Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 2. Kakek Pemikul Kayu

15 Maret 2024   16:10 Diperbarui: 27 Agustus 2024   10:42 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dokpri

KAKEK PEMIKUL KAYU

(Karya Wahyudi Nugroho)

Dengan cepat seperti kilat yang menyambar di langit, Sembada meloncat dan menotokkan ujung tongkatnya ke arah dada lelaki yang ia anggap pemimpin gerombolan itu.  

Lelaki itu terhuyung-huyung ke belakang, Sembada meloncat memburunya sambil mengirim tendangan miring, tumitnya menghantam perut lawannya.  Lelaki itu mengaduh dan jatuh terjengkang ke belakang sambil memegangi perutnya.

Ketika seorang lawannya yang satu hendak mengambil parangnya yang terlepas, dengan cepat Sembada meloncat dan mengayunkan tongkatnya kepunggung lawan.  

"Buuuk." Terdengar lagi bunyi benturan.

"Aduh." Lawannya mengaduh kesakitan.

Lelaki itu jatuh tengkurap mencium tanah. Bibirnya terantuk batu yang tajam. Darah mengalir membasahi dagunya.

Sembada menghentikan serangan-serangannya.  Ia melihat ketiga lawannya sudah tak mampu lagi melawan.  Ia letakkan tongkatnya di atas pundak.  Sambil bertolak pinggang ia berteriak.

"Apakah kita teruskan pertempuran ini.  Kalian hampir mati kehabisan nafas." Katanya.

"Persetan kau anak muda.  Jangan kau sombong.  Kami belum kalah." Jawab satu dari para gembong itu.

"Hahahaha, kalian masih berkeras hati.  Baik.  Aku layani sampai kapanpun.  Ayo maju kalian.  Kena hantam tongkat penggebuk anjingku pasti kalian klenger." Katanya sembari tersenyum.

Ketiga lawannya termangu-mangu.  Mereka sudah terengah-engah.  Keringat mereka terperas dari kulitnya.  Badannya telah basah kuyub.  Pasir melekat di bajunya setelah berulang kali mereka terjatuh.

"Jika kalian menyerah, aku persilahkan kalian pergi.  Tapi parang kalian mesthi kalian tinggal.  Jika parang itu masih di tangan kalian, pasti akan kalian gunakan untuk memeras orang. Meskipun aku tak yakin kalian akan sembuh dari penyakit jiwa ini bila kalian aku ampuni."

Tiga orang itu saling pandang satu sama lain.  Ketika sang pemimpin mengangguk, maka teman-temannya segera melempar parang mereka seperti yang dilakukan pemimpinnya.

"Nah kalian boleh pergi.  Silahkan tuan-tuan..."Kata Sembada meledeknya.

Mereka melangkahkan kakinya pergi dari depan pasar itu. Para penonton bersorak ikut meledeknya.  Nampak mereka menundukkan kepala karena malu.

"Kenapa kau terpincang-pincang ? Jalannya kan rata ? " Sembada berteriak kepada salah seorang yang berjalan sambil memegangi kakinya.

Lelaki itu tersenyum kecut.  Namun mereka terus melangkahkan kakinya hingga orang-orang yang menontonnya bubar dari depan pasar itu.

Seorang kakek tua mendekati Sembada. Ia masih memikul dua bongkok kayu.  Kakek tua berhenti dan memungut tiga parang di dekat pemuda itu.  Sembada diam saja tidak menghiraukannya.

"Aku bawa parang ini anak muda.  Lumayan buat cari kayu.  Aku tak perlu lagi beli." Katanya sambil tersenyum.

"Bawa saja kek.  Gunakan sebaik-baiknya." Jawab Sembada.

Lelaki tua itu menyelempitkan tiga parang dalam tumpukan kayu yang telah ditali.  Ia lantas membungkukkan badannya ke arah Sembada, kemudian pergi melanjutkan perjalanannya.

Sembada memandang berkeliling.  Baru sadar ia dipandangi oleh banyak orang.  Ia tundukkan kepalanya dan melangkah pergi ke dalam pasar.

"Simbok sudah menutup kedai ?" Tanya Sembada kepada Mbok Kanthi.

"Iya Ngger.  Simbok takut. " jawab wanita tua itu.

Sembada mengangguk sambil memandangi ibu temannya itu dengan rasa kasihan. Nampak wanita tua itu gemetar badannya.

"Aku belum membayar makanku dan minumku Mbok."

"Sudah nggak usah Sembada.  Kau kuanggap anak sendiri."

"Nggak bisa begitu mbok.  Simbok bisa rugi."  Ia ulurkan uang sekeping perak.

"Wooo nggak ada kembaliannya ini,"

"Termasuk tiga orang itu yang belum bayar mbok.  Sisanya bawa saja buat simpanan."

"Addduuuh Sembada terima kasih ya Leee...."  Simbok Kanthi menangis sesenggukan.

Sebentar kemudian keduanya keluar pasar dan berjalan berdampingan.  Sembada membantu membawakan tikar tempat duduk pengunjung milik Simbok Kanthi.  Pemuda itu sebelum melanjutkan perjalanannya ingin menengok rumah wanita itu.

"Rumahku sudah pindah Sembada.  Aku tinggal di kampung sebelah.  Rumah lama rusak, joglonya ikut terbakar.  Aku nggak punya biaya memperbaikinya."

Sembada mengangguk-anggukkan kepala.  Ketika senja membayang di langit mereka sampai ke sebuah rumah berdinding bambu beratap ilalang di pinggir sebuah desa.

Seorang lelaki tua keluar dari rumah kecil itu.  Ia tersenyum melihat Simbok Kanthi pulang bersama pemuda itu.

Tidak lama Sembada di rumah Mbok Kanthi.  Menjelang sore ia mohon pamit melanjutkan perjalanan.  Mbok Kanthi dan kakek pemikul kayu mengantarnya sampai pintu halaman.

Dengan santai Sembada melangkahkan kakinya. Tidak ada keperluan yang mendesak untuk segera sampai ke tujuan. Jika capek ia bisa beristirahat di manapun dia kehendaki.

Saat Senja Sembada sudah masuk di sebuah hutan.  Ia merasa sejak tadi jalannya dibuntuti orang.  Ketika hari semakin gelap, dan perjalanannya sampai di jalan berbatu, ia melihat sosok bayangan orang di atas batu menghadang dirinya.

"Beraninya kau masuk hutan larangan,"  Terdengar suara berat dari mulut lelaki tua di atas batu itu.  Kakek  memandanginya dengan mata melotot sambil mengangkat parang untuk mengancam.

Pemuda itu segera mempersiapkan diri.  Buntalan yang menggantung di ujung tongkat bambu penggebuk anjingnya segera ia lolos, kemudian menyerempangkan ujung-ujungnya pada pundak kanan dan pinggang kirinya, lantas mengikatkan ujungnya pada dada.  Dengan memutar tongkat bambunya pemuda itu merasa sudah siap menghadapi parang kakek tua itu.

"Sebut ayah bundamu, sebelum nyawamu lepas di sini." Ancam kakek tua itu.

"Kematianku tidak di tanganmu kakek tua.  Ia berada dalam kekuasaan Hyang Widhi.  Meski ilmumu setinggi langit, jika bukan atas takdirnya aku tidak akan mati." Jawab Sembada.

"Hahaha, bermimpilah selama kamu masih bernafas.  Jika sudah putus tak ada lagi yang dapat kau lakukan." Kakek itu menggeremang.

Tiba-tiba kakek tua itu meloncat dengan cepat sekali menusukkan parangnya ke arah dada.  Pemuda itu segera memiringkan tubuhnya dan menangkis dengan tongkat bambunya.  Terdengar suara dua benda beradu.  

"Thaaang"

Terasa keduanya merasakan getaran di tangan mereka masing-masing.  Pemuda itu menyadari betapa kuat tenaga yang  dimiliki oleh kakek tua itu.  Demikian juga kakek itu merasa bahwa pemuda itu mampu mengimbangi tenaganya.

Parang itu berbelok arah, namun segera berputar dan menebas leher.  Melihat gerakan parang itu segera pemuda itu merendahkan dirinya, ia gerakkan dengan cepat tongkatnya menyerampang kaki kakek itu.  

Tahu kakinya jadi sasaran srampangan, kakek itu melompat tinggi, sambil membalikkan badannya ia tusukkan parangnya kemuka pemuda itu.  Pemuda itu melompat berputar dan memukul   bagian atas parang kakek itu.  Dengan cepat kakek itu menarik parangnya, sehingga tongkat kayu lewat di depannya.

Gagal memukul parang kakek tua itu tiba-tiba pemuda itu memutar tubuhnya dengan cepat.  Tongkatnya telah berpindah di tangan kiri, berbareng dengan putaran tubuhnya tongkat itu melayang ke arah tengkuk kakek tua.  Kakek itu merendahkan tubuhnya, dan menyabetkan parangnya ke arah pinggang.

Namun pemuda itu dengan gesitnya telah melompat ke depan. Lolos dari sabetan parang si kakek.

"Hahaha ternyata kau gesit juga anak muda.  Namun jangan dulu besar kepala, aku belum sepenuhnya mengungkap seluruh ilmu pedangku." Kata kakek itu dengan pongah.

Pemuda itu diam saja, tidak menanggapi ocehan kakek tua.  Ia segera memutar tongkatnya hingga terdengar bunyi dengungan seperti suara sendaren.  Kakek itu tersenyum, iapun telah mempersiapkan jurus baru untuk segera menaklukkan pemuda itu.

Maka sejenak kemudian terjadilah perkelahian yang sengit. Kakek itu ternyata mampu bergerak dengan cepat sekali. Tenaganyapun cukup besar, sehingga gerakan parang itu menimbulkan terpaan angin yang kuat. Namun pemuda itu masih dapat mengimbanginya, bahkan bisa mendesaknya hingga beberapa langkah.

"Aku kira kau murid tolol Ajar Cemara Sewu.  Tetapi ternyata kaupun cukup berbakat.  Gerakanmu lincah dan gesit, tenagamupun cukup besar dan kuat.  Tapi kau akan menyesal anak muda.  Telah masuk hutan larangan ini."  Kata kakek tua itu.

"Kita sudah melewati berpuluh kedipan mata.  Kau ternyata belum mampu merobohkan aku.  Sebentar lagi nafasmu akan putus. "

"Hahaha, jangan sombong.  Aku sengaja mengulur waktu, agar kau tidak segera mati."

Pemuda itu mendahului kakek itu menyerang.  Putaran tongkat bambu penggebuk anjingnya kian nyaring berdengung, menandakan bahwa ia telah meningkatkan tenaga dalamnya.

Kakek itu segera meloncat menghindar ketika tongkat itu melayang dengan cepat dan keras hendak memukul kepalanya. Gagal dengan serangannya pemuda itu melihat ujung parang itu sudah begitu dekat dengan punggungnya, digerakkan oleh tangan si kakek dengan cepat dan kuat juga.

Pemuda itu memutar kaki kanannya ke depan, sambil mengayunkan tongkatnya dengan kedua tangan menangkis. Terjadilah benturan yang keras, parang itu hambir saja jatuh dari tangan yang memegangnya.

"Anak demit.  Nyawamu akan melayang masih juga kau bertingkah."  Kata kakek itu meloncat ke belakang mencoba mempertahankan parangnya.  Tanganya terasa panas, dan bergetar seperti kesemutan.

Pemuda itu terus merangsek kakek itu.  Sambil mundur kakek itu berhasil menangkis dan menghalau tongkat penggebuk anjing yang melayang ke tubuhnya.  

Tiba-tiba kakek itu kelihatan gelisah, nafasnya tersengal-sengal sesaat.  Pemuda itu sangat gembira hatinya, pasti perlawanan kakek itu sebentar saja akan melemah.  Ia terus menggerakkan tongkatnya untuk menyerang dengan gerakan yang kian cepat dan kuat.

Namun entah tiba-tiba kakek itu mampu meningkatkan geraknya pula.  Parangnya berkelebat dan berhasil menyusup pertahanan pemuda itu, sehingga nampak sebuah benda tiba-tiba jatuh dari tubuh pemuda itu.  Benda itu adalah sebuah buntalan yang melingkari badannya.  

Ketika pemuda itu berusaha menyelamatkan barangnya, tiba-tiba dengan satu lompatan kakek itu berhasil menendang benda itu ke atas, kemudian dengan gesitnya ia melompat tinggi dan meraih barang itu dan membawanya lari.

Dengan gerak yang cepat pula pemuda itu mengejar si kakek tua. Namun kakek itu berhasil menyusup gerumbul liar hutan itu. Tanpa ragu-ragu pemuda itu juga menyusup gerumbul liar itu pula.  Maka sebentar kemudian terjadilah peristiwa kejar kejaran di hutan itu.  Kakek itu terus melarikan diri sambil membawa buntalan pemuda itu, si pemuda terus mengejarnya hendak mengambil kembali barang bawaannya.

Beberapa saat pemuda itu kehilangan buruannya.  Kakek itu mampu menyelinap dan lolos dari dirinya.  Ketika sesaat pemuda itu berhenti, dan memusatkan pendengarannya, terdengarlah suara nafas terengah-engah seseorang.  Ia langsung menghadap dari mana arah suara nafas yang terengah-engah itu.  Ketika terdengar suara orang terbatuk-batuk segera ia melesat dan mengencangkan larinya.

Tiba-tiba terlihat gerak orang lari dengan membungkuk-bungkuk di depannya.  Namun meskipun demikian pemuda itu belum juga mampu menangkap si kakek.  Hingga suatu saat kakek itu tiba-tiba hilang di balik sebuah gerumbul tanaman perdu.

Pemuda itu segera mendekat, dan mengamati tempat di mana kakek itu hilang.  Dengan sangat hati-hati pemuda itu melangkah, mewaspadai kemungkinan ia mendapat serangan yang mendadak. Di balik gerumbul perdu itu ternyata terdapat sebuah lubang yang menganga, dan di dindingnya terdapat sebuah pintu goa.

Pemuda itu turun  masuk lubang yang  tidak terlalu dalam itu. Kemudian sambil mengendap berjalan ke arah pintu goa.  Ia tidak langsung menghadap tepat di depan goa, tapi mengendap-endap di pinggirnya.  

Dari sana ia mendengar suara orang terbatuk-batuk, dari bunyinya ia dapat memastikan bahwa suara itu agak jauh dari pintu goa.  Pemuda itu lantas masuk, jalannya mengendap-endap.  Ia mengambil bagian tepi lorong goa yang cukup lebar itu.  Agar jika ada serangan jarak jauh ia bisa menghindar dengan merapatkan badan di dinding lorong.

Masih terdengar suara nafas yang terengah-engah, bahkan sekali-sekali suara orang terbatuk-batuk.  Pemuda itu mempercepat langkahnya.  Suara itu sudah tidak terlalu jauh dari dirinya.  Ia yakin sebentar lagi akan dapat menangkap kakek itu.

Ternyata lorong goa itu melingkar-lingkar.  Banyak cabang di kanan dan kirinya.  Namun pemuda itu terus mengandalkan pendengarannya, sehingga ia tidak akan tersesat dari arah jalan kakek itu.  Hingga pada akhirnya kedua orang itu sampai di ruangan yang cukup luas.  Udara di ruangan itupun terasa segar, dan suasananya tidak gelap seperti jalan menuju tempat itu.

"Nah kek.  Kau tidak akan lagi bisa lolos.  Nampaknya nafasmupun sudah akan putus.  Lebih baik kau serahkan barang itu kepadaku.  Karena di dalamnya terdapat bekal yang akan memperpanjang hidupku."

"Hahaha, enak saja.  Kau belum mampu mengalahkan aku anak muda.  Aku sengaja membawamu ke sini, agar setelah mati mayatmu tidak ditemukan oleh orang lewat."

"Sudahlah kek menyerahlah.  Aku tidak akan membunuhmu.  Aku akan mengampunimu asal kau kembalikan barang itu."

Kakek itu tiba-tiba melemparkan buntalan itu ke atas.  Arya mencoba mengikuti arah lemparan itu.  Ketika ia mendongakkan kepala baru ia sadari bahwa di atas langit-langit goa yang tinggi itu nampak ada lubang yang sangat lebar menganga.  

Dari di atas sana itu bisa dilihat bintang-bintang bertebaran. Makanya terasa udara di situ berbeda dengan di lorong goa itu.  Di sini lebih segar dan sedikit lebih terang. Matanyapun dapat menangkap seluruh pergerakan tubuh kakek tua itu.

Ketika buntalan telah jatuh lagi di lantai tanah, pemuda itu tidak segera mengambilnya.  Ia takut jika ia mengambil benda itu, kakek itu memamfaatkan kesempatan ia lengah dan menyerangnya. Maka ia lebih memperhatikan pergerakan si kakek.

"Nah itu barangmu.  Kenapa tidak kau ambil ?"

"Kau tentu akan memanwfaatkan waktu sejenak saat aku mengambil benda itu untuk menyerangku.  Maka lebih baik ia biar di sana dulu.  Kita lanjutkan urusan kita."  Kata pemuda itu sambil memutar tongkatnya.

Kakek itu menyilangkan parangnya di depan dada.  Siap menunggu datangnya serangan dari pemuda itu.  Maka sebentar kemudian telah terjadi pertempuran yang seru.  Silih berganti mereka menyerang dan menghindar.  Juga bergantian mereka mendesak lawannya beberapa langkah.

Kakek itu ternyata sudah tidak terganggu lagi dengan nafasnya yang terengah-engah.  Bahkan ia mampu melibat pemuda itu dengan serangan-serangan yang sangat berbahaya.

Namun pemuda itu terhitung cukup tangguh.  Ilmunyapun juga tidak terlalu rendah.  Di padepokannya ia sudah termasuk kelompok siswa berilmu madya.  Dan telah diangkat oleh gurunya untuk mewakili melatih siswa-siswa baru.  Dalam jenjang pendidikan ia sudah disebut putut, beberapa tingkat dari cantrik di padepokan.

Meski demikian, tidak mudah pemuda itu menaklukkan kakek yang sudah sukup tua itu.  Beberapa lama mereka bertempur nafas kakek itu juga tidak terengah-engah seperti saat ia berkelahi di luar goa.  Bahkan kakek itu makin lama makin gesit, gerakannyapun semakin rumit.  Pemuda itu justru merasa semakin kewalahan menghadapinya.

Ternyata malam telah berlalu, haripun sudah menginjak pagi. Ruangan itu semakin terang suasananya.  Namun perkelahian masih berlangsung dengan sengitnya.  Suatu ketika kakek itu berhasil mendaratkan parangnya ke punggung pemuda itu.

Namun terasa bukan bagian yang tajam yang menyentuh kulitnya, justru bagian parang yang tumpul.  Namun serangan itu terasa begitu dahsyatnya.  Pemuda itu merasakan seperti tersentuh benda yang sangat berat yang tak dapat ditahannya, iapun terhuyung-huyung dan jatuh menelungkup.  Mulutnya mencium lantai pasir di goa itu.  Sesaat pandangannya berkunang-kunang, kemudian ia jatuh tak sadarkan diri.
.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun