Namun anehnya mereka tak segera beranjak dari tempat itu, untuk menghindari bencana yang akan menimpa mereka. Apa yang mereka lakukan hanya berjongkok dan menutup kepala mereka dengan sepuluh jari tangan.
"Ampunuunn, maafkan kami" demikian keduanya berteriak dengan spontan.
Sembada yang telah hafal dengan suara mereka itu dengan sigap bertindak. Sebelum dahan beserta daun rimbun itu jatuh menimpa mereka, ia segera bersikap, tangan kirinya diletakkan di dada, jarinya menyatu mendongak keatas. Pertanda ia tengah membangkitkan aji tapak naga angkasa.
Sejenak kemudian ia lecutkan cambuknya mengarah pada dahan besar dan berdaun rimbun itu.Â
Dari ujung cambuk itu meluncur cahaya putih kebiruan. Seperti kilat petir cahaya itu melesat dan menghantam dahan besar berdaun rimbun itu saat masih melayang jatuh.Â
Terdengar sebuah ledakan dahsyat memekakkan telinga. Sungguh akibatnya lebih dahsyat dari sinar pedang milik senopati. Dahan besar berdaun lebat itu hancur menjadi abu. Butiran butiran lembut itu menyebar sejenak bergumpal gumpal, kemudian jatuh ke bawah menghujani dua orang yang tengah menelungkup di tanah.
Senopati dan demang Sentika menganga mulutnya. Hatinya takjub dan heran, melihat betapa dahsyat cambuk Nagageni di tangan pemiliknya.
"Maha besar Hyang Widhi. Betapa dahsyat cambuk Nagageni." kata ki demang dalam hati.Â
Setelah getar hatinya mereda, ki demang melongokkan kepalanya kearah pohon itu. Tadi iapun mendengar dua orang berteriak di bawah pohon besar itu. Oleh karena itu ia segera berteriak memanggil mereka.
"Heee siapa kau yang mengintip kami. Datanglah kesini. Jika tidak kami akan mengejar dan menangkapmu !!!"
Sambaya dan Kartika mengibas-ibaskan abu yang melekat pada pakaian mereka. Rambut dan kulitnya tertutup oleh abu pula. Untung abu itu tidak panas, hanya terasa hangat saja, jika tidak kulit mereka tentu melepuh.