesuatu yang aku anggap kurang pada dirinya, meski tata gerak ilmunya sudah cukup sempurna. Malam itu ia aku pancing keluar kademangan. Di dekat gumuk ijo kami bertempur. Setelah kelelahan aku buat dia pingsan. Saat itulah aku sempat membenahi urat syaraf dan tata nadinya."
"Kau benahi urat syaraf dan tata nadinya ? Berarti ia kau telanjangi lebih dulu gadis itu, baru kau bisa membenahi urat syaraf dan tata nadinya"
"Benar ki demang maafkan kelancanganku atas calon menantumu."
"Kau tidak melakukan apa apa setelah itu ? Setelah tahu kedalaman tubuh Sekarsari tanpa busana ?"Â
"Ia aku tinggalkan telanjang setelah aku selesai membenahi urat syaraf dan nadinya"
"Kau tak tertarik melakukannya ?"
"Sukurlah meski tergoda saya bisa mengendalikannya ki demang. Saya sudah tahu Sekarsari calon menantu ki demang. Betapa hancur jiwanya jika ia tidak perawan lagi. Akupun tidak mau itu terjadi."
"Baiklah aku percaya padamu. Kelengkapan kisah ini juga rahasia yang tak boleh tersebar. Sambaya dan Kartika jika membukanya aku sendiri yang akan menghukum"
"Sendika ki demang. Kamipun akan menjaganya."
"Hahaha, ternyata kamupun telah menguasai ilmu tata urat syaraf dan nadi. Sebuah ilmu yang rumit dan harus sabar melatihnya" kata senopati.
"Kebetulan saja raden. Bermula dari hal kecil, memijat bagian tubuh teman teman yang bengkak saat latihan di rumah ki bekel, lama lama aku rasakan ada kekuatan yang menuntun dari dalam, aku tinggal mengikutinya sambil meditasi."
"Yayaya aku semakin yakin kepada dirimu Sembada. Kaulah orang yang tepat untuk menerima amanah kakang Pangeran Erlangga. Untuk menemukan kembali payung keramat Tunggul Naga yang hilang."
"Gurukupun juga memerintahkan itu Gusti. Mencari keterangan keberadaan payung keramat Tunggul Naga."
"Para telik sandi juga sudah mengumpulkan keterangan, mereka melaporkannya kepadaku bahwa payung itu kini berada di hutan Lodaya di Lereng Gunung Kelud bagian selatan. Di sana terdapat padepokan besar yang akan dipakai sebagai tempat  pertemuan semua anggota golongan hitam. Payung itu dalam cengkaraman tokoh sakti bernama Singa Lodaya, guru Macan Belang jantan, ayah kandung Macan Belang betina."Â
Sembada gembira sekali mendengar berita itu. Kini telah ia temukan lagi apa yang mesti ia lakukan. Perintah pertama untuk menemukan keberadaan Sekarsari telah ia jalankan. Kini, Ia tidak khawatir atas keamanan dan keselamatan gadis itu. Sudah ada kekuatan besar yang melindunginya jika jiwanya terancam. Oleh karena itu tiba saatnya kini menjalankan tugasnya yang kedua.
"Nah Sembada, kebetulan jika gurumupun memerintahmu juga. Aku, mewakili kakang Pangeran Erlangga, memerintahmu mengambil payung pusaka itu, dan menyerahkan kembali kepada kami yang berhak mewarisi semua peninggalan Prabu Darmawangsa almarhum. Bekalmu untuk kepentingan itu aku titipkan kepada ki demang. Sewaktu waktu kau berangkat menjalankan tugas jangan lupa menemui ki demang untuk mengambil bekalmu itu."
"Sendika Gusti semua perintah akan kami jalankan."
"Satu lagi hal yang aku katakan padamu. Jangan khawatirkan ibu angkatmu. Atas jasanya telah memberi tumpangan padamu, rumah bambu beratap daun padi itu akan direhab. Aku perintahkan ki demang untuk membangunnya lebih besar dan layak, sebagai tempat tinggal seorang pendekar yang besar, yang layak dihormati para kawula. Semua saja yang menyangkut biaya saya yang menanggung."
"Beribu ribu terima kasih saya ucapkan kepada Gusti Senopati Narotama"
"Ya. Tugas masih sangat banyak menanti untuk dikerjakan. Kami menunggu beritamu kapan berangkat."
Demikianlah pertemuan di tanah lapang dekat rawa pandan itu berakhir. Gusti Senopati Narotama dan ki demang segera pergi meninggalkan tempat itu. Demikian juga Sembada dan kedua temannya, mereka segera pulang ke rumah masing masing.
"Kita berpisah di sini tuan pendekar, tuan pasti akan berbelok kearah rumah tuan."
"Inilah yang aku tidak suka. Kau akan berubah adat setelah tahu jatidiriku. Jika kau tetap begitu, aku tidak mau berteman dengan kalian lagi. Permisi"
Tiba tiba Sembada melesat meninggalkan kedua temannya dengan ilmu peringan tubuhnya. Sebentar saja ia hilang dari pandangan mata.
"Iapun menguasai Sepi Angin. Ilmu apalagi yang tidak kita ketahui padanya ?"
Kedua pemuda itu  hanya bisa geleng geleng kepala..
Â
Â
Â
 Bendo, 31 maret 2024
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H