PERTEMPURAN DI DEPAN KEDAI
Oleh Wahyudi Nugroho
Sembada duduk diatas rakit sambil menekuk kakinya. Â Matanya tidak lepas dari arus sungai brantas yang bergulung-gulung di bawah gethek. Â Air berwarna coklat itu menandakan bahwa di hulu sungai itu kemungkinan baru saja hujan. Â
Tanpa sadar ia mendongakkan kepala ke atas melihat langit. Terlihat hanya awan putih yang bergumpal-gumpal terbawa angin ke utara. Namun di selatan sana, mendung hitam menyelubungi langit.
Tiba-tiba perutnya berbunyi, pertanda minta diisi lagi.  Ia hanya sarapan  bubur buatan Ki Ardi ketika berangkat dari goa. Sekarang matahari sudah agak jauh bergeser ke barat.  Pantas saja kalau perutnya sudah protes.
"Pasti di seberang sana banyak kedai makanan pula." Bisiknya dalam hati.
Sebentar kemudian gethek yang ditumpanginya sudah merapat di tepian. Â Setelah membayar jasa tukang satang ia melompat dari gethek. Â Kakinya mendarat di tanah berpasir yang lembab. Â Iapun lantas mengayunkan langkahnya meninggalkan tempat penyebrangan itu.
Benar pula sangkaan Sembada, di kedua tepi jalan dekat penyebrangan itu banyak sekali kedai makanan. Â Ia pilih kedai yang cukup besar, karena tertarik dengan rombongan orang berkuda yang juga mampir ke kedai itu. Â Seorang pekerja kedai menyalaminya ketika ia masuk pintu kedai.
"Selamat sore tuan. Â Silakan mencari tempat duduk tuan. Â Kami akan melayani tuan dengan baik, kepuasan tuan adalah harapan kami."
Sembada menjawabnya dengan senyuman dan anggukan kepala. Ia menengok kesana-kemari untuk mencari tempat yang kosong. Hanya ada satu meja dan kursi di pojok kedai yang tidak ditempati orang.