Mohon tunggu...
Wahyu Sapta
Wahyu Sapta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Menyatulah dengan alam, bersahabatlah dengan alam, ikuti alirannya, lalu kau rasakan, bahwa dunia itu indah, tanpa ada suatu pertentangan, damai, nyaman, teratur, seperti derap irama alam berpadu, nyanyian angin, nyanyian jiwa, beiringan, dekat tapi tak pernah berselisih, seimbang, tenang, alam, angin, jiwa, mempadu nyanyian tanpa pernah sumbang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cinta, Tak Tahu Kemana Arah Tujunya

5 September 2016   12:59 Diperbarui: 29 Juni 2017   23:58 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://weheartit.com/entry/25896694

September Ceria. Nampaknya bulan September di tahun ini tak begitu kering seperti tahun-tahun sebelumnya. Tanah agak basah karena diguyur hujan semalam. Menyisakan tetes embun yang masih menempel di dedaunan. Pagi ini, setelah sarapan aku bergegas ke kampus. Aku harus mempresentasi tugas dari dosen pembimbingku, Prof. Joned, tentang beberapa materi mata kuliah. Prof. Joned terkenal disiplin dan keras dalam memberikan pembelajaran mata kuliah yang diampunya. Aku tidak mau mendapat teguran darinya. Kemarin ia bilang aku malas dan lambat menyelesaikan tugas itu. Aku tak mau mengulang.

Selama dua jam, aku berhasil menyelesaikan presentasi dengan lancar. Tak banyak kritikan yang dilemparkan Prof. Joned. Hanya beberapa yang harus aku perbaiki dan harus di tulis ulang. Selebihnya beliau menyetujuinya. Akhirnya aku bisa tersenyum puas.

“Bella, bila kamu mau sedikit bersabar, aku rasa kamu bisa melebihi yang lain. Kamu sudah memiliki dasar yang kuat. Ayolah, tetap bersemangat.” kata Prof. Joned di luar ruangan setelah selesai presentasi tadi. Aku agak tersanjung.

“Baik, Prof, akan aku ingat seluruh materi yang pernah Prof berikan pada saya. Saya akan mempelajarinya,” kataku sambil menundukkan kepala tanda hormat.

Ternyata, saat keluar ruangan, seseorang telah menungguku. Samuel. Teman satu kelas, yang berasal dari kota yang sama denganku. Samuel, beberapa kali melakukan pendekatan padaku. Tapi aku selalu menolaknya secara halus. Ia menghormati keputusanku, dan sekarang kami bersahabat. Selain karena kami teman kota, juga karena sering mendapat tugas bersama satu kelompok.

“Selamat  Bella, kamu berhasil menaklukkan Prof. Joned. Jarang sekali mahasiswa yang hanya dengan satu kali pertemuan mendapat acc dari beliau. Bahkan aku harus tiga kali, baru mendapat acc.” kata Samuel sedikit iri.

“Terimakasih Samuel. Tak sia-sia tadi malam aku belajar sampai hampir tengah malam untuk mempersiapkan ini. Prof. Joned sedang baik padaku hari ini.”

“Kamu sudah laper? Kita ke kantin yuk.”

“Ayuk, aku traktir kamu ya.”

Samuel tersenyum. Pandangan matanya sedikit terjengah saat aku memandangnya. Pipinya agak memerah. Dengan raut wajahnya yang putih, semakin menonjolkan rona merah itu. Sebenarnya aku agak kikuk bila berjalan dengannya. Kulitnya yang putih, serasa kontras dengan kulitku yang sawo matang.

Sebenarnya Samuel laki-laki yang baik, care terhadapku. Dialah yang sehari-hari mendorongku dan selalu memberikan semangat padaku di sini, saat aku berada jauh dari orang-orang yang aku cintai. Termasuk jauh dari Tom. Ah, Tom. Aku teringat padanya. Tom sedang apakah kamu? Berubahkah dirimu?

“Bella, kamu mau makan apa?” kata Samuel saat tiba di kantin. Aku agak kaget, karena aku tadi berada dalam lamunan.

“Oh, maaf, terserah kamu saja Samuel, aku memilih makanan yang sama denganmu.”

“Hayoo, kamu ngelamun ya, sedang melamunkan yang di sana, kan? Siapa sih namanya, kalau aku boleh tahu...?”

Kali ini gantian aku yang memerah pipinya. Samuel memang belum tahu, bahwa aku telah memiliki kekasih, bernama Tom. Yang ia tahu, aku masih lajang dan belum memiliki cincin yang melingkar di jari manisku.

“Yee, Samuel pengin tahu aja.. ,” sahutku sambil tersenyum.

“Berharap, Bella, barangkali masih ada kesempatan hatimu membuka untukku.”

Aku terdiam. “Samuel, aku telah memiliki kekasih yang telah menungguku. Aku tipe orang yang setia,Samuel,” kataku dalam hati. Dan ia pasti tak pernah mendengarnya.

“Samuel, kamu sudah menentukan pengin makan apa?” kataku mengalihkan perhatiannya. Aku tak mau menyakiti siapapun. Termasuk Samuel. Lalu aku memanggil pramusaji.

***

Sore Yang Basah. Suatu sore sepulang dari kampus, ternyata hujan di luar. Tanpa persiapan mantel atau payung, aku berusaha melintasi hujan. Hampir petang dan aku takut jika kemalaman sampai rumah, apalagi sendirian. Sebelum petang menghampiri, maka aku harus tiba di apartemen. Tadi pagi sewaktu aku berangkat, cuaca cerah dan panas. Tidak mendung dan hujan seperti saat ini. Selama di dalam kampus, aku tak sempat menengok keluar, tahunya hujan dan jalanan jadi basah. Akhir-akhir ini memang cuaca tidak bisa diprediksi. Sebentar panas, kemudian mendung dan hujan.

Aku berlari sambil melindungi tas rangsel bawaanku dengan tubuhku. Dengan jurus melipir, aku berteduh, dari satu bangunan ke bangunan lainnya hingga sampai jalan besar dan mencari taksi. Saat aku menunggu taksi, sesorang mendekatiku. Samuel!

“Butuh payung? Aku bawa dua. Ini yang satu untukmu.” katanya sambil mengulurkan payung berwarna merah.

“Aduh, Samuel, makasih ya, kepalang basah nih, badanku sudah kuyup. Eh, tadi aku tak melihatmu di kampus? Kenapa? Kamu sakit?”

“Tidak Bella, tadi ada saudaraku yang kemari, menengokku. Ia kuliah di sini juga. Lama aku tak berjumpa dengannya, maka dengan berat hati aku absen dulu ke kampus untuk menemuinya.”

“Sayang sekali kamu nggak masuk, tadi materi yang di sampaikan Prof. Joned penting banget.”

“Yah, gimana lagi, nanti aku pinjam catatanmu saja. Pasti komplit kan? Biasanya kamu sangat rajin mencatat semua apa yang disampaikan dosen kita. Tulisanmu rapi dan runtut.”

“Baik, tapi nanti setelah aku salin ke dalam file dulu ya, ini catatannya masih amburadul, acak-acakan. Kamu, kenapa sampai sini?  Bukankah tadi nggak masuk?”

“Nggak papa, kebetulan tadi lewat, siapa tahu aku bisa ketemu kamu. Aku pikir, hujan yang tiba-tiba, pasti kamu nggak bawa payung atau mantel.” katamu pelan.

Jadi, Samuel sengaja menemuiku, dengan membawakan payung khusus untukku? Aku merasa surprise sebenarnya. Sudah lama, aku tahu jika Samuel menaruh hati padaku, tapi, aku tipe orang yang setia, telah menjatuhkan pilihan pada Tom. Apa jadinya bila aku berpaling? Padahal sebenarnya aku agak sedikit meragukan kesetiaan Tom. Beberapa bulan terakhir ini, komunikasiku dengannya agak renggang. Beberapa kali terjadi miss komunikasi. Tapi mungkin itu terjadi karena kesibukan.

Tugasku yang menumpuk harus segera selesai dan juga tugas Tom sebagai leader di kantor tentu saja menuntut ekstra kerja keras. Tak lagi bisa bersantai membuai diri untuk selalu berkomunikasi setiap hari. Akhirnya, hanya tiap akhir pekan saja saling menelpon. Itupun di bulan-bulan terakhir ini saja, tak harus setiap pekan. Ada saja selalu alasan untuk tidak bisa menghubungi. Kadang-kadang karena sambungan telpon yang mendadak lelet atau karena jaringan yang ngadat. Entahlah, aku merasa semakin jauh saja, Tom.

“Taksiii… !“ teriak  Samuel. Suaranya keras terdengar sangat dekat di telingaku, hingga aku terkaget. Samuel tergelak, sambil meminta maaf padaku, saat badanku terangkat karena kaget.

“Tuh, kan kamu melamun. Bella, kamu kebanyakan ngelamun deh akhir-akhir ini. Boleh kok telingaku jadi tempat curhatmu. Daripada di pendam. Ntar jadi gemuk loh...“ kata Samuel sambil tertawa lebar menggodaku.

“Eh, apa hubungan curahan hati sama badan gemuk?”

“Nah, iya kan, kalau kamu nggak cerita ke aku, kan makanmu jadi banyak, lalu jadi gemuk. Hayoo.. Bener kan?”

Aku tergelak lebar. Samuel mencoba menghiburku dengan leluconnya. Itulah yang aku suka dari Samuel. Selalu ceria, meski kadang aku manyun dan cemberut saat menghadapinya.

“Bella, aku ikut taksimu, aku ingin berkunjung ke apartemenmu. Boleh kan? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Sebentar saja.” Aku mengangguk dan menjawab boleh. Tak enak menolak Samuel, yang selama ini baik padaku. Apalagi nanti malam tugasku tak banyak, jadi agak longgar.  

Sudah bisa di tebak kan, Samuel akan berbicara apa denganku. Jangan-jangan ia akan mengungkapkan isi hatinya. Tapi aku berusaha tenang. Samuel selama ini baik padaku. Pasti akan mengerti.

Selama di dalam taksi aku dan Samuel tak banyak bicara. Sopir taksi yang sedari tadi, banyak bicara, dari A sampai Z. Aku dan Samuel hanya sebagai pendengar. Apartemenku telah nampak di depan. Aku dan Samuel turun.

***

Aku Pulang. Burung besi ini telah membawaku kembali, dengan seonggok rindu yang mengumpul di dada. Aku membayangkan dia dengan sepenuh jiwa. Selama ini, kesibukan telah menenggelamkanku. Bahkan bayangannya sempat tersapu oleh sibuknya diriku. Kadang-kadang saja, aku menyempatkan diri menelpon di sela-sela kesibukanku. Kemudian ketika kesibukanku mulai merenggut bayangnya dari sisiku, semua itu tak lagi bisa memaksaku untuk selalu memikirkannya. Tapi sebenarnya dalam hatiku yang paling dalam, mengatakan bahwa aku akan tetap menepati janji.

Aku membayangkan senyum itu, menggelegak dalam dadaku, rasa rindu demikian menyesakkan. Tom, aku berusaha menepati janji, kembali padamu. Empat tahun lamanya, pasti tak akan merubah apapun. Dan ketika aku menelponmu kemarin, kamu menyambutku dengan suka cita dan berjanji akan menjemputku jauh sebelum aku tiba di sini, agar aku tak terlalu lama menunggu.

"Tom, aku kembali," bisikku. "Sayapku tak lagi terbang dan akan kembali padamu sesuai janjiku."

"Terimakasih, kamu telah kembali." bisiknya lembut, saat bertemu di ruang penjemputan Bandara. Tapi ada satu tatap mata tajam mengamatiku dari balik diri Tom, memegang erat bajunya. Sorot mata tajam, seorang anak kecil perempuan dengan rambut ikal, berusia sekitar tiga tahun. Cantik. Tampak mencurigaiku.

"Bella, kamu tak berubah. Masih tetap seperti dulu. Hanya tampak sedikit dewasa dan anggun. Bagaimana kabarmu?"

"Kabarku baik, dan beginilah aku. Bagaimana juga kabarmu?"

"Kabarku baik dan beginilah aku." Tom tersenyum.

"Oya, kenalkan, ini Vina," sambungnya sambil menggamit anak perempuan kecil rambut ikal tadi. Matanya bening.

Deg! Jadi? Tenggorokanku seperti tercekat. “Inikah firasatku selama ini yang mengatakan ada sesuatu tentang dirimu saat aku jauh, Tom? Vina? Anakmu? Oh, Tom, jauh-jauh aku pulang, hanya satu keinginan. Bertemu denganmu, dan melanjutkan kisah kita untuk berbagi suka selamanya. Inikah? Apakah harus berakhir?” seruku dalam hati. Aku terdiam, tak satu patah katapun keluar dari mulutku. Hingga kita berada di mobil.

"Bella, kenapa diam? Aku merindukanmu. Kamu juga merindukanku bukan? Aku melihatnya dari sorot matamu yang bening itu."

Aku hanya diam. “Tom, kamu berpura-pura, sedangkan ketika kita berada di mobil, Vina berada di pangkuanmu, sambil menyetir, tampak sangat kebapakan," seruku dalam hati.

“Bella, kita mampir ke rumahku dulu ya, aku harus mengembalikan Vina pada ibunya. Kalau tidak, dia bakalan rewel.”

Aku tak memprotesnya. Aku hanya mengangguk dengan segala rasa penuh amarah yang berkecamuk dalam dada. Tom, kamu berubah. Kamu tak setia.

“Tom, aku pulang naik taksi saja.”

“Loh, jangan, aku akan mengantarmu sampai rumah. Pasti papa mamamu juga udah bingung menunggumu.”

Tom menahanku agar tetap berada di mobil, sementara Vina telah berada dalam pelukan ibunya, ketika mampir sebentar dari rumah Tom. “Tom, aku tak kuat melihatmu terlihat sayang pada Vina. Dia anakmu kan? Ternyata selama aku meninggalkanmu, ada cerita yang tak terkatakan olehmu. Mengapa, Tom?” seruku dalam hati. Air mataku menitik pelan. Aku tak mampu menahannya.

“Bella, kamu menangis? Kamu sedih? Aduh Bella, kenapa?”

Baiklah, aku sudah tak tahan. Aku akan bertanya.

“Tom, katakan padaku, siapa Vina? Siapa ibunya, yang telah mampu mengambilmu dari aku? Katakan Tom, aku siap mendengarnya,” kataku serak.

“Baik, baik, akan aku ceritakan. Tapi tolong, hapus airmatamu, Bell, aku tak mampu melihatnya.” Tom memelukku.

Kemudian satu persatu kata keluar dari mulut Tom. Semua apa yang dialaminya selama ini, selama ia berada jauh dariku.

“Vina anak mas Ardi. Aku yang mengasuhnya. Karena mas Ardi sudah berpulang enam bulan lalu. Maaf jika aku tak memberitahukanmu sebelumnya. Dan mbak Virni menetap di rumah kami. Tentu saja bersama Vina. Mama tak tega melihat mbak Virni, akhirnya memintaku untuk menikahinya. Aku dilema Bell. Satu sisi aku sangat mencintaimu. Satu sisi aku bingung tentang tugas mama.”

“Lalu?”

“Aku belum menentukan sikap, aku...” Tom tak meneruskan perkataannya.

“Jadi kalian belum menikah?”

“Aku menunggu kamu pulang, aku ingin memberitahukanmu terlebih dahulu. Aku ingin meminta ijin. Jika kau tak bersedia, tentu saja, aku akan lebih memilihmu.”

Bagai disambar petir di siang bolong, aku harus memberikan pilihan. Apakah aku harus mempertahankan Tom? Sementara ia sendiri bimbang, antara aku atau Virni. Aku tak mampu berkata lagi. Butuh waktu untuk menentukan sikap. Tak harus sekarang. Aku terlalu mencintai Tom.

***

Cinta Tepat Sasaran? Sungguh tak adil, jika Samuel tak mendapatkan ruang di hatiku. Sebentar lagi aku akan menikah dengan Samuel. Betapa senang hatiku.

Sedang Tom telah berbahagia dengan Virni. Juga Vina cantik berambut ikal yang bening matanya.

Cinta yang tak tahu ke mana arah tujunya, akan tetapi, tetap menuju ke tempat yang tepat sasaran. Seperti cinta Samuel. Tetap mengarah kepadaku, meski ia tahu, cintaku tak melulu padanya. Dan tepat sasaran? Ya, karena aku berbalik arah dan menangkap cintanya. Panahnya telah menuju ke hatiku, menggantikan panah cinta Tom, yang lebih diperlukan oleh seseorang lain, bernama Virni.

(^_^)

Semarang, 5 September 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun