Sembada pun melontarkan tubuhnya ke belakang, tidak lagi menggerakkan cambuknya untuk menyerang. Tubuhnya yang tadi seperti cahaya kembali lagi seperti manusia biasa
Senopati Narotama dan Sembada menghentikan pertempuran mereka. Â Sembada meletakkan tangan kirinya di dada, dengan jari jari menyatu mendongak ke atas, itulah cara meredam getaran hawa saktinya yang telah menyebar ke seluruh badan.
Badan cahaya yang tadi nampak putih bening berubah pelan pelan jadi badan jasmani lagi. Tanpa bekal ilmu kebal, badan cahaya itu tak dapat dilukai dengan senjata dan ilmu pamungkas jenis apapun. Itulah hebatnya aji Tapak Naga Angkasa yang telah mencapai puncak.
Senopati Narotama benar benar geleng geleng kepala. Hatinya merasa takjub melihat kenyataan itu, seorang pemuda yang masih belia telah sampai pada puncak ilmu yang mendebarkan itu. Namun tentu ia tidak memperlihatkan kegentarannya.
"Sembada. Kita hentikan perang tanding ini. Â Meskipun salah satu dari kita belum ada yang menang atau kalah. Jika kita lanjutkan sampai puncak, salah seorang dari kita pasti mati. Aku tidak mengingini itu. Jika kau mati, akupun merasa sayang. Kau tunas muda yang sangat diharapkan banyak orang."Â
"Dilanjutkanpun aku tak akan menolak kisanak. Cambuk nagageni ini adalah milikku, diwariskan oleh orang yang aku hormati, wujud karunia Hyang Widhi untukku. Jika kau tetap ingin merampasnya, ayo. Kita lanjutkan perang tanding sampai tuntas." kata Sembada masih memendam rasa geram.
"Tidak Sembada. Aku tidak lagi menginginkan cambuk itu. Aku hanya ingin melihat apa yang kau bisa lakukan dengan cambuk itu. " Katanya merespon kegeraman Sembada.
"Lihatlah apa yang bisa aku lakukan dengan pedang ini. Pandanglah kesana !" Â Lanjut senopati sambil menunjuk dengan telunjuknya ke arah sebuah pohon yang besar, berdahan banyak dan berdaun rimbun.
"Aku akan memangkas salah satu dahannya dari sini. Dengan pedangku ini aku yakin mampu memotong dahan sebesar pohon kelapa itu. Aku ingin tahu apakah kau mampu melakukannya juga" Â kata senopati.
Senopati Narotama yang mengaku sebagai punggawa kerajaan Wura wari, dan memakai nama Pragolapati itu, mengangkat pedangnya. Sinar putih kekuningan yang kemilauan menyelimuti lagi pedangnya. Kemudian sambil berteriak keras ia menggerakkan pedang ke bawah, cahaya putih kekuningan itu seolah memanjang, ujungnya memangkas dahan pohon yang tadi ditunjuknya. Sungguh dahsyat dan ajaib. Dahan yang besar itu terpagas dan melayang runtuh lepas dari batangnya.
Semua mata yang melihatnya terkesima, diliputi rasa takjub dan heran. Apalagi dua orang yang sejak tadi berada di bawah pohon itu, mereka tidak sekedar takjub, namun juga takut setengah mati, dahan dan daunnya yang rimbun itu menimpa mereka.Â