“Butuh payung? Aku bawa dua. Ini yang satu untukmu.” katanya sambil mengulurkan payung berwarna merah.
“Aduh, Samuel, makasih ya, kepalang basah nih, badanku sudah kuyup. Eh, tadi aku tak melihatmu di kampus? Kenapa? Kamu sakit?”
“Tidak Bella, tadi ada saudaraku yang kemari, menengokku. Ia kuliah di sini juga. Lama aku tak berjumpa dengannya, maka dengan berat hati aku absen dulu ke kampus untuk menemuinya.”
“Sayang sekali kamu nggak masuk, tadi materi yang di sampaikan Prof. Joned penting banget.”
“Yah, gimana lagi, nanti aku pinjam catatanmu saja. Pasti komplit kan? Biasanya kamu sangat rajin mencatat semua apa yang disampaikan dosen kita. Tulisanmu rapi dan runtut.”
“Baik, tapi nanti setelah aku salin ke dalam file dulu ya, ini catatannya masih amburadul, acak-acakan. Kamu, kenapa sampai sini? Bukankah tadi nggak masuk?”
“Nggak papa, kebetulan tadi lewat, siapa tahu aku bisa ketemu kamu. Aku pikir, hujan yang tiba-tiba, pasti kamu nggak bawa payung atau mantel.” katamu pelan.
Jadi, Samuel sengaja menemuiku, dengan membawakan payung khusus untukku? Aku merasa surprise sebenarnya. Sudah lama, aku tahu jika Samuel menaruh hati padaku, tapi, aku tipe orang yang setia, telah menjatuhkan pilihan pada Tom. Apa jadinya bila aku berpaling? Padahal sebenarnya aku agak sedikit meragukan kesetiaan Tom. Beberapa bulan terakhir ini, komunikasiku dengannya agak renggang. Beberapa kali terjadi miss komunikasi. Tapi mungkin itu terjadi karena kesibukan.
Tugasku yang menumpuk harus segera selesai dan juga tugas Tom sebagai leader di kantor tentu saja menuntut ekstra kerja keras. Tak lagi bisa bersantai membuai diri untuk selalu berkomunikasi setiap hari. Akhirnya, hanya tiap akhir pekan saja saling menelpon. Itupun di bulan-bulan terakhir ini saja, tak harus setiap pekan. Ada saja selalu alasan untuk tidak bisa menghubungi. Kadang-kadang karena sambungan telpon yang mendadak lelet atau karena jaringan yang ngadat. Entahlah, aku merasa semakin jauh saja, Tom.
“Taksiii… !“ teriak Samuel. Suaranya keras terdengar sangat dekat di telingaku, hingga aku terkaget. Samuel tergelak, sambil meminta maaf padaku, saat badanku terangkat karena kaget.
“Tuh, kan kamu melamun. Bella, kamu kebanyakan ngelamun deh akhir-akhir ini. Boleh kok telingaku jadi tempat curhatmu. Daripada di pendam. Ntar jadi gemuk loh...“ kata Samuel sambil tertawa lebar menggodaku.