"Cukup kang."
Ranti memasukkan uang itu kedalam saku bajunya. Â Mereka lantas berjalan pulang. Â Malam sudah turun, mereka berjalan lambat sekali sampai rumah.
Setiba di rumah ketiga cucu kakek Narto segera tidur. Â Sembada dan Kakek Narto sendiri masih bercakap-cakap di depan rumah. Â Mereka membakar ketela pohon untuk mengawani keduanya berbincang.
"Ayah Ranti itu dulu juga anak buah Kepala Desa Sambirame. Itulah sebabnya anakku yang jadi isterinya, setelah tahu kerja suaminya ia meninggalkan lelaki itu pergi. Â Entah ia pergi kemana ? Kepadaku dan emaknya juga tidak pamit."
"Ayahnya tidak pernah ke sini Kek ? "
"Tidak. Â Kabarnya ia juga sudah tidak berada di Sambirame sekarang. Â Kawan-kawanya juga tidak memberitahu keberadaannya."
Mereka terus bercakap-cakap hingga tengah malam. Â Entah apa saja yang mereka percakapkan. Â Ketika terdengar kenthongan berbunyi dengan irama dara muluk, kakek Narto masuk rumahnya untuk tidur. Â Sembada segera merebahkan badannya di atas amben bambu depan rumah. Â Sebentar saja iapun telah terlelap.
Seperti kemarin, pagi itu Sembada mengikuti keluarga Kakek Narto memanen singkong. Â Ketela atau singkong yang dicabutpun seperti kemarin, hanya sebatang. Â Mereka mengambil cukup untuk sarapan dan makan siang.
Dari pategalan Kakek Narto kembali mencari ikan. Â Pulangnya agak sore, karena ia tidak diburu waktu untuk cucu-cucunya seperti kemarin.
Baru sesudah matahari tenggelam, setelah mandi dan makan ketela bakar, Sembada pamit hendak menonton Pencak Dor. Tak seorangpun yang ingin ikut, kakek Narto memilih untuk tetap tinggal di rumah.
Buntalan berisi bekalnya ia titipkan di rumah kakek itu. Â Hanya tongkat bambu penggebuk anjingnya yang dibawa. Â Di pinggangnya melingkar sebuah cambuk pusaka yang belum pernah ia gunakan untuk bertempur.