Mohon tunggu...
VIGA ANESTIRAMADHANI
VIGA ANESTIRAMADHANI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang Mahasiswa Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

14 Maret 2023   14:29 Diperbarui: 14 Maret 2023   14:33 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rukun dan Syarat Perkawinan

            Mempelajari tentang rukun dan syarat yang ada pada hukum perkawinan Islam di Indonesia, maka kesemuanya itu ada hubungan benang merahnya dengan prinsip perkawinan yang ada pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974. Mengingat umat Islam di Indonesia dalam konteks perkawinan tetap harus tunduk pada hukum Undang-undang yang berlaku, walaupun secara khusus fiqih munakahat juga membahas persoalan itu. Artinya walaupun tulisan ini mengkaji hukum perkawinan islam di Indonesia tetapi yang berlaku tetaplah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Asas yang terkandung didalam Undang-Undang no. 1 Tahun 1974 secara singkat terdiri atas 6 macam hal, seperti tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sahnya perkawinan baik secara keyakinan dan peraturan, berasaskan monogami terbuka, asas matang jiwa raga, asas mempersulit perceraian, kedudukan seimbang antara suami dan istri. Dari asas-asas tersebut, maka akan dirincikan menjadi rukun dan syarat-syarat dalam perkawinan. Adapun rukun nikah adalah :

  • Pengantin lelaki (Suami)
  • Pengantin perempuan (Isteri)
  • Wali
  • Dua orang saksi lelaki
  • Ijab dan kabul (akad nikah)

Terhadap rukun diatas, maka akan akan dapat dijabarkan bahwa syarat-syarat sah sebuah perkawinan itu antara lain :

  • Syarat adanya kedua mempelai
  • Syarat saksi dalam perkawinan
  • Syarat wali dalam perkawinan
  • Mahar
  • Syarat Akad (ijab qobul)

Sebuah perkawinan yang sudah siap diselenggarakan suatu saat dapat saja dicegah bila itu melanggar syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur didalam peraturan perundang-undangan. Hal ini berdasarkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 13 yang merumuskan bahwa perkawinan dapat dicegah berlangsungnya apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pencegahan ini bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang ternyata perkawinan itu hakikatnya dilarang bagi mempelai itu. Oleh karena itu sebelum perkawinan itu terjadi, sebaiknya dicegah terlebih dahulu. Pihak yang dapat melakukan pencegahan perkawinan pada prinsipnya adalah keluarga dari mempelai. Tetapi wali (wali nikah, wali pengampu) dari mempelai juga diberikan hak untuk ini sepanjang dapat dibuktikan kedudukannya. Pencegahan ini dilakukan dengan cara mengajukan permohonan pencegahan perkawinan ke Pengadilan Agama dan permohonan itu diberitahukan ke petugas pencatat nikah (Kantor Urusan Agama).

Selain pencegahan perkawinan, dalam hukum perkawinan terdapat pembatalan perkawinan. Yang mana perkawinan dapat dibatalkan, apabila sebelumnya ada suatu perkawinan yang diselenggarakan. Pembatalan perkawinan sesungguhnya tidak jauh dengan pencegahan perkawinan. Hanya saja bahasan pada pencegahan perkawinan terjadi sebelum akad nikah dan pencatatan dilakukan, sedangkan bahasan pembatalan perkawinan ini terjadi pada posisi ketika perkawinan itu sudah terjadi dan dicatatkan. Pembatalan perkawinan mulai dapat diberlakukan apabila sudah ada putusan dari Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Artinya putusan itu dibuat setelah dilakukan proses persidangan dan pembuktian di hadapan majelis hakim. Masa waktu pemberlakukan pembatalan dimulai sejak waktunya akad perkawinan atau saat berlangsungnya perkawinan. Tentunya putusan pembatalan perkawinan yang telah berkekuatan hukum tetap menimbulkan akibat hukum, seperti putusnya perkawinan.

Secara hukum kontkes hak dan kewajiban suami dan isteri ini terbagi dalam 3 konteks pembahasan. Itu semua diatur jelas dari 2 sumber hukum perkawinan di Indonesia yaitu undang-undang no. 1 tahun 1974 mulai dari pasal 30 hingga pasal 34 dan kompilasi hukum islam mulai dari pasal 77 hingga pasal 84 antara lain :

  • Kedudukan

Pria yang menikah maka ia disebut dengan suami yang didalam rumah tangga dinyatakan sebagai kepala rumah tangga. Sedangkan wanita yang menikah maka ia disebut dengan istri dan ia bertindak sebagai ibu rumah tangga. Baik suami atau istri masing-masing mempunyai kedudukan yang seimbang dimata hukum baik didalam rumah tangganya ataupun dimasyarakat.

  • Kewajiban suami dan istri

            Suami yang bertindak sebagai kepala rumah tangga mempunyai kewajiban yakni memenuhi kebutuhan keperluan berumah tangga, melindungi, mendidik, dan menjaga keutuhan rumah tangga. Sama halnya dengan suami, istri mempunyai kewajiban untuk mengurus urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Kewajiban utamanya adalah berbakti pada suami secara lahir batin. Disamping kewajiban masing-masing, mereka dalam berumah tangga mempunyai kewajiban bersama yaitu saling mencintai, saling menghormati, setia dan ikhlas secara lahir maupun bathin kepada sesama.

  • Kediaman

            Konteks bahasan yang selanjutnya adalah menyediakan tempat kediaman bagi mereka yang sudah kawin. Ini merupakan kewajiban bersama antara suami dan istri untuk mencari kediaman yang dapat ditinggali oleh mereka dan anak-anaknya selama berumah tangga.

Keabsahan perkawinan dan pencatatan perkawinan       

Keabsahan perkawinan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun