Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 2. Kakek Pemikul Kayu

15 Maret 2024   16:10 Diperbarui: 27 Agustus 2024   10:42 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dokpri

"Sudahlah kek menyerahlah.  Aku tidak akan membunuhmu.  Aku akan mengampunimu asal kau kembalikan barang itu."

Kakek itu tiba-tiba melemparkan buntalan itu ke atas.  Arya mencoba mengikuti arah lemparan itu.  Ketika ia mendongakkan kepala baru ia sadari bahwa di atas langit-langit goa yang tinggi itu nampak ada lubang yang sangat lebar menganga.  

Dari di atas sana itu bisa dilihat bintang-bintang bertebaran. Makanya terasa udara di situ berbeda dengan di lorong goa itu.  Di sini lebih segar dan sedikit lebih terang. Matanyapun dapat menangkap seluruh pergerakan tubuh kakek tua itu.

Ketika buntalan telah jatuh lagi di lantai tanah, pemuda itu tidak segera mengambilnya.  Ia takut jika ia mengambil benda itu, kakek itu memamfaatkan kesempatan ia lengah dan menyerangnya. Maka ia lebih memperhatikan pergerakan si kakek.

"Nah itu barangmu.  Kenapa tidak kau ambil ?"

"Kau tentu akan memanwfaatkan waktu sejenak saat aku mengambil benda itu untuk menyerangku.  Maka lebih baik ia biar di sana dulu.  Kita lanjutkan urusan kita."  Kata pemuda itu sambil memutar tongkatnya.

Kakek itu menyilangkan parangnya di depan dada.  Siap menunggu datangnya serangan dari pemuda itu.  Maka sebentar kemudian telah terjadi pertempuran yang seru.  Silih berganti mereka menyerang dan menghindar.  Juga bergantian mereka mendesak lawannya beberapa langkah.

Kakek itu ternyata sudah tidak terganggu lagi dengan nafasnya yang terengah-engah.  Bahkan ia mampu melibat pemuda itu dengan serangan-serangan yang sangat berbahaya.

Namun pemuda itu terhitung cukup tangguh.  Ilmunyapun juga tidak terlalu rendah.  Di padepokannya ia sudah termasuk kelompok siswa berilmu madya.  Dan telah diangkat oleh gurunya untuk mewakili melatih siswa-siswa baru.  Dalam jenjang pendidikan ia sudah disebut putut, beberapa tingkat dari cantrik di padepokan.

Meski demikian, tidak mudah pemuda itu menaklukkan kakek yang sudah sukup tua itu.  Beberapa lama mereka bertempur nafas kakek itu juga tidak terengah-engah seperti saat ia berkelahi di luar goa.  Bahkan kakek itu makin lama makin gesit, gerakannyapun semakin rumit.  Pemuda itu justru merasa semakin kewalahan menghadapinya.

Ternyata malam telah berlalu, haripun sudah menginjak pagi. Ruangan itu semakin terang suasananya.  Namun perkelahian masih berlangsung dengan sengitnya.  Suatu ketika kakek itu berhasil mendaratkan parangnya ke punggung pemuda itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun