"Addduuuh Sembada terima kasih ya Leee...." Â Simbok Kanthi menangis sesenggukan.
Sebentar kemudian keduanya keluar pasar dan berjalan berdampingan. Â Sembada membantu membawakan tikar tempat duduk pengunjung milik Simbok Kanthi. Â Pemuda itu sebelum melanjutkan perjalanannya ingin menengok rumah wanita itu.
"Rumahku sudah pindah Sembada. Â Aku tinggal di kampung sebelah. Â Rumah lama rusak, joglonya ikut terbakar. Â Aku nggak punya biaya memperbaikinya."
Sembada mengangguk-anggukkan kepala. Â Ketika senja membayang di langit mereka sampai ke sebuah rumah berdinding bambu beratap ilalang di pinggir sebuah desa.
Seorang lelaki tua keluar dari rumah kecil itu. Â Ia tersenyum melihat Simbok Kanthi pulang bersama pemuda itu.
Tidak lama Sembada di rumah Mbok Kanthi. Â Menjelang sore ia mohon pamit melanjutkan perjalanan. Â Mbok Kanthi dan kakek pemikul kayu mengantarnya sampai pintu halaman.
Dengan santai Sembada melangkahkan kakinya. Tidak ada keperluan yang mendesak untuk segera sampai ke tujuan. Jika capek ia bisa beristirahat di manapun dia kehendaki.
Saat Senja Sembada sudah masuk di sebuah hutan. Â Ia merasa sejak tadi jalannya dibuntuti orang. Â Ketika hari semakin gelap, dan perjalanannya sampai di jalan berbatu, ia melihat sosok bayangan orang di atas batu menghadang dirinya.
"Beraninya kau masuk hutan larangan,"  Terdengar suara berat dari mulut lelaki tua di atas batu itu.  Kakek  memandanginya dengan mata melotot sambil mengangkat parang untuk mengancam.
Pemuda itu segera mempersiapkan diri. Â Buntalan yang menggantung di ujung tongkat bambu penggebuk anjingnya segera ia lolos, kemudian menyerempangkan ujung-ujungnya pada pundak kanan dan pinggang kirinya, lantas mengikatkan ujungnya pada dada. Â Dengan memutar tongkat bambunya pemuda itu merasa sudah siap menghadapi parang kakek tua itu.
"Sebut ayah bundamu, sebelum nyawamu lepas di sini." Ancam kakek tua itu.