Mohon tunggu...
VIGA ANESTIRAMADHANI
VIGA ANESTIRAMADHANI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang Mahasiswa Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

14 Maret 2023   14:29 Diperbarui: 14 Maret 2023   14:33 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

BOOK REVIEW

Judul               : Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia

Penulis             : Umar Haris Sanjaya & Aunur Rahim Faqih

Penerbit           : Gama Media Yogyakarta

Terbit               : 2017

Cetakan           : Pertama, Maret 2017

            Buku karya Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faiqh yang berjudul "Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia" secara besar pada isi dan penyampaiannya buku ini dimaksudkan untuk memudahkan para pelajar ilmu hukum dan Masyarakat dapat memahami hukum perkawinan khususnya perkawinan ditinjau dari aspek hukum islam di Indonesia. Buku ini juga dapat dijadikan acuan bagi tenaga edukatif di lingkungan perguruan tinggi untuk lebih efektif dalam tambahan referensi. Buku ini juga menjelaskan secara lengkap dan rinci tentang hukum perkawinan di Indonesia, mulai dari sejarah lahirnya UU Perkawinan, pengertian, tujuan, prinsip, alasan, hukum dan sumber perkawinan di Indonesia. Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai rukun dan syarat perkawinan,perjanjian kawin, tentang harta kekayaan dalam perkawinan, dan sebab -- sebab putusnya perkawinan.

            Untuk memudahkan pembaca, secara sistematis penulis membagi kajian buku ini menjadi lima Bab. Terkesan sangat padat, tetapi hal itu dimaksudkan oleh penulisnya agar dapat memberikan informasi yang lengkap dan terperinci, sehubungan dengan Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia.

BAB I

Sejarah singkat hukum perkawinan di Indonesia

            Sejarah hukum perkawinan di Indonesia sendiri pada awalnya terjadi pluralisme peraturan tentang perkawinan, hal ini bahkan terjadi setelah Indonesia merdeka. Adanya pluralsime tersebut menjadi persoalan bagi masyarakat pribumi yang menuntut adanya perubahan terhadap pengaturan masalah perkawinan. Hal ini penting untuk menjaga agar perilaku asing tidak masuk kepada warga pribumi dan mempengaruhi budaya perkawinan warga pribumi khususnya yang beragama islam. Singkat cerita, Presiden RI mengajukan RUU Perkawinan dengan No.R.02/PU/VII/1973 tertanggal 31 Juli tahun 1973 untuk disampaikan di DPR. Pembahasan tentang UU Perkawinan mengalami pasang surut didalam materi yang berisikan nilai keislaman pada pelaksanaan perkawinan. RUU perkawinan yang diajukan oleh pemerintah ternyata masih mengutip dari Kitab UU Hukum Perdata (burgelijk wetbook). Itu semua memancing pertentangan dari para ulama dan masyarakat Indonesia khususnya umat Islam bahwa RUU itu bertentangan dengan UU Dasar pasal 29 ayat (1) tentang kebebasan beragama. Pertentangan didasari atas materi norma pada RUU perkawinan yang jauh keluar dari konsep yang ada pada Al-Qur'an. Pada akhirnya RUU Perkawinan dapat disahkan pada 2 Januari 1974 melalui forum paripurna Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan pemerintah Indonesia dengan nama UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Pengaturan hukum perkawinan tidak berhenti pada UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, tetapi persoalan perkawinan diatur juga pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan adanya KHI, maka implementasi hukum islam di Pengadilan Agama dapat diseragamkan. Secara sederhana KHI merupakan hukum Islam yang diatur dalam bentuk kodifikasi sebagai kesatuan hukum islam yang digunakan sebagai pegangan hakim di Pengadilan Agama.

            Berbicara mengenai hukum perkawinan Islam Indonesia, dalam pelaksanaannya tetap tidak dapat lepas dari ketentuan yang ada pada Undang-Undang Perkawinan. Semua persoalan itu tetap harus mengacu pada ketentuan hukum positif yang berlaku, walaupun itu dilakukan oleh warga negara yang beragama Islam. Artinya mengkaji hukum perkawinan islam dari perspektif hukum sama dengan mengkaji pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dilihat dari perspektif Islam. Persepektif Islam dalam hukum perkawinan di Indonesia ini telah dipresentasikan dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam.

BAB II

Pengertian Perkawinan Secara Umum

Pengertian Perkawinan

            Pengertian perkawinan dijelaskan di Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Undang-Undang ini tidak hanya mengatur masalah hubungan perdata saja, tetapi peraturan ini menjadi dasar hukum yang sangat erat kaitannya dengan hak-hak dasar seorang anak manusia, atau lebih kepada peri kehidupan masyarakat sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hak yang melekat pada konstitusi berkaitan pada ketentuan pada pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1) dan pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 tentang hak dasar untuk membentuk suatu ikatan perkawinan. Rumusan dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pada pasal 1 adalah : "perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."

Tujuan Perkawinan

            Melihat pada Kompilasi Hukum Islam, tujuan perkawinan dirumuskan pada pasal 3 KHI yaitu mempunyai tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahma. Bila diperhatikan rumusan mengenai tujuan perkawinan sedikit berbeda antara Undang-Undang Perkawinan dan KHI, tetapi perbedaan itu sesungguhnya hanya pada keinginan dari perumus supaya dapat memasukkan unsur-unsur mengenai tujuan perkawinan. Artinya perbedaan itu bukan untuk memperlihatkan sebuah pertentangan didalam tujuan perkawinan, melainkan lebih memasukkan unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam tujuan perkawinan. Dalam hal perkawinan, Allah SWT memerintahkan hambanya tentu ada tujuan yang perlu dipahami oleh manusia tentang tujuan perkawinan. Adapun tujuan dari sebuah perkawinan dapat diulas dari beberapa gambaran ayat Suci Al-Qur'an, seperti untuk membentuk keluarga yang sakinah dan keturunan, untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat. Untuk menciptakan rasa kasih sayang, untuk melaksakan ibadah, dan untuk pemenuhan kebutuhan seksual. Untuk itu pasangan suami isteri dituntut untuk saling mengerti, membantu, dan yang terpenting adalah saling melengkapi. Tujuan yang dirumuskan didalam UU No 1 Tahun 1974 senyatanya telah sejalan dengan kaidah dan prinsip Islam, hal ini menjadi bukti bahwa perkawinan di Indonesia tidak lepas dari ajaran agama Islam.

            Sebelum membahas mengenai sumber hukum, sepatutnya kita mengetahui hukum asal dari perkawinan menurut pandangan islam. Hukum melakukan perkawinan asalnya adalah mubah, mubah artinya sesuatu yang diperbolehkan yaitu sepanjang syar'I tidak melarang maka diperbolehkan ataupun sebaliknya. Tetapi sifat hukum mubah ini dapat berubah kembali kepada pelakunya sendiri, dapat menjadi sunah, wajib, makruh bahkan haram.

            Sudah sangat jelas bahwa sumber hukum perkawinan islam yang paling utama adalah Al-Qur'an. Hal ini merujuk dari berbagai ayat yang ada di dalam Al-Qur'an menyerukan tentang perkawinan, pengertian, tujuan, alasan, manfaat, dan sebagainya. Hukum perkawinan islam bersumber dari Al-Qur'an, sunnah rasul, Metode ijtihad, ijma dan qiyas oleh mujtahid.

BAB III

Pelaksanaan Perkawinan

Rukun dan Syarat Perkawinan

            Mempelajari tentang rukun dan syarat yang ada pada hukum perkawinan Islam di Indonesia, maka kesemuanya itu ada hubungan benang merahnya dengan prinsip perkawinan yang ada pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Mengingat umat Islam di Indonesia dalam konteks perkawinan tetap harus tunduk pada hukum Undang-undang yang berlaku, walaupun secara khusus fiqih munakahat juga membahas persoalan itu. Artinya walaupun tulisan ini mengkaji hukum perkawinan islam di Indonesia tetapi yang berlaku tetaplah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Asas yang terkandung didalam Undang-Undang no. 1 Tahun 1974 secara singkat terdiri atas 6 macam hal, seperti tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sahnya perkawinan baik secara keyakinan dan peraturan, berasaskan monogami terbuka, asas matang jiwa raga, asas mempersulit perceraian, kedudukan seimbang antara suami dan istri. Dari asas-asas tersebut, maka akan dirincikan menjadi rukun dan syarat-syarat dalam perkawinan. Adapun rukun nikah adalah :

  • Pengantin lelaki (Suami)
  • Pengantin perempuan (Isteri)
  • Wali
  • Dua orang saksi lelaki
  • Ijab dan kabul (akad nikah)

Terhadap rukun diatas, maka akan akan dapat dijabarkan bahwa syarat-syarat sah sebuah perkawinan itu antara lain :

  • Syarat adanya kedua mempelai
  • Syarat saksi dalam perkawinan
  • Syarat wali dalam perkawinan
  • Mahar
  • Syarat Akad (ijab qobul)

Sebuah perkawinan yang sudah siap diselenggarakan suatu saat dapat saja dicegah bila itu melanggar syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur didalam peraturan perundang-undangan. Hal ini berdasarkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 13 yang merumuskan bahwa perkawinan dapat dicegah berlangsungnya apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pencegahan ini bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang ternyata perkawinan itu hakikatnya dilarang bagi mempelai itu. Oleh karena itu sebelum perkawinan itu terjadi, sebaiknya dicegah terlebih dahulu. Pihak yang dapat melakukan pencegahan perkawinan pada prinsipnya adalah keluarga dari mempelai. Tetapi wali (wali nikah, wali pengampu) dari mempelai juga diberikan hak untuk ini sepanjang dapat dibuktikan kedudukannya. Pencegahan ini dilakukan dengan cara mengajukan permohonan pencegahan perkawinan ke Pengadilan Agama dan permohonan itu diberitahukan ke petugas pencatat nikah (Kantor Urusan Agama).

Selain pencegahan perkawinan, dalam hukum perkawinan terdapat pembatalan perkawinan. Yang mana perkawinan dapat dibatalkan, apabila sebelumnya ada suatu perkawinan yang diselenggarakan. Pembatalan perkawinan sesungguhnya tidak jauh dengan pencegahan perkawinan. Hanya saja bahasan pada pencegahan perkawinan terjadi sebelum akad nikah dan pencatatan dilakukan, sedangkan bahasan pembatalan perkawinan ini terjadi pada posisi ketika perkawinan itu sudah terjadi dan dicatatkan. Pembatalan perkawinan mulai dapat diberlakukan apabila sudah ada putusan dari Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Artinya putusan itu dibuat setelah dilakukan proses persidangan dan pembuktian di hadapan majelis hakim. Masa waktu pemberlakukan pembatalan dimulai sejak waktunya akad perkawinan atau saat berlangsungnya perkawinan. Tentunya putusan pembatalan perkawinan yang telah berkekuatan hukum tetap menimbulkan akibat hukum, seperti putusnya perkawinan.

Secara hukum kontkes hak dan kewajiban suami dan isteri ini terbagi dalam 3 konteks pembahasan. Itu semua diatur jelas dari 2 sumber hukum perkawinan di Indonesia yaitu undang-undang no. 1 tahun 1974 mulai dari pasal 30 hingga pasal 34 dan kompilasi hukum islam mulai dari pasal 77 hingga pasal 84 antara lain :

  • Kedudukan

Pria yang menikah maka ia disebut dengan suami yang didalam rumah tangga dinyatakan sebagai kepala rumah tangga. Sedangkan wanita yang menikah maka ia disebut dengan istri dan ia bertindak sebagai ibu rumah tangga. Baik suami atau istri masing-masing mempunyai kedudukan yang seimbang dimata hukum baik didalam rumah tangganya ataupun dimasyarakat.

  • Kewajiban suami dan istri

            Suami yang bertindak sebagai kepala rumah tangga mempunyai kewajiban yakni memenuhi kebutuhan keperluan berumah tangga, melindungi, mendidik, dan menjaga keutuhan rumah tangga. Sama halnya dengan suami, istri mempunyai kewajiban untuk mengurus urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Kewajiban utamanya adalah berbakti pada suami secara lahir batin. Disamping kewajiban masing-masing, mereka dalam berumah tangga mempunyai kewajiban bersama yaitu saling mencintai, saling menghormati, setia dan ikhlas secara lahir maupun bathin kepada sesama.

  • Kediaman

            Konteks bahasan yang selanjutnya adalah menyediakan tempat kediaman bagi mereka yang sudah kawin. Ini merupakan kewajiban bersama antara suami dan istri untuk mencari kediaman yang dapat ditinggali oleh mereka dan anak-anaknya selama berumah tangga.

Keabsahan perkawinan dan pencatatan perkawinan       

Keabsahan perkawinan

      Untuk mengatakan sah tidaknya perkawinan, maka perlu memperhatikan aturan mengenai keabsahan perkawinan. Penentuan sebuah keabsahan perkawinan ini tidak merujuk pada rukun dan syarat perkawinan saja, melainkan juga perlu memperhatikan keabsahan yang ada pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2) yaitu :

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pencatatan Perkawinan

      Pencatatan perkawinan diatur jelas pada pasal 2 ayat (2) dimana ketentuan tersebut menjelaskan sebagai syarat sahnya perkawinan. Tujuan pencatatan nikah secara umum adalah untuk ketertiban dan mencatatkan perbuatan hukum perkawinan yang dilakukan masyarakat di Indonesia. Konsekuensi dari itu, maka Negara mengakui perkawinan itu, dan Negara dapat berperan bila salah satu pihak kedepan ada yang dirugikan. Secara khusus pencatatan nikah dilakukan harus dilakukan dihadapan petugas pencatat nikah melalui lembaga yang berwenang. Sebagaimana diatur pada KHI pasal 6 ayat (2) yang bunyinya : perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Pencatatan perkawinan pada prinsipnya tidak saja mencatatkan waktu perkawinannya saja, melainkan semua pencatatan yang ada hubungannya dengan perkawinan. Misalnya seperti pencatatan cerai, rujuk, taklik talak, dan ikrar talak.

      Terhadap pencatatan itu semua, maka harus ada lembaga yang berwenang untuk melakukan pencatatan. Menurut gambaran KHI Di Indonesia ada 2 lembaga yang diberikan kewenangan untuk menikahkan warga Negara yang beragama islam, yaitu KUA Kemenag dan Pengadilan Agama.

Akta Nikah

      Akta nikah adalah bukti bahwa sebuah perkawinan itu dilaksanakan secara sah dan dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan. Hal ini jelas tertrera pada pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah. Ini merupakan akta otentik yang dikeluarkan oleh lembaga perkawinan yang berwenang. Oleh karena itu akta nikah ini menjadi jaminan bukti telah dilaksanakannya perkawinan, sehingga tidak ada salah satu pihak pun yang dapat menyimpangi antara suami dan istri.

Perjanjian Perkawinan

            Perjanjian perkawinan adalah salah satu hal yang penting didalam sebuah perkawinan. Pandangan masyarakat terhadap keberadaan perjanjian perkawinan masih menganggap bahwa itu adalah perbuatan tidak baik (etis) dan tidak perlu untuk dilakukan. Anggapan itu tidak salah sama sekali, mengingat masyarakat ada yang berpikir bahwa apa yang perlu diperjanjikan bagi mereka yang sudah kawin. Ketika mereka sudah kawin, maka segala sesuatu apa yang mereka mililki menjadi satu kesatuan. Terhadap alasan itu yang menjadikan suami istri tidak perlu untuk mengadakan perjanjian kawin. Anggapan masyarakat yang enggan melakukan perjanjian perkawinan karena fakta mengenai itu semua didorong dari urusan duniawi. Artinya anggapan masyarakat timbul karena contoh yang ada terhadap perjanjian perkawinan lebih bersifat materialistic seperti misalnya perjanjian perkawinan mengenai pisah harta.

            Perjanjian perkawinan adalah persetujuan yang dibuat oleh calon mempelai pada saat perkawinan dilangsungkan yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan yang mengikat bagi mereka dan pihak ketiga. Artinya pembuatan perjanjian perkawinan di Indonesia secara sah hanya boleh dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Bilamana ada perjanjian perkawinan dilakukan setelah adanya perkawinan dimungkinkan terjadi tetapi itu semua harus didasari atas putusan hakim di pengadilan.

Harta Kekayaan dalam Perkawinan

            Harta kekayaan didalam perkawinan dijelaskan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pada bab harta benda dalam perkawinan pasal 35 hingga pasal 37. Ketentuan itu menjabarkan bahwa harta benda yang diperoleh oleh pasangan suami istri selama perkawinan menjadi harta bersama. Maksud dari kata menjadi harta bersama adalah harta tersebut bentuk, kepemilikan dan penguasaannya bersama-sama. Tetapi tidak semua yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, ada beberapa harta tertentu yang secara penguasaannya kembali kepada masing-masing pihak. Hal ini berlaku terhadap harta benda yang sifatnya adalah harta bawaan seperti warisan atau hadiah.

            Harta benda dalam perkawinan yang menjadi harta bersama selamanya akan menjadi miliki bersama, bila terjadi perceraian status harta bersama itu harus dibagi sesuai dengan hak-hak yang dibenarkan. Artinya pembagian harta yang dulunya milik bersama dan harus dibagi akibat putusnya perkawinan dikembalikan pada ketentuan hukum yang berlaku bagi pasangan itu.

            Hukum Islam tidak menjelaskan mengenai percampuran harta dalam perkawinan ataupun perpisahan terhadap harta perkawinan. Secara hukum pengaturan mengenai harta kekayaan dalam perkawinan diatur mulai dari pasal 85 hingga pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Secara garis besar ketentuan itu mengatur mengenai percampuran harta/ harta bersama baik dari awal perkawinan, tanggung jawab, perbuatan hukum, harta bersama bila istri lebih dari satu, dan mengenai perselisihan. 

Hukum Walimah

            Walimah adalah sebuah pesta dengan mengumpulkan saudara, teman, kerabat dengan niatan untuk bisa memberikan doa restu ataupun ucapan kesyukuran kepada seseorang. Walimatul urs memiliki perngertian dimasyarakat sebagai sebuah peresmian dari perkawinan dengan tujuan sebagai pemberitahuan atau pengumuman kepada orang-orang bahwa telah terjadi perkawinan yang resmi dan turut sebagai rasa syukur bagi kedua belah pihak mempelai. Pelaksanaan walimah biasanya dilakukan setelah dilakukan akad perkawinan, tetapi itu kembali dari keinginan mempelai masing-masing.

BAB IV

Putusnya Perkawinan

Sebab -- Sebab Putusnya Perkawinan        

Sebuah perkawinan dapat putus apabila memenuhi sebab-sebab tertentu yang diatur didalam Undang-Undang Perkawinan. Tidak menutup kemungkinan bagi mereka warga negara Indonesia yang beragama Islam. Untuk dapat dikategorikan sebuah perkawinan itu putus harus ada beberap sebab, yaitu kematian, perceraian, atas putusnya pengadilan.

Di Indonesia pelaksanaan perceraian ini memerlukan putusan pengadilan untuk memutus sebuah perkawinan itu telah putus. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa sebuah perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan tidak dapat mendamaikan pasangan yang ingin bercerai.

Rujuk dan masa iddah

            Rujuk adalah suatu perbuatan yang tidak dapat lepas dari masa iddah. Rujuk diartikan dengan kembali bersatunya hubungan perkawinan yang telah bercerai dimana itu terjadi masih dalam masa tempo iddah. Ini jelas diatur pada Kompilasi Hukum Islam pasal 163 . rujuk berlaku bagi perceraian yang disebabkan karena alasan-alasan cerai pada umumnya, hanya rujuk tidak berlaku untuk alasan li'an dan khuluk. Untuk rujuk ini tidak dapat dilakukan salah satu pihak, melainkan membutuhkan persetujuan kedua belah pihak baik suami atau istri untuk ditanya kesediaannya rujuk kembali. Rujuk yang hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja tanpa sepengetahuan pihak yang lain, maka ini dianggap tidak sah.

            Secara hukum masa iddah jelas diatur didalam Kompilasi Hukum Islam mulai dari pasal 153 hingga pasal 155. Bagi perceraian yang disebabkan karena khuluk, fasakh, dan li'an , maka iddah yang berlaku disamakan dengan iddah pada talak.

Hadhonah dan akibat hukumnya

  • Anak bagian dari tujuan perkawinan dalam membentuk keluarga

            Hak asuh anak adalah hak yang timbul akibat permohonan perceraian antara suami dan istri berdasarkan putusan pengadilan. Hak asuh ini bisa terjadi jika antara pasangan suami isteri yang bercerai itu memiliki anak baik anak kandung ataupun anak yang diangkat didalam perkawinan. Hak asuh terhadap anak bisa dilaksanakan bila usia anak masih memerlukan pemeliharaan (belum mumayyiz) atau masih dibawah umur. Dasar untuk dapat melakukan permohonan hak asuh terhadap anak adalah pasangan yang bercerai ini sebelumnya terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah dan dicatatkan pada negara.

  • Perceraian menyebabkan putusnya hubungan keluarga

      Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini merupakan syarat sah secara formal agar perkawinan yang dilakukan dapat diakui oleh Negara. Perkawinan yang sah tidak dapat diputus dengan semena-mena begitu saja oleh pasangan suami istri.

BAB V

Kajian Hukum Perkawinan Islam Kontemporer

Perkawinan Beda Agama

            Kajian terhadap perkawinan beda agama ini akan selalu menjadi kajian yang menimbulkan perbedaan pendapat baik itu dari sikap para pemeluk agama, masyarakat pelaku kawin beda agama dan negara sebagai pemerintah. Berbicara mengenai perkawinan beda agama pada perspektif hukum perkawinan islam harus merujuk pada dasar hukum Al-qur'an. Terhadap firman Allah SWT yang menggambarkan tentang pelaksanaan perkawinan beda agama itu terdapat 2 gambaran yang penulis kaji. Yaitu ada beberapa ayat mengharamkan serta ada pula yang membolehkan.

            Kembali pada konteks hukum perkawinan di Indonesia, peraturan perundang-undangan sendiri tampaknya menutup terhadap pelaksanaan perkawinan beda agama. Ini jelas dinyatakan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat (1) yang berbunyi perkawinan dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya, serta dilanjutkan pada ayat (2) bahwa itu dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan supaya sah. Oleh karena itu jelas apabila hukum di Indonesia tidak membukan praktik perkawinan beda agama. Faktanya tidak sedikit orang warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan beda agama. Tentu hal ini didasari atas alasan dan latar belakang masing-masing pasangan.

            Untuk perkawinan agama dengan non muslim itu jelas hukumnya didalam Islam adalah haram. Mengingat non muslim itu bukan termasuk bagi mereka yang ahli kitab. Non muslim dianggap sebagai musyrik atau juga dianggap tidak memiliki agama (kitab suci). Terhadap mereka islam melarang tentang perkawinan bagi pemeluk agama islam kepada mereka yang non muslim. Terakhir Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 pernah mengeluarkan fatwa MUI tentang pelarangan terhadap perkawinan beda agama bagi umat Islam. Hal ini disampaikan pada Musyawarah Nasional MUI ke 7 di Jakarat pada tanggal 26-29 Juli 2005 yang pada prinsipnya menetapkan pelarangan perkawinan beda agama.

            Komitmen negara Indonesia sebagai negara hukum terhadap praktek perkawinan beda agama tentu dapat dilihat dengan adanya suatu upaya hukum. Artinya apabila ada pasangan mempelai yang ingin melakukan perkawinan beda agama dapat melakukan upaya hukum permohonan gugatan di Pengadilan Negeri. Upaya hukum dilakukan supaya pemerintah dapat mencatatkan secara hukum praktek perkawinan beda agama secara formal. Hal itu kembali pada putusan Pengadilan yang menetapkan untuk dikabulkannya atau tidak permohonan perkawinan beda agama.

Nikah Siri

            Nikah siri saat ini adalah perkawinan yang dilakukan tanpa adanya sebuah pencatatan pada instansi lembaga yang berwenang seperti Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil sebagaimana diatur pada pasal 2 ayat (2) UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Nikah siri dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah secara agama dan kepercayaan saja. Hal ini tentu bukan karena suatu alasan, ada beberapa alasan yang ditemukan ketika melihat masyarakat tidak mencatatkan perkawinannya, seperti takut diketahui orang lain (melanggar larangan), tidak mengetahui harus dicatatkan, atau karena faktor biaya.

            Makna nikah siri saat ini lebih diidentikan kepada sebuah perkawinan yang dilakukan tanpa melibatkan pejabat yang berwenang (kehadiran negara). Terhadap praktek semacam ini dikenal dimasyarakat dengan sebutan perkawinan dibawah tangan. Artinya perkawinan yang dilakukan tersebut tidak dicatatkan, tidak diketahui negara, dan tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum dimata hukum Indonesia.

            Dari ketentuan pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dapat diketahui bahwa negara melarang suatu perkawinan yang tanpa adanya pelibatan negara yang berwenang. Oleh karena itu perkawinan dibawah tangan tidak mempunyai akibat hukum, akibatnya salah satu pihak yang dirugikan baik suami atau istri dikemudian hari tidak bisa mendapatkan perlindungan hukum. Sebuah perkawinan yang tidak mendapatkan perlindungan hukum dari negara, maka salah satu atau ada pihak yang nanti kedepannya berpotensi menjadi korban. Dalam konteks nikah siri, secara yuridis formal yang sering menjadil korban adalah pihak perempuan dan anaknya.

            Solusi terhadap masyarakat yang belum melakukan pencatatan perkawinan adalah dengan melakukan itsbat nikah. Itsbat nikah dilakukan bila perkawinan yang sudah terjadi memenuhi rukun dan syarat hanya saja belum dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan. Itsbat nikah merupakan solusi hukum terhadap masyarakat yang melakukan kawin siri (nikah dibawah tangan). Itsbat nikah mempunyai pengertian sebagai penetapan terhadap sebuah kebenaran (keabsahan) nikah. Lebih jelasnya lagi adalah penetapan tentang kebenaran nikah atas perkawinan yang telah dilangsungan menurut syariat Islam yang itu semua tidak dicatat di Kantor Urusan Agama atau Petugas Pencatat Nikah. Penetapan istbat nikah ini dilakukan di Pengadilan Agama. Artinya harus ada permohonan terlebih dahulu dari pemohon yang ingin menetapkan perkawinannya ke Pengadilan Agama.

Status Hukum Anak Luar Kawin

            Luar kawin yang dimaksud didalam hukum islam dan luar kawin yang dimaksud didalam Undang-Undang ada sedikit perbedaan penafsiran. Anak luar kawin yang dimaksud didalam buku ini adalah anak diluar ikatan perkawinan yang sah sebagaimana diatur pada pasal 43 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang normanya berbunyi : anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah. Artinya anak luar kawin adalah penjelasan untuk anak yang tidak sah. Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

                         Pasal 100 KHI menjelaskan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dari beberapa ketentuan undang-undang diatas dan Kompilasi Hukum Islam dapat diketahui maksud tentang anak sah dan anak tidak sah, dan hubungan nasab yang terjadi antara anak sah dan anak tidak sah.

            Pada putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 tertanggal 17 Februari tahun 2012 menguraikan bagaimana tentang status anak diluar perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Pada putusan tersebut salah satu amar. putusannya adalah : pasal 43 ayat (1) undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan "anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya", artinya tidak memiliki kekuatan mengikat dengan laki-laki yang mempunyai hubungan darah dengan anak itu walaupun itu dapat dibuktikan. Maka terhadap pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 di dalam putusan MK No. 46/PUU-VII/2010 harus dibaca "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Poligami

            Poligami adalah perbuatan seorang laki-laki dengan mengumpulkan untuk menjadi tanggungannya dua sampai empat istri. Jadi perkawinan dengan poligami adalah suatu perkawinan yang banyak. Dalam sebuah definisi poligami adalah ikatan perkawinan yang dimana suami mengawini beberapa orang istri dalam waktu yang bersamaan. Bersamaan disini maksudnya istri yang lain tidak dicerai, tetapi justru ada penambahan.

            Seorang laki-laki memang diperkenankan didalam hukum perkawinan Islam untuk beristeri lebih dari satu orang wanita dalam waktu yang sama. Tetapi itu bukan berarti tanpa adanya syarat dan batasan, seorang laki-laki yang hendak berpoligami harus dengan tujuan dan syarat yang tepat. Sehingga poligami dilakukan bukan karena untuk tujuan yang salah, tetapi untuk tujuan yang mulia. Disamping itu poligami harus didasari dengan niat dan keberanian harus bisa bersikap adil.

Dispensasi Nikah

            Pembahasan mengenai dispensasi nikah ini diberikan karena melihat fenomena maraknya pasangan pengantin di usia dini. Permohonan dispensasi nikah ini sedikit yang ditolak oleh Hakim pengadilan Agama, mengingat beberapa kasus didalam permohonan dispensasi perkawinan ini fakta menuntut untuk diberikan. Maksud dari fakta yang menuntut itu adalah banyak permohonan yang diajukan dengan fakta bahwa pasangan usia dini tersebut sudah melakukan hubungan seksual sebelum nikah. Bahkan sebagian besar permohonan dispensasi nikah itu karena pasangan usia dini itu nikah karena hamil duluan. Dari kejadian diatas, keluarga pihak wanita lah yang menuntut untuk dinikahkan dengan melakukan permohonan dispensasi nikah.

            Hakim dalam menangani perkara dispensasi nikah tentunya selain memperhatikan fakta, bukti tentunya juga mengedepankan nurani seorang hakim. Tidak sedikit perkara dispensasi nikah ini yang dikabulkan oleh hakim,333 bahkan proses persidangannya pun tidak memerlukan waku yang lama. Hal ini karena perihal dispensasi nikah bukan merupkan pasal atau ayat yang dilarang didalam Undangundang.

Nikah Mut'ah 

            Nikah mut'ah adalah nikah yang secara hukum dikatakan sebagai nikah fasakh, artinya nikah itu sejak awal telah cacat secara hukum. Nikah mut'ah ini jelas hukumnya fasakh sesuai dengan konsep perkawinan. menjadi fasakh karena nikah ini dilakukan dengan niat nikah sementara. Para ulama memberikan pendapat bahwa perkawinan mut'ah ini tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari Al-qur'an. Mengingat tujuan perkawinan sendiri adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, tidak mungkin tujuan itu tercapai bila tempo perkawinan itu ditentukan singkat.

Nikah Muhhallil

            Nikah muhallil ini tidak ada didalam peraturan perundang-undangan, pelarangannya pun tidak tidak ada. Yang diatur didalam Kompilasi Hukum Islam hanya sebatas akibat dari talak ba'in kubro seperti dinyatakan pada pasal 120 KHI talak ba'in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Nikah muhallil sendiri digambarkan dengan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang sebelumnya telah ditalak 3 sesudah masa iddahnya, dan si istri menikah lagi dengan laki-laki lain, kemudian mantan suami si istri tersebut meminta kepada suami baru dari si istri untuk mentalaknya dengan Umar Haris Sanjaya & Aunur Rahim Faqih maksud agar bekas suaminya yang pertama dapat menikahi mantan istrinya kembali.

            Berikut beberapa hadist yang menjelaskan tentang pelarangan perkawinan muhallil, yang pertama adalah muhallil ini termasuk perbuatan yang diharamkan Allah SWT dan pelakunya akan mendapatkan laknat dari hadist yang diriwayatkan Abu dawud yang artinya "dari Ali RA berkata, Ismail mengetahuinya menemani Nabi Muhammad SAW bahwa nabi Muhammad SAW bersabda, Allah melaknat muhallil (yang kawin muhallil) dan muhallalnya (bekas suami yang menyuruh orang menjadi muhallil). (H.R Abu Dawud).

            Dari gambaran hadist diatas dapat dipahami bahwa perkawinan itu tidak dapat dilakukan secara main-main. Hal ini berlaku kepada perkawinan muhallil, praktek dimana perkawinan itu seolah-olah ada "settingan" yang terjadi sebagai konsekuensi atas talak 3 yang telah jatuh. Sebaik-baik perkawinan adalah perkawinan yang memang didasari atas niat yang baik, karena perkawinan adalah ibadah hamba Allah SWT kepada tuhannya.

Kelebihan dan Kelemahan Buku

            Didalam buku ini terdapat beberapa kelebihan, diantaranya memuat pendapat-pendapat para ahli. Penjelasan didalamnya juga dilengkapi dengan contoh yang dapat membantu pembaca dalam memahami isi penjelasan. Diakhir bab disertai kesimpulan sehingga pembaca dapat mereview materi pada bab itu dengan baik.  Akan tetapi di dalam buku ini juga terdapat beberapa kelemahan, yaitu penjelasannya terlalu panjang. Ada sebagian penjelasan yang mengandung makna tersirat yang membuat pembaca harus mengulang membaca paragraph tersebut. Banyak menggunakan bahasa ilmiah yang jarang didengar dan digunakan.

Manfaat

            Adapun manfaat buku ini bagi para mahasiswa hukum dan dosen hukum, yaitu buku ini banyak memuat materi-materi yang sangat bermanfaay bagi dosen maupun mahasiswa; materi didalam buku ini dapat dijadikan acuan dosen dalam mengajar; didalam buku ini terdapat tips-tips yang tersurat yang dapat dipakai dosen hukum dalam mengajar.

Nama : Viga Anesti Ramadhani

NIM : 212121116

Kelas : HKI 4D

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun