"Bella, kamu tak berubah. Masih tetap seperti dulu. Hanya tampak sedikit dewasa dan anggun. Bagaimana kabarmu?"
"Kabarku baik, dan beginilah aku. Bagaimana juga kabarmu?"
"Kabarku baik dan beginilah aku." Tom tersenyum.
"Oya, kenalkan, ini Vina," sambungnya sambil menggamit anak perempuan kecil rambut ikal tadi. Matanya bening.
Deg! Jadi? Tenggorokanku seperti tercekat. “Inikah firasatku selama ini yang mengatakan ada sesuatu tentang dirimu saat aku jauh, Tom? Vina? Anakmu? Oh, Tom, jauh-jauh aku pulang, hanya satu keinginan. Bertemu denganmu, dan melanjutkan kisah kita untuk berbagi suka selamanya. Inikah? Apakah harus berakhir?” seruku dalam hati. Aku terdiam, tak satu patah katapun keluar dari mulutku. Hingga kita berada di mobil.
"Bella, kenapa diam? Aku merindukanmu. Kamu juga merindukanku bukan? Aku melihatnya dari sorot matamu yang bening itu."
Aku hanya diam. “Tom, kamu berpura-pura, sedangkan ketika kita berada di mobil, Vina berada di pangkuanmu, sambil menyetir, tampak sangat kebapakan," seruku dalam hati.
“Bella, kita mampir ke rumahku dulu ya, aku harus mengembalikan Vina pada ibunya. Kalau tidak, dia bakalan rewel.”
Aku tak memprotesnya. Aku hanya mengangguk dengan segala rasa penuh amarah yang berkecamuk dalam dada. Tom, kamu berubah. Kamu tak setia.
“Tom, aku pulang naik taksi saja.”
“Loh, jangan, aku akan mengantarmu sampai rumah. Pasti papa mamamu juga udah bingung menunggumu.”