Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 9: Pertandingan Pencak Dor (Cersil STN)

20 Maret 2024   23:06 Diperbarui: 3 Juni 2024   23:20 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rantipun kemudian mengajak adik-adiknya ke sebuah warung makanan.  Di sana dijual berbagai makanan gorengan.  Mereka memilih sendiri makanan yang disukai.  Kakek neneknya heran Ranti punya uang untuk beli makanan di kedai.

"Dari mana kau dapat uang ?"  Tanya kakeknya.

"Diberi kakang Sembada Kek."  Jawab Ranti.

Kakeknya memandang Sembada, pemuda itu menganggukkan kepala.

"Wooo Terima kasih Ngger.  Mereka tidak pernah memegang uang.  Tak sepeserpun pernah kakek-nenek ini memberinya."

"Sekali-sekali mereka biar njajan Kek.  Mumpung aku juga bawa uang sedikit."

Namun Ranti masih menggenggam uang kembalian yang cukup banyak.  Uang itu dikembalikan kepada Sembada.

"Bawa saja.  Kalau kamu dan adik-adikmu memerlukan sesuatu bisa kau gunakan."

"Ini kembaliannya masih banyak Kang.  Bisa dipakai beli pakaian bagus."

"Kalau kau kepingin beli pakaian, pakai saja.  Tapi adik-adikmu juga belikan.  Masih cukupkah uangnya?"

"Cukup kang."

Ranti memasukkan uang itu kedalam saku bajunya.  Mereka lantas berjalan pulang.  Malam sudah turun, mereka berjalan lambat sekali sampai rumah.

Setiba di rumah ketiga cucu kakek Narto segera tidur.  Sembada dan Kakek Narto sendiri masih bercakap-cakap di depan rumah.  Mereka membakar ketela pohon untuk mengawani keduanya berbincang.

"Ayah Ranti itu dulu juga anak buah Kepala Desa Sambirame. Itulah sebabnya anakku yang jadi isterinya, setelah tahu kerja suaminya ia meninggalkan lelaki itu pergi.  Entah ia pergi kemana ? Kepadaku dan emaknya juga tidak pamit."

"Ayahnya tidak pernah ke sini Kek ? "

"Tidak.  Kabarnya ia juga sudah tidak berada di Sambirame sekarang.  Kawan-kawanya juga tidak memberitahu keberadaannya."

Mereka terus bercakap-cakap hingga tengah malam.  Entah apa saja yang mereka percakapkan.  Ketika terdengar kenthongan berbunyi dengan irama dara muluk, kakek Narto masuk rumahnya untuk tidur.  Sembada segera merebahkan badannya di atas amben bambu depan rumah.  Sebentar saja iapun telah terlelap.

Seperti kemarin, pagi itu Sembada mengikuti keluarga Kakek Narto memanen singkong.  Ketela atau singkong yang dicabutpun seperti kemarin, hanya sebatang.  Mereka mengambil cukup untuk sarapan dan makan siang.

Dari pategalan Kakek Narto kembali mencari ikan.  Pulangnya agak sore, karena ia tidak diburu waktu untuk cucu-cucunya seperti kemarin.

Baru sesudah matahari tenggelam, setelah mandi dan makan ketela bakar, Sembada pamit hendak menonton Pencak Dor. Tak seorangpun yang ingin ikut, kakek Narto memilih untuk tetap tinggal di rumah.

Buntalan berisi bekalnya ia titipkan di rumah kakek itu.  Hanya tongkat bambu penggebuk anjingnya yang dibawa.  Di pinggangnya melingkar sebuah cambuk pusaka yang belum pernah ia gunakan untuk bertempur.

Ia berjalan santai melewati jalan yang pernah ditempuh kemarin malam.  Acara adu ketangkasan tentu diselenggarakan agak malam, waktu sirep bocah.  Namun ketika ia sampai tujuan ternyata penontonnya sudah banyak.

Nampak di atas panggung terang benderang.  Beberapa lampu obor berderet mengelilingi pinggir panggung.

Sembada berusaha mencari tempat dekat panggung.  Ia harus berdesakan dengan penonton lainnya.  Sebentar kemudian terdengar bunyi bende berdengung memenuhi udara.  Seorang lelaki pendek kekar membawa tiga buah kampil / kantong uang ke atas panggung.  Di belakangnya seorang lelaki kurus membawa bende dan terus memukulnya.

Ketika lelaki pendek itu mengangkat tangan, bunyi bende berhenti.  Lelaki pendek menurunkan bawaannya.

"Sedulur-sedulur, malam ini puncak acara Merti Desa kita. Sebagaimana biasa setelah berganti kepala desa, pada acara puncak di selenggarakan Pencak Dor.  Tujuannya untuk mengetahui seberapa berani dan tangkas pemuda-pemuda Sambirame"

Terdengar tepuk tangan gemuruh.  Para penonton berteriak-teriak tidak karuan apa yang mereka katakan.

"Kali ini hadiahnya agak lain.  Tahun lalu pemenang pertama hadiahnya seekor kerbau, pemenang kedua anak kerbau dan pemenang ketiga kambing jantan yang besar.  Sekarang hadiahnya semua berupa uang keping perak.  Juara pertama akan mendapat sekantong penuh keping perak. "

Terdengar lagi teriakan-teriakan dan tepuk tangan penonton.
Lelaki pendek itu diam sejenak.  Kemudian mengangkat tangannya agar teriakan penonton berhenti.

"Juara kedua mendapat setengah kampil.  Sedangkan juara ketiga hanya seperempat kampil"

Sembada mengamati lelaki pendek itu.  Ia mengenalnya sebagai lelaki yang dikalahkan oleh seorang gadis di kedai.  Ia juga melihatnya bersama gerombolan Gagakijo yang mencegat rombongan orang berkuda.

"Dia yang di panggil Trembolo oleh kawan-kawannya.  Anak buah Gagakijo."

Sembada sempat terkejut.  Kenapa anak buah gerombolan Gagakijo ada di sini.  Apakah mereka semua menghuni desa ini.  Sejuta pertanyaan bergelut di kepala Sembada. Mungkinkah kepala desa Sambirame yang konon kepala brandal itu Gagakijo ?

Hati Sembada diganggu sebuah keinginan untuk mencari jawaban pertanyaan yang menggumpal di kepalanya.  Jalan satu-satunya ikut dalam lomba adu ketangkasan.

"Sedulur-sedulur, sekarang saat memanggil pemuda-pemuda pemberani desa kita untuk tampil di panggung.  Siapa saja yang ingin mengadu ketangkasan silahkan naik panggung."

Sejenak kemudian ketegangan menyeruak di antara penonton. Mereka  ingin  tahu siapa saja yang akan berlomba adu ketangkasan.  Kepala mereka menoleh ke kanan dan ke kiri, mendongak untuk melihat siapa saja yang mau tampil.

Ketika seorang pemuda berotot dan berambut panjang berteriak dan meloncat panggung, semua penonton bertepuk tangan menyambutnya.  Selang sesaat satu lagi pemuda melompat dan melambaikan tangan di panggung.  Penontonpun bersorak lagi.

Demikianlah betapa antusias para penonton setiap ada orang baru yang hadir di panggung.  Jumlah mereka sudah tujuh orang.

"Masih ada lagi yang ingin mengadu ketangkasan.  Sebelum aku tutup pendaftaran calon peserta."

Sembada yang menutup wajahnya dengan ikat kepala berteriak lantang.

"Aku juga ikut ki sanak."

Lelaki pendek itu menatapnya.  Ia tertawa ketika pemuda terakhir itu tidak melompat naik panggung seperti yang lain, ia naik panggung dengan memanjatnya.  Sepertinya ia pemuda yang hanya bermodal keberanian tanpa ilmu kanuragan.  Tapi ia diam saja, tidak mencegahnya.

"Sedulur-sedulur.  Ada delapan pemuda yang akan bertanding malam ini.  Sambut mereka dengan meriah."

Tepuk tangan dan teriakan segera bergemuruh.  Setelah berhenti lelaki pendek itu kembali berteriak.

"Tunggu beberapa saat.  Kami akan membagi urutan pertandingan di antara mereka."

Lelaki itu lantas bergerak ke belakang dan turun panggung diikuti oleh delapan peserta yang akan bertanding.  Setelah di undi Sembada ternyata berada di urutan terakhir.  Melawan seorang pemuda kekar berrambut panjang.

Pasangan pertama telah di panggil agar naik panggung. Pertandingan dipimpin oleh lelaki tinggi kekar.

Lelaki itu juga sudah dikenal oleh Sembada, ia anak buah Gagakijo bernama Wadasgempal.  Jika dua orang anak buahnya di sini, tentu Gagakijo sendiri juga berada di desa ini. Kenapa ia tidak muncul ?  Sebuah pertanyaan melingkar-lingkar di kepala Sembada.

Pertandingan segera dimulai.  Dua orang sudah berhadapan. Seorang berperawakan kecil dan ramping, namun kelihatan berotot kuat, melawan seorang pemuda yang tinggi besar dan berotot pula.  Ketika bende dibunyikan keduanya bersiaga, saling mengincar kelemahan lawan.

Pemuda tinggi kekar itu mengawali serangan.  Dengan cepatnya kaki kanan menjulur menyamping mengarah dada lawannya.  Namun pemuda ramping itu dengan luwesnya memiringkan tubuhnya.  Tangan kanannya memukul pergelangan kaki lawannya.

Tidak ingin pergelangannya terpukul lawan, pemuda kekar itu menarik cepat kakinya, ganti tangannya yang menyerang dengan cakaran mengarah ke muka lawannya.  Si ramping meloncat mundur, namun dengan cepatnya ia bergerak melompat maju sambil membenturkan lututnya ke perut lawan.

Pemuda kekar itu mengaduh, perutnya seperti tertimpa bongkahan batu.  Ia terhuyung-huyung ke belakang, si ramping melingkarkan badannya sambil mengirim tendangan tumit ke arah kepala lawan.  Pemuda tinggi kekar itu jatuh mencium lantai panggung.

Penonton bersorak-sorak riuh.  Si ramping membiarkan si tinggi kekar bergegas berdiri dan menyiapkan diri untuk pertarungan selanjutnya.  Namun nampaknya si ramping memang memiliki kelebihan, geraknya cepat dan mantap.  Sebentar saja Si tinggi kekar sudah babak belur dibuatnya.

Pertandingan perrtama berakhir ketika si tinggi kekar terpelanting dan jatuh dari panggung ketika si ramping meloncat dan menghantamkan lututnya ke dadanya. Wadasgempal kemudian mengangkat tangan si ramping sebagai tanda dialah pemenangnya.

Penonton bersorak-sorak riuh, bertepuk tangan dan bersuit-suit.  Mengacung-acungkan ibu jari mereka kepada si ramping sang pemenang pertandingan pertama.

Setelah membungkukkan badan, pemuda ramping itu segera turun panggung.  Sementara si tinggi besar terpaksa digotong tubuhnya oleh anggota pelaksana pertandingan.

Babak kedua segera dipersiapkan.  Pemuda berhidung melengkung melawan pemuda berkepala gundul.  Perawakan dan tinggi badan mereka sejajar.  Setelah mereka berhadap-hadapan, Wadasgempal segera mengayunkan tangannya ke bawah.

"Mulai"  "Dong"

Dua pemuda berputar-putar sesaat, masing-masing mencari celah tubuh lawan yang tak terlindung.  Beberapa saat belum ada yang memulai, hanya bergerak-gerak menghentak-hentak menyerang.  Penonton tidak sabar melihat.

"Ayooo, serang !!!"

Namun akhirnya si gundullah yang meloncat dan mengirim pukulan tangan.  Namun sihidung melengkung menepisnya ke samping dengan tolakan telapak tangan.  Sebuah kesempatan terbuka, kaki kanan sihidung melengkung bergerak dengan cepat, tulang keringnya menghantam dengan keras ke arah ulu hati lawan.

Terdengar suara benturan keras. Buuukk.  Ahhhh,

Si gundul terlontar badannya menghantam pagar penghalang panggung.  Tubuh itu kemudian jatuh mengelimpruk di lantai. Wadas Gempal menunggu sesaat, sambil menghitung angka sampai sepuluh.  Selesai hitungan sepuluh pemuda gundul itu tetap tak bisa bangkit.

Wadasgempal menghampiri pemuda berhidung melengkung dan mengangkat tangannya ke atas, sebagai pertanda dialah yang menang.

Kembali penonton bersorak-sorak ramai sekali.  Bahkan ada yang melepas baju mereka dan memutar-mutarnya di atas kepala.

Pertandingan ketiga tidak kalah seru.  Pemuda jangkung berkulit hitam melawan pemuda yang sedikit cacat kakinya. Meski agak pincang tetapi pemuda itu ternyata gesit dan lincah sekali.  Gerakannya cepat dan tak terduga, si jangkung dalam waktu singkat berhasil di robohkan.

Tiba saatnya Sembada bertempur mengadu ketangkasan.  Ia meloncati panggung dengan ringannya, hal ini sedikit mengagetkan penonton.  Semula pemuda ini seperti orang yang hanya bermodal keberanian naik panggung, tanpa bekal olah kanuragan.

Menyaksikan Sembada dengan ringannya meloncat, penonton menyambutnya dengan gembira.  Tepuk tangan, teriakan dan suitan menyambut kedatangannya.

Ia tetap menutup wajahnya dengan ikat kepala.  Ia tidak ingin dikenal oleh anak buah Gagakijo.

Selang sesaat pemuda tinggi kekar berrambut panjang juga meloncat naik panggung.  Gerakannya  juga lincah dan mantap.

Wadasgempal segera mengisyaratkan kepada keduanya untuk berhadapan.  Sesaat kemudian bunyi bende berbarengan dengan suara Wadasgempal berteriak. Dong, "Mulai"

Tidak seperti pasangan terdahulu yang lama sekali beradu fisik, namun kini kedua pemuda langsung saling menyerang dan menghindar.  Pertarungan mereka seru sekali.  Keduanya mempunyai kekuatan dan kecepatan bergerak yang tinggi.

Ketika Sembada menendang perut lawannya, dengan tangan lawannya menolak kaki Sembada, dan gantian kakinya melayang menghantam dada.  Sembada menolaknya pula dan mengirimkan tendangan balik.  Demikian berulang-ulang sehingga penonton dibuat takjub.

Namun Sembada segera mengubah taktik bertanding, ia dengan cepatnya melompat ke samping lawan dan menggerakkan tangannya meraih ikat kepala pemuda tinggi kekar itu.  Ikat kepala itu berhasil ia lepas dari kepala lawannya, dan mengangkatnya agar dilihat para penonton.

"Hebat, horeeee, terus hajar."

Pemuda tinggi berambut panjang merah wajahnya.  Ia benar-benar dipermalukan lawannya.  Iapun menyerang Sembada dengan gerakan yang cepat dan keras.

Namun Sembada dengan ilmu peringan tubuhnya yang matang, dapat menghindar setiap serangan lawan.  Tangannya masih menggenggam ikat kepala lawannya.  Sekali-sekali ia memutar-mutar di atas kepala untuk memancing perhatian penonton.

Namun tertanya pemuda tinggi kekar dan berrambut panjang itu tidak memliki ketahanan tubuh yang prima.  Sebentar saja sudah terengah-engah nafasnya.  Kesempatan bagi Sembada untuk segera mengakhiri pertandingan.

Ketika pemuda tinggi itu meloncat mundur menghindari kaki lawannya, dan hampir jatuh dari panggung, Sembada memanfaatkan kesempatan itu.  Dengan cepat dan keras ia menabrakkan badannya ke tubuh lawan.  Al hasil pemuda tinggi berrambut panjang melayang jatuh dari panggung.

Ia tidak sampai jatuh membenturkan badannya di tanah, namun dengan manisnya ia masih bisa menapakkan kaki dengan kokoh.  Nampak ia sangat kecewa sekali, meski pertarungan belum ada yang cedera, tapi ia pasti sudah dikatakan kalah.  Karena ia berhasil terlempar keluar panggung.

Wadasgempal segera mengangkat tangan Sembada ke atas, tanda bahwa ia pemenangnya.  Penonton bersorak-sorak ramai sekali.

Pertandingan berhenti sejenak.  Pelaksana pertandingan harus mengatur ulang pasangan bertading lagi.  Kini tinggal empat orang, berarti akan ada dua pasangan.  Dengan undian mereka menentukan siapa melawan siapa.  Setelah selesai segera lelaki pendek kekar mengumumkan di atas panggung.

Sembada akan melawan pemuda berhidung melengkung, sementara pasangan yang lain pemuda pincang harus melawan pemuda ramping.  Setelah diundi lagi urutan pertandingan, Sembada ternyata mendapat urutan yang pertama.

Segera nampak dua pemuda meloncat panggung hampir berbarengan.  Pemuda berhidung melengkung itu dengan mata menyala menatap calon lawannya.  Sembada hanya tersenyum di balik tutup wajahnya.

"Hai kawan.  Lepas tutup wajahmu.  Aku ingin melihatnya.  Jangan sampai kau terkapar dengan wajah masih tertutup."

"Tidak ada aturan yang melarang atau membolehkan aku menutup wajah.  Sesukakulah aku menutup wajahku."

"Persetan,  Tulang belulangmu akan aku patahkan di sini."

"Jangan hanya bicara, buktikan di panggung kalau kau bisa."

Pemuda berhidung melengkung itu marah besar.  Ia tidak berhasil mempengaruhi nyali lawannya.  Segera ia bersiap untuk bertanding.

Terdengar kembali suara Wadasgempal dan bunyi bende.  Dua pemuda dengan waspada saling mengawasi gerak lawannya.

Ketika pemuda berhidung melengkung itu meloncat mengirimkan kepalan tangannya ke wajah Sembada, ia merendahkan badannya.  Dengan cepat ia meraih kerah baju lawannya, kemudian mengangkatnya searah gerakkan pemuda berhidung melengkung itu.  Dengan deras ia melempar tubuh pemuda itu ke lantai panggung.

Pemuda berhidung melengkung itu cukup gesit, ia melipat tubuhnya dan jatuh tepat pada punggungnya, kemudian berguling ke depan.  Sebentar kemudian ia melenting berdiri menghadapi lawannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun