Sebuah kisah anak SMA yang mengharapkan kehidupan anak SMA yang bahagia seperi pada umumnya. Masa SMA, orang bilang adalah masa paling indah dalam hidup ini. Masa dimana kita adalah remaja yang sedang senang – senangnya dengan kisah persahabatan atau bahkan kisah percintaan indah yang baru dimulai. Masa yang penuh cerita yang akan dikenang setelah lulus nanti. Saat – saat yang dinantikan dan berat untuk ditinggalkan oleh kebanyakan orang. Mereka yang sangat menikmati dan merasakan indahnya masa SMA pasti merasa sedih saat kelulusan tiba, karena itu artinya mereka akan berpisah dengan teman-teman yang telah memberi warna dihidupnya dan mulai memasuki dunia baru, yaitu dunia perkuliahan. Saat itulah masa SMA akhirnya menjadi sebuah kenangan.
Namun, indahnya masa SMA itu tidak dirasakan oleh seorang remaja perempuan ini. Namanya Nara. Nara Gita Wijaya lengkapnya. Nama yang indah, tapi tidak seindah kehidupan masa SMA nya. Seperti remaja lainnya, dia juga menantikan indahnya masa SMA. Tapi nyatanya, semua itu tidak Nara rasakan. Masa SMA kelabu yang ia rasakan yang entah kapan keindahan yang semestinya akan datang.
Sudah satu semester Nara menjadi siswa kelas XI di SMA Grahita Nusantara. Waktu berlalu sangat cepat. Rasanya baru kemarin ia menjadi anak SMP yang masih manja. Sekarang ia sudah menjadi anak SMA yang harus mulai bisa mandiri. Setiap hari Nara berangkat sendiri ke sekolah naik sepeda karena jaraknya yang dekat dari rumah. Selain karena jaraknya yang dekat ia juga tidak mau menambah beban bagi orang tuanya. Nara memang anak yang tidak mau menyusahkan orang lain.
“ Nara berangkat ya bun, yah.” Ia berpamitan pada kedua orang tuanya.
“ Iya, nak. Hati-hati di jalan” jawab ayahnya.
Hanya 10 menit Nara akhirnya tiba di sekolahnya. Ia terlihat sangat semangat seperti biasanya. Dengan tas cukup berat yang digendongnya, ia berjalan menuju kelasnya. Nara selalu bersemangat sekolah. Dia ingin sekali menjadi orang sukses yang bisa mengangkat kehidupan keluarganya jadi lebih baik. Nara dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Ya, keluarga Nara bukanlah keluarga yang kaya raya, ayah Nara bernama Joni, seorang pengusaha, tetapi sekarang usahanya sedang tidak berjalan baik, sehingga memaksa mereka untuk harus bisa hidup hemat. Ibu Nara bernama Sarah, tidak bekerja karena sakit yang diderita membuatnya tidak boleh kecapekan. Nara bukan anak tunggal. Ia mempunyai kakak yang bernama Mahesa Dharma Wijaya, seorang mahasiswa jurusan manajemen disalah satu kampus ternama.
Setibanya di kelas, semua temannya sudah bergerombol untuk belajar bersama karena hari ini ada tiga ulangan yang memusingkan.
“Ra, udah hafal semua materi ulangan hari ini?” tanya Aurel..
“Baru dikit aku hafalnya hehehe”
“Kamu mah gitu Ra, merendah untuk meroket. Dasar psytrap.”
“Apaan, orang jujur gini dibilang psytrap.”
Aurel adalah teman sebangku Nara, tidak seharipun Nara dan Aurel tidak berdebat. Pasti ada saja yang membuat mereka berdebat tidak jelas. Selain Aurel, Nara punya tiga teman dekat, namanya Hana, Raisa, Adel. Mereka berlima teman yang sangat dekat. Persahabatan mereka membuat iri banyak orang.
Bel pulang sekolah berbunyi tanda berakhirnya pelajaran hari ini. Rasanya lelah sekali hari ini. Ulangan berturut-turut juga tugas yang banyak. Semua siswa merasakan lelahnya sekolah hari ini. Nara bergegas menuju parkiran bersama keempat sahabatnya. Mereka mengajak Nara untuk sekadar makan sebentar di tempat makan didekat sekolahnya. Banyak anak SMA yang datang ke sana karena memang tempatnya yang asik bagi anak-anak SMA. Tetapi, Nara menolaknya. Ia tidak bisa ikut dengan teman-temannya.
"Ra, makan di warung sebelah yuk." Ajak Hana.
"Sorry aku ngga bisa, aku harus pulang sekarang. Capek juga wkwkw." Jawab Nara.
"Yah Nara ngga asik."
"Iyanih Nara ngga asik deh."
Sahut teman-temannya.
"Lain kali aja , yaudah aku duluan ya, byee." Pamit Nara
"Hati-hati, Ra".
Saat perjalanan pikiran Nara kemana-mana. Ingin rasanya Nara ikut teman-temannya. Tapi apadaya ia harus berhemat. Ia tidak mau menyusahkan orang tuanya lagi dengan terus meminta uang. Lagi pula lebih baik waktunya digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat daripada hanya sekadar nongkrong. Memang kita juga perlu main agar pikiran kita tidak jenuh karena kegiatan sekolah yang semakin melelahkan. Tapi bagi Nara itu sudah ada waktunya. Kapan ia harus main dan kapan ia harus fokus belajar. Mungkin teman-teman Nara yang melihat kehidupan Nara itu membosankan dan terlalu tegang. Tapi, ya memang itu adanya. Nara juga merasakan itu sebenarnya. Ia kerap merasa jenuh. Tapi Nara sudah biasa. Jadi tidak masalah baginya.
Sesampainya di rumah Nara langsung mandi agar capeknya tidak terlalu terasa. Setelah itu ia makan. Kemudian ia membaca novel kesukaannya. Novel tentang cerita masa remaja yang menyenangkan. Disela-sela ia membaca novel terlintas dipikirannya "Apakah masa SMA ku akan begini-begini saja? Penuh kejenuhan dan tekanan."
Rintik hujan dan udara yang dingin membuat perasaan Nara semakin galau tidak karuan. Tanpa sadar Nara melamun. Sampai akhirnya bundanya datang dan membuat Nara tersadar dari lamunannya.
"Nara kamu ngapain? Jangan ngelamun gitu ngga baik"
"Eh bunda, Nara ngga ngelamun, bun."
"Kamu lagi mikiran apa? "
"Nara ngga mikirin apa-apa kok bun." Nara menjawab sambil tertawa kecil.
"Yaudah masuk kedalam aja udah mau maghrib juga."
"Iya, bun."
Nara memang suka menyimpan perasaannya. Ia tidak mau ada orang lain tahu tentang masalahnya. Menurutnya untuk apa menceritakan masalah kita ke orang lain. Mereka juga punya masalah sendiri yang harus diatasi. Lagipula belum tentu mereka menanggapi masalah yang kita ceritakan. Jadi lebih baik menyimpannya sendiri. Seperti biasa setelah sholat maghrib ia mengaji lalu makan. Ia belajar setelah isya hingga larut malam. Ia yang tidur paling akhir diantara ayah, bunda, dan kakaknya. Tidak heran jika mata Nara seperti mata panda. Tugas sekolah yang begitu banyak membuatnya harus begadang setiap malam. Sesekali Nara video call dengan sahabatnya. Tidak berbeda jika di sekolah, saat video call pun mereka sangat cerewet. Ada saja yang mereka jadikan bahan candaan. Nara bersyukur memiliki sahabat seperti mereka. Setidaknya Nara bisa mengalihkan pikirannya ke hal yang membuatnya lupa sejenak tekanan hidupnya. Sebenarnya Nara termasuk anak yang ceria, aktif, juga cerewet seperti teman-temannya. Tapi tidak ketika Nara sedang sendiri. Ia merasa murung. Sangat berbeda ketika ia sedang bersama teman-temannya.
Pagi itu cerah sekali. Nara menikmati udara pagi itu. Ia sangat bersyukur masih diberi kesempatan melihat indahnya pagi ini. Seperti biasa, sesampainya di kelas keempat sahabatnya itu sudah tiba dan menyambut Nara dengan hot news yang baru mereka dapat. Entah darimana mereka bisa mendapat hot news pagi-pagi seperti ini. Nara tidak seupdate mereka. Ia tahu jika temannya memberi tahu. Rasanya Nara tidak sempat untuk selalu update seperti mereka.
"Eh kak Dimas jadian sama kak Tata, harapan pupuss." Kata Aurel.
"Syukur deh kalo jadiaannya sama kak Tata. Daripada sama kamu Rel wkwlwk."
"Ini beneran pupus sudahhh."
"Gapapa Rel, kan masih ada Bima yang ngejar-ngejar dari dulu."
"Jangan biarin harapan Bima pupus juga Rel ahahaha."
Semuanya tertawa melihat Aurel yang kesal.
Tak lama kemudian Pak Ali guru seni musik datang. Semua langsung duduk ditempatnya masing-masing. Hari ini adalah praktek bernyanyi. Setiap siswa harus maju satu persatu untuk menyanyikan lagu daerah. Ditengah pelajaran berlangsung Nara izin ke kamar mandi karena ia sudah tidak bisa lagi menahan ingin buang air kecil. Setelah kembali dari kamar mandi Nara dikerjain teman-temannya. Mereka bilang kalau ini giliran Nara maju bernyanyi. Nara percaya begitu saja. Kemudian Nara maju ke depan dan bernyanyi. Ia langsung bernyanyi tanpa diberi aba-aba Pak Ali karena Pak Ali sibuk memberi nilai. Tak lama bernyanyi Pak Ali menghentikannya dan mengatakan kalau ini belum giliran Nara maju. Lalu Nara disuruh kembali duduk. Seisi kelas menertawakan Nara. Nara sangat malu dan ingin membalas temannya yang mengerjainya. Terutama Aurel.
Setelah pelajaran seni musik selesai, teman-teman Nara masih saja mengejeknya. Terutama teman sebangku Nara sendiri. Memalukan sekali. Tapi Nara tidak sedikitpun marah pada mereka. Nara menganggapnya hanya untuk seru-seruan di kelas.
Hari ini berjalan sangat cepat. Bel pulang sekolah berbunyi. Seperti biasa Nara langsung bergegas pulang. Sesampainya di rumah ternyata kedua orang tua Nara sedang beradu bicara. Nara pulang pun mereka sampai tidak menghiraukannya. Memang kedua orang tua Nara sering beradu bicara seperti ini. Mereka seperti ini karena usaha keluarga mereka yang semakin lama semakin buruk. Hati Nara terasa sesak melihat kedua orang tuanya seperti itu. Nara tidak tahan lagi mendengar perdebatan mereka. Nara lebih memilih di kamar dan mengunci pintu kamar. Ia selalu menangis ketika orang tuanya berdebat seperti ini. Ingin rasanya Nara segera lulus SMA, kemudian lulus kuliah agar bisa bekerja agar keadaan keluarga Nara tidak kacau seperti ini. Kebutuhan keluarga mereka yang semakin banyak. Biaya kuliah kak Hesa yang banyak. Begitupun dengan Nara. Ia ingin kuliah kedokteran.
Nara memang bercita-cita menjadi dokter. Sebenarnya itu bukan cita-cita Nara dari kecil. Ketika masih kecil Nara bercita-cita menjadi seorang polwan karena menurutnya polwan itu keren. Tapi, impiannya berubah ketika neneknya meninggal karena penyakit jantung yang dideritanya empat tahun yang lalu. Sejak saat itu Nara berkeinginan menjadi dokter. Nara ingin menjadi dokter spesialis jantung. Alasanya karena ia ingin menyembuhkan orang-orang yang terkena penyakit jantung. Tidak hanya itu, Nara juga ingin bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang masalah penyakit jantung, dan cara mencegah agar tidak terkena penyakit jantung. Dengan itu ia berharap agar penderita penyakit jantung bisa berkurang dan tidak berakhir sama dengan neneknya. Semulia itu cita-cita Nara.
Tapi sayangnya tidak semudah itu Nara bisa mewujudkan impiannya itu. Apalagi keadaan keluarga Nara yang sedang tidak baik ini. Pernah Nara membicarakan keinginannya itu kepada ayahnya tapi ayahnya tidak setuju karena biayanya yang besar. Tapi Nara tidak patah semangat, ia akan mencari cara untuk mewujudkan mimpinya itu.
Perdebatan orang tua Nara sudah selesai. Kini keduanya saling diam tak mau bicara. "Suasana rumah macam apa ini." Nara membuang napas kesal. Ia sangat benci suasana seperti ini. Ingin rasanya Nara pergi dari rumah ini. Daripada melihat suasana yang sama sekali tidak menyenangkan ini, Nara memilih di kamar dan belajar. Tekadnya semakin kuat untuk membuat keluarganya tidak merasakan kesusahan seperti saat ini terus menerus. Nara belajar hingga ketiduran.
Keesokan hari nya Nara bangun kesiangan. Ia terburu-buru sekali. Pikirannya kacau. Ia tidak bisa merasakan cerahnya pagi ini. Nara sampai di sekolah tepat kurang lima menit gerbang sekolah ditutup. Sesampainya di kelas teman-temannya langsung menanyainya.
"Tumben Ra dateng jam segini?" Tanya Hana
"Iya nih aku kesiangan gara-gara begadang semalem wkwkw"
"Makanya belajarnya jangan terlalu diforsir Ra."
"Engga juga, kan emang tiap hari pr kita banyak."
"Iya juga sih. Tapi aku ngga pernah sampe begadang gitu deh Ra."
"Yaiyalah, kamu aja ngerjain pr di sekolah, makanya kalo dateng pagi-pagi buta." Sahut Adel.
"Bener juga sih. Tapi kan kalo aku di rumah ngerjain pr segitu banyaknya aku gabisa istirahat. Terus nanti aku bisa kecapekan. Terus nanti aku sakit. Terus nanti aku harus dirawat di rumah sakit. Terus berarti nanti aku gabisa masuk sekolah. Terus gabisa ngerjain tugas-tugas. Terus akhirnya tugasnya numpuk. Terus aku pulang dari rumah sakit ngerjain tugas banyak banget lagi. Terus gabisa istirahat lagi. Terus aku--"
"Terus apalagi?!?!" Potong Aurel.
"Kalo ngeles aja pinter banget. Giliran suruh ngarang malah plagiat. Dasar baby" sahut Raisa .
Hana memang anak yang manja. Maklum dia adalah anak tunggal. Dan orang tuanya terlalu memanjakannya. Dia juga yang paling rempong diantara mereka semua. Makanya teman-temannya memanggilnya baby.
Setelah itu pelajaran pertama dimulai. Pelajaran demi pelajaran berganti. Waktu terasa cepat. Saatnya pulang sekolah telah tiba. Wajah-wajah penat siswa berubah jadi senang. Rasa penat itu seketika hilang ketika bel tanda pulang sekolah berbunyi. Nara berpisah dengan teman-temannya, karena ada yang buru-buru dan ada yang dijemput. Ketika hendak menuju parkiran tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Nara segera berlari untuk berteduh. Ia berteduh didepan salah satu kelas didekat parkiran sendirian. Membosankan sekali rasanya. Apalagi dia tidak suka dengan hujan. Entah mengapa ia tidak suka dengan hujan. Lebih baik ia kepanasan daripada kehujanan. Dari kejauhan ada seorang siswa yang berjalan menuju tempat Nara berada. Sepertinya ia mencari tempat berteduh yang dekat dengan parkiran agar jika hujannya reda ia bisa langsung mengambil motornya dan pulang. Orang itu semakin dekat. Dan ternyata dia teman sekelas Nara. Tantra Perwira Negara.
"Eh Nara, tumben belom pulang?" Tanya Tantra.
"Iya nih, tadi lama ngantre di toilet terus pas udah selesai mau pulang malah tiba-tiba hujan." Jawab Nara.
"Kasian banget Ra wkwkw. Ngga bawa mantol emang?"
"Engga hehehe. Kelupaan. Oiya kok jalannya agak susah gitu? Sakit kakinya?"
"Iya habis jatuh sama temen kemaren."
"Kok bisa?" Nara penasaran.
"Gara-gara tikungan terus jadi jatuh gitu deh hahaha"
"Makanya jangan suka nikung hahaha."
"Ahahaha bisa aja kamu Ra."
"Orang tua kamu pasti khawatir ya."
"Engga juga. Mereka cuma nanya kenapa bisa jatuh."
"Terus?"
"Yaudah cuma gitu. Kan ngga parah juga. Aku pernah lebih parah dari ini Ra waktu karate."
"Emang gimana?"
"Pas karate terus tanganku patah."
"Terus? Orang tua kamu langsung panik banget gitu?"
"Engga juga, langsung dibawa ke rumah sakit. Aku dari kecil dididik mandiri,disiplin sama mereka. Jadi ya kayak udah tahan banting aja."
"Habis itu juga masih karate?"
"Yaiyalah masak cuma gara-gara itu berhenti, payah hahaha."
"Ya tapi kannnnn"
"Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang,
hidupnya ialah buat berjuang,
kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah,
dia tak boleh surut palang,
meskipun bagaimana besar gelombang,
biarkan kemudi patah, biarkan layar robek,
itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang.
Itu prinsipku. Kutipan dari Buya Hamka dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck."
Nara terdiam mendengar ucapan Tantra. Tantra termasuk anak yang jail di kelas. Dia juga termasuk orang yang tertutup. Makanya Nara masih tidak percaya Tantra bisa bercerita dengannya.
"Tapi juga harus tetep hati-hati kan?"
"Pasti." Jawab Tantra.
"Eh hujannya udah reda, aku duluan ya." Pamit Nara.
"Oke Ra, hati-hati ya."
"Siap."
Diperjalanan Nara masih tidak menyangka. Orang sejail Tantra ternyata bisa serius juga. Bahkan punya prinsip hidup yang keren. Entah mengapa suasana hati Nara berubah jadi senang.
****
Hari ini adalah hari libur. Akhirnya Nara bisa beristirahat sejenak dari tugas yang tiada hentinya. Nara menghabiskan hari liburnya dengan membaca novel. Butuh waktu yang lama untuk Nara bisa menyelesaikan membaca novel, karena ia sudah merasa cukup membaca buku pelajaran setiap harinya. Jadi tidak ada waktu untuk membaca novel.
Keesokannya di kelas, seperti biasanya Nara dan teman-temannya selalu bercerita dan membahas apa saja yang mereka baru ketahui.
"Eh Ra, kemaren Raka ngechat aku minta id line kamu." Kata Aurel.
"Raka kelas sebelah? Yang ganteng itu?!?!?!?!" Raisa terkejut.
"Iya. Boleh ngga nih Ra?"
"Buat apa sih Rel dia minta?"
"Gatau, katanya pengen deket gitu sama kamu."
"Kalo alesannya cuma pengen deket dan engga ada hal yang lebih penting jangan dikasih Rel." Kata Nara.
"Loh kenapa Ra? Nggapapa kali Ra."
"Gausah aja daripada nanti chatnya ngga pernah aku bales malah kasian wkwkk."
"Jahat kamu Ra."
"Biarin. Pokoknya jangan dikasih. Titik."
"Yaudah."
Nara sedang tidak ingin memikirkan soal cinta. Alasannya sangat klasik. Ia ingin fokus belajar untuk meraih cita-citanya. Nara tidak peduli temannya mengatakan dia sok atau apapun itu, karena dia memang ingin benar-benar fokus. Nara ingin memperbaiki nasib keluarganya agar bisa jauh lebih baik dari sekarang, juga agar keluarganya tidak dipandang sebelah mata oleh keluarga besarnya. Selama ini keluarga besar Nara memang memandang sebelah mata keluarga Nara. Bagaimana tidak, keluarga besar Nara kebanyakan pengusaha sukses. Mereka selalu meremehkan keluarga Nara yang bisnisnya sedang tidak berjalan baik. Bahkan ketika keluarga Nara sangat membutuhkan uang, tidak satupun yang mau meminjami karena takut keluarga Nara tidak bisa mengembalikannya. Itu sangat membuat Nara dan keluarganya sakit hati dan sampai akhirnya Nara menanamkan dalam hatinya kalau ia harus sukses.
Nara ingin keluarganya tidak dipandang sebelah mata lagi, juga agar dimasa tua orang tua Nara nanti, mereka bisa menikmatinya dengan kebahagiaan. Tidak lagi bekerja keras untuk Nara dan kakaknya. Saat ini keadaan keluarga Nara semakin tidak baik. Orang tuanya sering bertengkar karena hal sepele. Mungkin pikiran mereka juga lelah berpikir dan bekerja terlalu keras demi keluarga. Nara sering menangis di kamar. Ia tidak tahu lagi kenapa keadaan keluarganya bisa seburuk ini. Tapi ini jadi pemompa semangat Nara untuk terus semangat Nara ingin membuat mereka bangga. Nara yakin kehidupan berat yang dihadapi Nara sekarang membuatnya menjadi orang lebih kuat kelak dimasa yang akan datang.
Bukannya Nara tidak bisa merasakan cinta. Ia hanya tidak mau cinta itu tumbuh diwaktu yang belum dirasanya tepat. Nara merasa belum saatnya untuk menanggapi perasaannya. Memang itu tidak mudah. Nara harus menyimpan perasaanya, tidak mengungkapkan, bahkan ia harus berusaha menghilangkan perasaannya. Itu ia lakukan agar tidak mengganggu fokusnya. Disaat orang lain merasa sedih,susah karena masalah percintaan, tidak bagi Nara. Nara merasa hidupnya tidak bahagia karena tekanan hidupnya. Itu sudah cukup bagi Nara. Ia tidak mau menambah masalah dihidupnya dengan persoalan cinta monyet yang menurutnya hanya akan sia-sia.
Hari ini kelas Nara diberi tugas biologi karena gurunya berhalangan hadir. Mereka disuruh ke perpustakaan untuk membaca buku biologi setelah itu minggu depan mereka harus menjelaskan apa yang telah dibaca. Setelah menemukan bukunya, Nara dan teman-temannya kemudian mencari tempat duduk. Hanya tersisa satu barisan tempat duduk disebelah Tantra. Nara duduk disebelah Tantra karena teman-temannya sudah menduduki kursi yang lain. Hening suasana perpus. Mereka fokus membaca buku masing-masing.
“Kok kamu niat banget gitu sih, Ra? Sampe dibaca detail gitu.”Tantra memecah keheningan diantara mereka.
“Ya mau gimana lagi orang tugas. Mau ngga dapet nilai?”
“Ya engga lah, nanti jadi jelek dong rapornya.”
“Makanya. Btw cita-citamu jadi apa sih?” Nara menanyakannya karena ingin tahu orang seperti Tantra yang terlihat selalu santai memliki cita-cita seperti apa.
“Jadi pilot.” Jawab Tantra.
“Wuihh kerennnn, kenapa pilot?” Nara tidak menyangka cita-cita Tantra ternyata menjadi pilot.
“Orang tua ku udah nyiapin aku buat jadi pilot.”
“Berarti itu keinginan orang tua kamu?”
“Ya engga juga, emang udah cita-cita dari kecil, aku pengen jadi pilot, biar bisa keliling dunia ahahaha.”
“Dasar.”
“Kalo kamu sendiri, cita-citamu jadi apa?”
“Jadi dokter.”
“Kerenn. Pilot sama dokter cocok kan ya ahahaha”
“Hahh cocok apanya?”
“Yaa cocok aja.”
“Terserah kamu aja deh.” Nara menjawabnya dengan tertawa kecil.
Kemudian mereka kembali meneruskan tugasnya. Hingga bel pulang sekolah berbunyi. Semua siswa bersiap-siap untuk pulang. Sesampainya di rumah Nara teringat Tantra yang tanpa ia sangka bercita-cita menjadi seorang pilot. Dia berjuang keras agar tidak mengecewakan kedua orang tuanya. Ia sama seperti Nara yang ingin fokus meraih cita-citanya.
Nara tidak mau membuang-buang waktunya sia-sia. Ia bergegas mandi, makan, lalu mengerjakan tugas yang sangat banyak. Bukannya Nara tidak merasa capek, ia sangat capek, tapi setidaknya ia sudah istirahat sebentar sebelum mandi tadi. Ia tidak bisa menuruti tubuhnya untuk lama beristirahat karena itu akan membuatnya malas. Dan Nara tidak boleh malas. Ia harus terus berjuang.
****
Ku terpikat pada tuturmu
aku tersihir jiwamu
Terkagum pada pandangmu
caramu melihat dunia
Kuharap kau tahu bahwa ku
terinspirasi hatimu
Ku tak harus memilikimu
tapi bolehkah ku selalu di dekatmu
Tanpa sadar dari tadi Nara menyanyikan lagu itu berulang ulang.
"Kamu lagi jatuh cinta ya Ra?!?!?!?!?" Tanya Aurel sangat excited.
"Aku bukan jatuh cinta, namun aku jatuh hati"
"Serius Ra?!?!??!! OMG Nara!!!!!"
"Apaan sih Rel, ya engga lah,jatuh hati sama siapa coba."
"Penonton kecewa." Aurel menjawabnya dengan muka datar.
Sebenarnya Nara sendiri tidak tahu apakah dia sedang jatuh hati atau tidak. Akhir-akhir ini orang itu selalu muncul dipikiran Nara. Tapi Nara berusah menghapus orang itu dari pikiran Nara. Tetap saja orang itu selalu membayang-bayangi pikiran Nara. "Apa memang Nara sedang jatuh hati?" Sebisa mungkin Nara mengalihkan pikirannya itu. Nara harus tetap fokus dengan pelajarannya.
Seperti biasa setelah habis isya Nara selalu belajar. Ketika ia sedang belajar tiba-tiba ayahnya menghampirinya. Ayahnya mengatakan kalau belum bisa membayar uang iuran pembangunan sekolah Nara. Sedih sih, tapi ya mau gimana lagi. Nara pasrah.
"Kamu rencana mau kuliah jurusan apa Ra?"
"Nara pengen masuk jurusan kedokteran Yah."
"Kedokteran? Kamu kan tau kondisi keuangan keluarga kita gimana Ra. Bagaimana bisa ayah memasukkan kamu ke kedokteran? Tuh kakak kamu aja belum selesai kuliah juga."
"Tapi kan Yah Nara pengen banget masuk kedokteran."
"Udah kamu masuk jurusan lain aja. Biaya kedokteran terlalu besar. Ayah ngga sanggup."
Ayah Nara langsung meninggalkan kamar Nara sebelum Nara membalas ucapannya. Nara sangat sedih. Mimpinya sejak dulu tidak direstui ayahnya. Berat sekali bagi Nara. Apa yang ia perjuangkan sampai saat ini seakan akan pupus begitu saja. Semangatnya seketika hilang. Perkataan ayahnya masih terngiang-ngiang dipikiran Nara. Banyak teman Nara yang disuruh masuk kedokteran tapi mereka tidak mau. Sedangkan Nara, ia yang berjuang untuk bisa masuk kedokteran malah tidak mendapat dukungan dari orang tuanya.
****
Hari ini menurut Nara adalah hari terburuk dalam hidupnya. Ia tidak pernah menginginkan kejadian dihari ini terjadi. Sepulang sekolah Nara terkejut karena bundanya menangis histeris, raut wajah ayah dan kakak Nara juga sangat sedih. Nara bingung apa yang telah terjadi. Sampai akhirnya ayah Nara mengatakan kalau usaha mereka bangkrut. Usaha mereka benar-benar bangkrut. Tabungan yang dimiliki orang tua Nara telah habis untuk melunasi hutang-hutang. Habis sudah semua yang dimiliki keluarga Nara. Hanya rumah yang ia tempati satu-satunya harta yang mereka punya. Kini mereka hanya memiliki sisa-sisa uang untuk melanjutkan kehidupan esok hari dan sampai kedua orang tuanya memiliki pekerjaan lagi. Disaat seperti ini pun tidak ada sanak saudara yang datang untuk sekadar menenangkan mereka. Pikiran Nara sangat kacau. Ia benar-benar merasa tidak memiliki impian lagi. Kini impiannya benar-benar pupus. Tapi ada hal yang lebih penting dari impiannya. Yaitu bagaimana keluarga mereka menjalani hari-hari kedepannya. Orang tua Nara sudah tidak muda lagi. Sulit bagi mereka untuk mendapat pekerjaan karena faktor usia juga tenaga yang tidak maksimal. Mereka harus berpikir keras.
Keesokan harinya, Nara terlihat sangat murung. Tidak ada raut senang sedikitpun diwajah Nara. Sampai akhirnya sahabatnya menanyainya.
"Kamu kenapa sih Ra? Kok hari ini kamu murung banget." Tanya Aurel.
"Nggapapa."
"Kalo ada apa-apa cerita Ra sama kita, siapa tau kita bisa bantu."
"Aku nggapapa beneran."
"Yaudah Ra. Kalo kamu mau cerita kapan aja kita siap dengerin cerita kamu."
"Iya, makasih ya.
Sahabatnya kemudian meninggalkan Nara. Mereka tahu kalau Nara butuh ruang sendiri. Jadi mereka membiarkan Nara sendiri dulu.
Sudah beberapa hari Nara terlihat murung. Nara duduk di depan kelas dengan tatapan kosong dan raut wajah yang murung. Tak lama kemudian temannya menghampirinya. Namanya Nadin. Dia anak yang friendly. Dia menanyai Nara yang sedang duduk melamun.
"Hey Ra. Kenapa kok kayak sedih gitu?"
"Iya Din. Aku lagi merasa kacau."
"Kenapa emangnya?"
"Keluargaku sedang terpuruk. Aku udah ngga punya impian lagi. Hidupku benar-benar tidak bahagia. Rasanya aku ingin menyerah dengan semua ini."
"Hidup ini terlalu singkat kalo cuma dibuat nyerah, Ra."
"Engga segampang itu Din. Bayangin aja keadaan keluarga kamu lagi terpuruk banget. Bahkan buat ngelanjutin hidup esok harinya kamu belum tau mau gimana. Gimana mau mikirin impian kalo mikir biaya buat hidup sehari-hari aja masih belum tahu. Apa mungkin bisa ngeraih impian yang segitu tingginya dengan keadaan kayak gitu?"
"Nothing impossible. Hidup ini pilihan Ra. Ngga ada kata bisa atau ngga bisa, yang ada mau atau ngga mau. Ya emang sih ini ngga gampang. Tapi kalo kamu mau, kamu punya niat, kamu pasti bisa. Banyak jalan buat kamu sampai ke tujuan mu Ra. Jangan jadiin keadaan yang menimpa kamu sekarang jadi alasan buat kamu nyerah. Percaya sama Allah. Allah lagi ngelatih mental kamu Ra. Biar kamu jadi manusia yang ngga lemah."
"Makasih ya Din. You raise me up."
"Iya sama-sama Ra."
Apa yang dikatakan Nadin benar-benar menyadarkan Nara. Ia harus bangkit. Ia tidak boleh stuck disini. Ia harus meraih impiannya dan membahagiakan keluarganya. Nara menata kembali pikirannya yang kacau. Ia memfokuskan untuk impiannya. Ia menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggu fokus Nara. Termasuk tidak memberi ruang pada pikirannya untuk memikirkan seseorang yang membuatnya jatuh hati. Ia memendam dalam-dalam perasaan itu tanpa membiarkan sedikitpun perasaan itu untuk tumbuh. Nara menyingkirkan semua perasaan itu dan hanya menatap satu tujuan. Impian.
Hari demi hari berganti. Semangat Nara semakin membara. Ayahnya akhirnya sudah mendapat pekerjaan walaupun pendapatannya tidak seberapa. Ibu Nara sekarang berjualan makanan di rumah. Kak Hesa sekarang bekerja part time disebuah coffee shop. Dan Nara sendiri, ia hanya bisa membantu ibunya berjualan ketika sepulang sekolah. Mereka sangat bersyukur dengan apa yang mereka terima sekarang. Dengan kesederhanaan mereka menciptakannya menjadi kebahagiaan. Meski mereka masih hidup pas-pasan. Nara semakin giat belajar. Ia ingin bisa mendapat beasiswa prestasi. Makanya dia belajar sangat giat. Nara tidak pernah menghiraukan rasa lelahnya. Nara selalu bangun jam empat pagi untuk belajar. Sepulang sekolah, ia membantu ibunya berjualan di rumah, ia juga membersihkan rumah. Belum lagi harus mengerjakan tugas yang sangat banyak. Terlihat sangat melelahkan. Tapi Nara ikhlas menjalaninya.
****
Tidak terasa kelas XI akhirnya berakhir, itu artinya perjuangan masa SMA yang sebenarnya sudah didepan mata. Ya, kelas XII memang saatnya untuk berjuang. Tidak boleh menunda belajar atau bahkan malas belajar. Nara benar-benar fokus. Ia berjuang mati-matian demi beasiswa yang ia inginkan. Teman-teman Nara sangat salut dengan kegigihan Nara. Mereka semua yakin kalau Nara bisa mendapatkannya. Tidak ada hal yang menjadi penghalang bagi Nara untuk ia belajar. Walaupun lelah sekalipun. Terkadang orang tua Nara menyuruhnya untuk beristirahat. Tapi Nara tetap saja belajar. Sebisa mungkin Nara menjaga agar dirinya tidak sakit. Karena kalau sakit itu akan mengganggu belajarnya.
Dan ini saatnya semua kelas XII mendaftar ke perguruan tinggi. Semua siswa sibuk bertanya satu sama lain mau kemana mereka akan melanjutkan kuliah.
"Ra, kamu jadi ikut tes beasiswa kedokteran?" Tanya Aurel.
"Iya, Rel jadi. Doain yaa. Btw kamu mau daftar jurusan apa?"
"Iyaa aku doain semoga kamu bisa dapet beasiswa itu. Aku mau nyoba daftar teknik industri, Ra. Doain juga ya."
"Iyaa. Semoga kita bisa diterima semua. Aamin."
"Aamiin."
Teman Nara lainnya, Hana mendaftar psikologi. Adel mendaftar teknik perminyakan. Raisa mendaftar di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, karena ingin menjadi female cadet katanya. Jurusan yang mereka ambil tidak ada yang sama. Itu artinya sebentar lagi mereka akan berpisah. Ketika Nara ingin keluar kelas ia berpapasan dengan Tantra.
"Mau ambil jurusan apa Ra jadinya?" Tanya Tantra.
"Aku mau nyoba tes beasiswa kedokteran, Tan. Kamu mau ambil jurusan apa?"
"Aku mau daftar ke Sekolah Tinggi Penerbangan, Ra."
"Oiya mau jadi pilot kan ya."
"Iya hehehe."
"Sukses ya."
"Makasih. Good luck Ra."
"Makasih."
Nara lalu berjalan keluar kelas.
****
Hari pengumuman kelulusan SMA tiba. Perpisahan pun tiba. Saat yang paling menyedihkan ketika SMA. Mereka senang bisa lulus, mereka sedih harus berpisah dengan teman-temannya, dan mereka masih tegang menunggu pengumuman penerimaan di perguruan tinggi. Semua rasa itu bercampur menjadi satu.
Hari demi hari berlalu dengan cepat. Saat yang dinanti akhirnya tiba. Hari ini pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Hasil tidak akan menghianati usaha. Kata-kata itu terbukti benar. Perjuangan Nara tidak sia-sia. Ia diterima beasiswa kedokteran sesuai yang ia inginkan. Sujud syukur setelah Nara melihat pengumuman itu. Kegigihan usaha dan doa yang kuat akan memberikan hasil yang menakjubkan. Keluarga Nara menangis bahagia. Tidak menyangka Nara bisa mewujudkan mimpi yang mereka anggap terlalu sulit untuk dicapai. Mereka sangat bersyukur kepada Allah karena telah memberikan semua karunia-Nya. Teman-teman Nara juga diterima dijurusan yang mereka inginkan. Bahagia sekali mereka hari ini. Sebelum berpisah Nara dan teman-temannya bertemu untuk mengatakan salam perpisahan. Mereka sangat sedih karena harus berpisah. Apalagi Nara, teman-temannya lah yang selalu membuat Nara tertawa. Tapi alurnya memang begini. Mereka tetap bahagia karean tujuan masing-masing akhirnya bisa terwujud. Toh mereka juga bisa bertemu lagi.
****
Kurang lebih tujuh tahun sampai akhirnya Nara bisa menjadi dokter yang sukses. Ia sudah membuka rumah sakit sendiri. Nara akhirnya bisa membuat keluarganya tidak dipandang sebelah mata lagi. Semua keluarga Nara meminta maaf karena tidak membantu saat mereka terpuruk. Kini Nara dan keluarganya sudah sukses. Kak Hesa juga sudah sukses sekarang. Dan ibu Nara juga membuka restoran. Roda memang berputar. Nara sangat bersyukur dengan keadaannya saat ini. Allah Maha Baik.
SMA Nara mengadakan reuni. Semua teman-teman SMA nya sangat excited. Acaranya sangat seru. Semua sibuk bercerita tentang kariernya masing-masing. Dan tiba-tiba ada seseorang menghampiri Nara saat ia sedang bercerita dengan teman-temannya. Tantra Perwira Negara. Ia sudah menjadi pilot dengan jam terbang yang padat sekarang. Tantra mengajak Nara berbicara berdua.
Seperti yang lain tanyakan ketika bertemu tadi, menanyakan kabar. Mereka berdua saling bercerita tentang perjalanan mereka setelah lulus SMA. Ditengah-tengah pembicaraannya, Tantra menyatakan perasaannya kepada Nara. Siapa sangka ternyata selama ini Tantra menyimpan rasa kepada Nara. Dulu ia terlihat sama sekali seperti tidak ada rasa kepada Nara. Tetapi ternyata Tantra memendam perasaannya. Ia ingin fokus pada impiannya menjadi seorang pilot. Saat itu Tantra berjanji pada dirinya sendiri, kelak saat sudah mewujudkan mimpinya ia akan menemui Nara dan menyatakan perasaannya selama ini. Nara masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Tantra.
"Kamu inget ngga Ra waktu SMA kamu pernah murung beberapa hari. Aku sedih banget Ra ngeliatnya. Terus kamu inget waktu Nadin nyamperin kamu?"
"Iya inget. Kenapa?"
"Aku yang minta Nadin buat nyamperin kamu. Aku yakin Nadin bisa bantu kamu buat bangkit. Aku suka kamu sejak kita sama-sama nunggu hujan reda waktu pulang sekolah di deket parkiran. Ngga seharipun aku lewatkan buat ngga nyari tahu tentang kamu Ra. Tapi aku cuma bisa diem waktu itu dan ngga bisa nyatain perasaanku ke kamu karena aku mau fokus sama impian ku dulu. Dan akhirnya aku bisa ngomong ini semua ke kamu Ra."
Nara terdiam beberapa saat. Ia masih tidak percaya apa yang dirasakannya sama seperti yang dirasakan Tantra. Nara jatuh hati pada Tantra pertama kali disaat yang sama. Saat menunggu hujan reda sepulang sekolah di dekat parkiran. Dan saat Nara terpuruk waktu itu, ia menuliskan sebuah surat yang isinya tentang perasaannya kepada Tantra. Dan diakhir surat itu tertulis sebuah kalimat.
"I pray you get what you're wishing for.
But if you don't, I pray you get better.
See you on top."
Nara ingin ketika ia telah sukses, bisa bertemu dengan Tantra dan memberikan surat itu kepadanya. Entah Tantra sudah bersama orang lain atau belum ia tetap memberikannya. Ia ingin Tantra tahu perasaan yang dipendamnya sejak dulu. Jujur saja Nara selalu membawa surat itu. Akhirnya perasaan mereka saling terbalaskan. Mereka mendapatkan impiannya dan kebahagiaan hatinya. Nara sudah berhasil mewujudkan mimpinya dan membahagiakan keluarganya. Tantra juga sudah berhasil menjadi seorang pilot yang ia dan orang tuanya cita-citakan. Memang benar, semua indah pada waktunya. Walaupun kebahagian masa SMA yang Nara harapkan seperti anak SMA lainnya tidak ia rasakan. Disaat semua temannya merasakan kebahagian itu. Disaat semua temannya bisa bersenang-senang, tidak bagi Nara. Ia harus merasakan pahitnya kehidupan. Tekanan hidup yang membuatnya terjatuh dan rapuh. Sampai akhirnya ia bisa bangkit dan melewati semuanya. Hingga ia terlalu kuat untuk mudah jatuh dan rapuh lagi. Allah memang Maha Baik. Allah memberikan yang terbaik diwaktu yang tepat. Tidak terlalu cepat dan tidak terlambat. Hanya saja butuh kesabaran dan perjuangan untuk mendapatkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H