"Setan betina. Â Ternyata kau keturunan kuntilanak. Â Aku bunuh kau" teriaknya mulai marah.
"Jangan hanya berteriak. Â Ayo mana ilmu kapakmu itu." Tantang si gadis sengit.
Trembolo meloncat balik menyerang. Â Kapaknya dengan deras melayang ke arah kepala si gadis. Namun dengan manisnya gadis itu menepis kapak itu ke samping. Â Kaki bergerak dengan cepat, tulang keringnya menghantam perut lelaki buncit itu.Â
Terdengar suara keras 'Buuuk'. Â Lelaki itu tiba-tiba sempoyongan dan jatuh ke belakang.
Ketika pedang gadis itu hendak memburu musuhnya, tiba-tiba sebuah pedang besar milik Wadas Gempal melayang hendak membacok lehernya. Â Sekilas gadis itu melihat kelebat pedang mengarah dirinya. Â Ia meloncat ke samping dan menggerakkan pedangnya memukul bilah pedang yang datang itu. Â
Terdengar bunyi dua logam beradu. Â Dua orang itu nampak tegang sejenak, mereka merasakan kekuatan masing-masing.
"Licik, Curang, Kau membokong dari belakang." Teriak gadis itu.
"Persetan !!" Â Jawab Wadas Gempal.
Namun belum selesai Wadas Gempal mempersiapkan serangannya lagi, maka seorang anak muda dari rombongan orang berkuda itu menyerangnya dengan dahsyat. Â Pedangnya berkelebatan mengancam leher dan kepala Wadas Gempal.
Trembolo yang terluka lengannya mencoba minggir dari arena. Ia mengobati lukanya dengan bubuk obat untuk mencegah darahnya menetes terus. Â Hatinya benar-benar kesal, namun juga terselip rasa malu. Â Lebih-lebih jika ia pandang Ki Lurah Gagak Ijo yang selalu memelototinya.
Di halaman kedai itu tidak lagi terjadi sebuah perang tanding. Namun terjadi sebuah pertempuran berkelompok. Â Dua belas orang anggota kelompok berkuda melawan delapan orang kelompok lelaki kekar dan kasar.