"Sudahlah kek menyerahlah. Â Aku tidak akan membunuhmu. Â Aku akan mengampunimu asal kau kembalikan barang itu."
Kakek itu tiba-tiba melemparkan buntalan itu ke atas. Â Arya mencoba mengikuti arah lemparan itu. Â Ketika ia mendongakkan kepala baru ia sadari bahwa di atas langit-langit goa yang tinggi itu nampak ada lubang yang sangat lebar menganga. Â
Dari di atas sana itu bisa dilihat bintang-bintang bertebaran. Makanya terasa udara di situ berbeda dengan di lorong goa itu. Â Di sini lebih segar dan sedikit lebih terang. Matanyapun dapat menangkap seluruh pergerakan tubuh kakek tua itu.
Ketika buntalan telah jatuh lagi di lantai tanah, pemuda itu tidak segera mengambilnya. Â Ia takut jika ia mengambil benda itu, kakek itu memamfaatkan kesempatan ia lengah dan menyerangnya. Maka ia lebih memperhatikan pergerakan si kakek.
"Nah itu barangmu. Â Kenapa tidak kau ambil ?"
"Kau tentu akan memanwfaatkan waktu sejenak saat aku mengambil benda itu untuk menyerangku. Â Maka lebih baik ia biar di sana dulu. Â Kita lanjutkan urusan kita." Â Kata pemuda itu sambil memutar tongkatnya.
Kakek itu menyilangkan parangnya di depan dada. Â Siap menunggu datangnya serangan dari pemuda itu. Â Maka sebentar kemudian telah terjadi pertempuran yang seru. Â Silih berganti mereka menyerang dan menghindar. Â Juga bergantian mereka mendesak lawannya beberapa langkah.
Kakek itu ternyata sudah tidak terganggu lagi dengan nafasnya yang terengah-engah. Â Bahkan ia mampu melibat pemuda itu dengan serangan-serangan yang sangat berbahaya.
Namun pemuda itu terhitung cukup tangguh. Â Ilmunyapun juga tidak terlalu rendah. Â Di padepokannya ia sudah termasuk kelompok siswa berilmu madya. Â Dan telah diangkat oleh gurunya untuk mewakili melatih siswa-siswa baru. Â Dalam jenjang pendidikan ia sudah disebut putut, beberapa tingkat dari cantrik di padepokan.
Meski demikian, tidak mudah pemuda itu menaklukkan kakek yang sudah sukup tua itu. Â Beberapa lama mereka bertempur nafas kakek itu juga tidak terengah-engah seperti saat ia berkelahi di luar goa. Â Bahkan kakek itu makin lama makin gesit, gerakannyapun semakin rumit. Â Pemuda itu justru merasa semakin kewalahan menghadapinya.
Ternyata malam telah berlalu, haripun sudah menginjak pagi. Ruangan itu semakin terang suasananya. Â Namun perkelahian masih berlangsung dengan sengitnya. Â Suatu ketika kakek itu berhasil mendaratkan parangnya ke punggung pemuda itu.