Mohon tunggu...
Vanesa Cintara
Vanesa Cintara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nama

I lead and create the dreams.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bisnisku Sempat Membisu akibat Pandemi

28 Juni 2021   20:06 Diperbarui: 28 Juni 2021   20:17 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Baru juga memulai usaha, semua dirempas oleh musim pandemi.. Huft."

Lima bulan sudah dua orang itu memangkas ruang gerak dan kerja mereka yang semula terpisah prefektur menjadi satu dalam petak apartemen milik Yosua.

Nathan yang baru saja memulai titik perjalanan baru tempat makan Nasi Hits di Jakarta tiba-tiba harus menghentikan kegiatan operasionalnya.

Terkadang ia masih tidak percaya, rasanya baru kemarin ia dengan bangga menggunting pita peresmian dan menggelar pesta kecil-kecilan bersama karyawan dan staf-staf barunya. Rasanya baru kemarin ia pulang-pergi Bandung-Jakarta demi menentukan lokasi terbaik bagi kedainya. Rasanya baru kemarin ia ribut memikirkan konsep dan furnitur agar sesuai dengan suasana metropolitan Jakarta tanpa melindas visi awal yang ia cipta. Rasanya baru kemarin ia berdiskusi panjang dengan si setter Rizky mengenai menu baru yang kiranya sesuai dengan preferensi lidah masyarakat Jakarta.

Adakalanya Nathan memikirkan apakah keputusannya melakukan ekspansi ke Jakarta waktu itu sudah tepat. Berbagai perandaian muncul bilamana ia lebih memilih fokus untuk mengembangkan cabang Bandung dan Bogor. Mungkin ia tidak perlu mengeruk habis uang simpanannya, mungkin juga kini ia bisa lebih fokus pada branding Nasi Hits di dunia maya, mungkin juga ia akan punya lebih banyak waktu mengembangkan resep-resepnya.

Mungkin juga ia tidak akan pernah berakhir di apartemen milik lelaki berkacamata ini.

"Nasi ayam geprek masakan Nasi Hits enak sekali, apa tidak berminat membuka cabang satu di daerah Jakarta?"

Ia masih mengingat Yosua dengan baik meskipun tidak lagi bertatap muka. Bagaimanapun, Yosua adalah salah satu pelanggan setianya di cabang Bogor. Tiap kali ia berkunjung ke Bogor, entah untuk pekerjaan atau berlibur atau menjenguk om nya di sana, ia selalu menyempatkan diri untuk bertamu ke Nasi Hits, begitu cerita yang seringkali ia dengar dari karyawan-karyawannya.

"Mas Nathan, hari ini dia datang lagi! Nggak ada laptop sih, kayaknya lagi liburan aja. Mas Nathan nggak kesini?"

Karena itulah, ketika Yosua mengulurkan bantuan bagi Nathan yang berencana merealisasikan berdirinya cabang Bandung nantinya, Nathan menerimanya dengan senang hati. Mulai dari membantunya memantau proses pembangunan, pemilihan menu, perizinan, semua dibawah asistensi Yosua.

Yosua menyadari pekerjaannya sebagai editor benar-benar menyita waktu, tetapi ia sendiri tidak merasa kerepotan karena Nasi Hits punya tempat tersendiri di hatinya.

Sejujurnya, justru Yosua merasa sedikit bersalah pada Nathan. Mungkin apabila ia tidak mengutarakan isi hatinya segamblang itu ketika mereka bertemu lagi di Cilandak Jakarta Selatan, hal seperti ini tidak akan terjadi. Mungkin Nathan tidak perlu merasa tak berdaya karena terancam tidak mampu menghidupi para pekerjanya bulan depan. Mungkin Nathan tidak perlu membawa pulang bahan-bahan masakannya---yang jumlahnya tak terkira meskipun telah dibagi-bagi---ke apartemen Yosua yang kosong.

Dan satu solusi kecil yang bisa ia tawarkan pada Nathan yang saat itu porak-poranda hanyalah sepetak tempat tinggal hingga keadaan membaik. Ia tahu, Nathan berkorban banyak demi keberlanjutan cabang Jakarta-nya hingga ia tidak sempat memikirkan dimana ia akan tidur sementara biaya sewa begitu tinggi namun lalu lintas keluar dan masuk Jakarta ditutup total.

"Nat, sampai keadaan membaik, ke apartemenku saja."

"Yos, kulkasmu kosong?"

Satu hari setelah Nathan resmi menetap di apartemen Yosua, ia kaget bukan main melihat kulkas Yosua yang tidak menunjukkan tanda pernah disinggahi sesuatu. Baru kali ini ia melihat kulkas seseorang begitu kelompang. Sejak kecil ia telah diajari bahwa tidak boleh meninggalkan kulkas dalam keadaan kosong, harus ada sesuatu yang dapat dimasak.

Yosua, masih sibuk menata laptop dan tumpukan pekerjaannya di meja ruang tengah---mulai hari ini ia resmi bekerja dari rumah, menatap Nathan di seberang ruangan dengan canggung.

"Maaf, aku selalu pulang larut, jadi biasanya beli take away."

Nathan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Risau. Yosua perlahan merusak dirinya sendiri dan hal itu membuatnya tidak nyaman. Ia harus melakukan sesuatu. "Jangan gitu, nggak sehat. Selama aku disini, aku yang masak ya? Itung-itung buat ganti biaya sewa."

Yosua terkejut, hampir menjatuhkan laptopnya. "Eh, nggak per---"

"Tidak terima penolakan. Sekarang aku ke kedai dulu ambil bahan ya, siap-siap apartemenmu penuh makanan, aku kalo masak nggak tanggung-tanggung soalnya, dah Yos."

Bersama dengan pernyataannya, si rambut kelabu menghilang dari lanskap Yosua, menyisakan Yosua yang masih membisu.

Nathan keluar dari kamar mandi dan bersiap untuk tidur ketika ia melihat Yosua masih berkutat dengan laptopnya. Sorot matanya lelah, namun manik birunya masih gesit berpindah-pindah dari kertas ke layar laptop yang menyala.

"Yos, ini sudah jam 11 malam. Sudah sebulan ini kamu tidur larut terus. Masih ada besok."

Jujur saja, Nathan khawatir akan kesehatan teman satu apartemennya ini. Sudah sebulan ia menetap disini dan juga sudah sebulan pula Yosua tidak pernah tidur dibawah jam 12 malam. Karena penasaran kapan Yosua tidur, pernah satu malam Nathan memantau dari kamar tamu, memasang pendengarannya. Ditengah kesadarannya yang terombang ambing antara realita dan angan, pintu kamar Yosua akhirnya tertutup dan apartemen mereka meredup hening pada pukul 3 pagi.

Yosua menyesap cangkir kopi yang tak disadarinya telah tandas. Mendengar suara bariton Nathan, kesadarannya kembali ke realita. Ia melirik penanda waktu di kanan bawah laptop, masih belum terlalu malam.

Ia melempar senyum tipis ke arah Nathan yang menatapnya gusar dari pintu kamar mandi. Selembar handuk biru masih menggantung di leher, menampung tetes air yang mengalir dari rahang tegasnya, membuat konsentrasinya sedikit terganggu.

Fokus, Yosua, fokus.

Dialihkannya pandangan pada deret teks membosankan yang sudah ia hadapi seharian. Tidak lagi mengacuhkan kehadiran dan tatap gusar dari penghuni kamar tamunya selama sebulan terakhir.

Percuma.

Fokusnya berantakan.

"Satu halaman lagi ya, Than."

Nathan menghela napas keras-keras, sengaja agar didengar. Didekatinya Yosua yang kembali menelisik tulisan di layar, maniknya sedikit menyipit karena silau layar laptop Keiji begitu kontras dihadang redupnya lampu ruangan.

Kekhawatirannya makin menjadi.

"Minggu lalu kamu juga bilang gitu tapi malah ketiduran disana sampai pagi, terus demam. Nggak, Yos, tidur. Sekarang."

Suara baritonnya memberat dan memaksa, Yosua sedikit bergidik. Nathan sudah penat.

Yang dinasihati hanya mampu menggertakkan gigi, tahu apa yang dikatakan lawan bicaranya benar. Ia menghela napas, mengaku kalah. Kacamata dilepas, dipijitnya batang hidung yang lembap dan membekas karena terlalu lama menyokong alat bantu melihatnya.

"Baiklah. Aku tidur sekarang."

Dirapikannya naskah-naskah yang berserak sembari menunggu laptopnya meredup. Hari ini ia begitu kacau, terlalu tertekan karena tenggat waktu yang makin menghimpit.

"Sini, aku bantu."

Nathan membereskan meja ruang tengah---dimana sebulan ini beralih fungsi jadi meja kerja Yosua---yang kotor oleh remahan kacang, kulacino dari kopi hitam, dan beberapa lembar gumpalan kertas coretan tangan. Cukup berantakan untuk ukuran Yosua yang menjunjung konsistensi dan keteraturan. Nathan seketika menyadari sang editor sedang berada di fase stress dan tertekan, mungkin diburu tenggat waktu.

Setelah mengawasi dan memastikan Yosua mencuci muka dan menggosok gigi dengan benar dari luar pintu kamar mandi---hal ini demi mencegahnya mencuri kesempatan menyentuh naskah lagi, sungguh, Nathan menuju kamar tamu dan menutup pintu sembari membisik selamat tidur pada punggung Yosua yang tengah mengelap wajahnya.

Satu Minggu pagi, Yosua yang baru saja terbangun melihat satu pemandangan yang cukup jarang dijumpainya; Nathan yang sedang berdiri menyendiri di balkon. Ia menepuk bahu Osamu lalu sedikit terkejut kala melihat manik abunya yang sedikit sembab.

"Than, ada apa?"

Nathan tersentak, lalu memalingkan muka sembari mengusap wajahnya sekilas. Pandangnya kemudian dikembalikan pada Yosua. Bibirnya ia tarik paksa membentuk segaris senyum tipis.

"Tidak apa-apa."

Satu alis Yosua terangkat. Dugaannya benar. Semalam, ketika kesadarannya mulai meredup, ia mendengar isak kecil dan putus-putus dari luar kamarnya. Sedikit bergidik karena tidak pernah mengalami hal yang berbau supernatural di apartemennya, ia kumpulkan kesadarannya yang tercerai dan memasang pendengaran.

Wastafel menyala deras diiringi cipratan air yang tak beraturan, praduga Yosua hal itu dilakukan untuk menyamarkan tangisannya. Hal itu berlangsung selama tiga puluh lima menit, terhitung sejak jam dua lewat lima dini hari. Kemudian pintu kamar tamu tertutup dan apartemen Yosua kembali sunyi.

"Nggak ada orang yang bilang 'tidak apa-apa' dengan mata sembab begitu. Semalam abis nangis, kan? Sini cerita. Udah tiga bulan kita tinggal satu atap, percuma kalau masih merasa sungkan."

Yosia mengucapkan kalimat itu dengan nada bicaranya yang datar seakan tidak berarti apa-apa sementara pikiran Osamu telanjur melayang ke berbagai kemungkinan. Yosia memerhatikan air muka lawan bicaranya yang mendadak berubah panik sebelum akhirnya ia berdeham.

"Ehm.... jadi kan udah hampir tiga bulan cabang Jakarta tutup dan pindah ke pelayanan online...."

"Iya. Penjualan juga lancar-lancar aja, kan?"

Nathan terdiam sejenak. "..... Iya, tapi kadang aku masih merasa bersalah sama orang-orang yang terpaksa aku berhentiin, Yos." Sorot mata Nathan menerawang jauh entah kemana. "Rasanya kayak berhasil nabung buat ke Bali tapi waktu mau pergi ke Bali malah tutup sampai entah kapan. Udah seneng dapet kerjaan, tapi ketika baru mulai udah harus berhenti. Kan sakit."

Yosua mendekat selangkah, amati lamat-lamat garis wajah lawan bicaranya yang memerah. "Than, kita semua tau nggak ada yang menginginkan keadaan kayak gini juga, kan?"

Nathan membenamkan wajah dalam telapaknya. Entah karena malu atau frustasi. "Iya, tapi..."

"Kamu udah berkorban banyak. Aku tau tabungan kamu sampai hampir habis karena maksain diri mau ngasih pesangon yang lumayan banyak, biar mereka bisa punya bekal sementara buat melanjutkan hidup. Aku tau kamu masih rajin memantau kondisi mereka semua lewat sosial media, memastikan semua yang bekerja denganmu sehat dan terjaga. Aku tau kamu juga masih suka kirimin makanan atau hasil eksperimenmu, meminta saran dan masukan padahal mereka bukan siapa-siapa."

Manik kelabu Nathan melebar dengar tutur panjang dari Yosua. Ia tidak menyangka dibalik fasad Yosua yang begitu acuh tak acuh dan kaku, lelaki itu memerhatikan tiap detil gerak-geriknya dalam diam, tanpa interupsi.

Yosua tersenyum, tangannya menepuk lalu mengelus punggung lebar Nathan, menenangkan dirinya yang tengah kacau.

"Aku tau kamu sudah melakukan yang terbaik sebisa kamu. Terima kasih."

Rasanya Nathan ingin menangis lagi dengar apresiasi Yosua yang muncul dari hati.

Pagi itu di balkon apartemen Yosua, berlatar langit Jakarta di musim panas dan hembusan angin dari timur yang menyejukkan, dengan wajah polos Yosua yang dibias sempurna oleh matahari pagi penuhi lanskapnya, Nathan jatuh cinta.

Yosua tengah membaca buku ketika Nathan memasak nasi goreng untuk sarapan mereka. Sebuah pemandangan pagi hari selama lima bulan terakhir yang baginya kini terasa hangat dan familiar. Aroma bumbu mengudara di sepanjang apartemen, membuat perutnya mengerang lapar.

Tidak lagi fokus membaca, Yosua memilih berjalan menghampiri lelaki berambut abu yang kini asyik menggoreng nasi. Ekspresinya terlihat begitu hidup bila tengah memasak. Pemandangan yang diam-diam menjadi favoritnya.

"Than, hari ini ke kedai?"

Nathan meliriknya sekilas sebelum mengusap pelipisnya yang sedikit berkeringat karena terpapar panas kompor.

"Iya, cuma sejam-dua jam aja, soalnya buat pengawasan rutin."

Yosua berpindah menuju meja panjang yang biasa mereka gunakan untuk makan. Ia mengambil satu lap basah lalu membersihkan meja sebelum mulai menyiapkan perkakas makan mereka berdua.

 

Piring lebar dan datar untuk Nathan, piring yang lebih kecil dan cekung untuk dirinya. Sepasang sendok dan garpu ukuran sedang. Satu cangkir kopi panas untuknya dan satu gelas panjang teh hijau hangat untuk Nathan.

"Oke." Yosua duduk di tempat biasanya, sisi kiri yang lebih dekat dengan ruang tengah yang memudahkannya mengintip tayangan televisi.

"Yos, ada deadline lagi hari ini?" Nathan menuang nasi goreng masakannya di hadapan Yosua. Menghiasnya sedikit dengan saus, lalu selesai. Siap untuk dimakan.

Bagian favorit Yosua adalah ketika Nathan membantu membelah telur setengah matang dengan sumpit yang ia siapkan untuknya, lalu isinya yang lembut meluber memenuhi piring Yosua. Seperti di restoran ketika pertama kali kita akhirnya keluar buat makan bersama, timpal Yosua dalam satu waktu. Yosua lalu ambil dan tiup satu sendok penuh sebelum melahapnya.

Satu suapan berhasil ditelan. Enak, semua yang Nathanbuat dengan tangannya selalu menakjubkan. "Nggak, hari ini mau off dulu. Nanti mungkin aku aja yang belanja ya, biar nggak repot?"

"Hah?" Nathan tersentak bingung, lalu maniknya berlari melirik kalender di dekat kulkas. Dilingkari oleh spidol biru muda di angka tiga belas, tertulis tanda unik yang sudah mereka hafal selama lima bulan tinggal bersama: belanja bulanan.

"Oh iya, hari ini ya. Jangan deh, kamu masih belum jago milih buah sama sayur yang bagus."

Yosua mendengus sebal.

Nathan tertawa gemas.

"Nanti kita ketemuan aja. Atau kamu mau ikut aku ke kedai?"

Seluruh cabang Nasi Hits kembali buka dengan protokol ketat sejak dua minggu lalu. Bahkan Nathan mengurangi jumlah meja dan kursi untuk menghindari kemungkinan terburuk dan memperbanyak pos-pos drive thru. Jalur transportasi juga mulai berjalan kembali. Perlahan, aktivitas mulai berjalan seperti sedia kala.

Nathan pergi ke kedai setiap Senin, Rabu, dan Jumat. Sekadar memantau atau juga turun langsung menemui pelanggan. Tangannya makin lihai dalam memasak mkanan lokal Indonesia, pun ditambah dengan rilisnya berbagai variasi baru untuk merayakan dibukanya kembali Nasi Hits

Yosua masih bekerja dari meja ruang tengah apartemen, sesekali ia pergi ke kantornya bila ada pertemuan atau diskusi. Apartemennya yang dulu terasa hening dan kosong, sejak lima bulan terakhir menjadi jauh lebih hangat dan beraroma. Siapa kira, uluran tangan yang dulu ia berikan pada orang lain rupanya juga berbalik menolong dirinya sendiri dengan cara yang tak ia duga.

"Boleh. Kangen juga makan di Nasi Hits." Ia tersenyum memandang Nathan yang memakan lahap nasi bebek kremes di sampingnya. Jemarinya meraih surai kelabu Nathan lalu mengacaknya gemas.

Nathan balas menatapnya dan tersenyum.

Lima bulan sudah dua orang itu memangkas ruang gerak dan kerja mereka yang semula terpisah prefektur menjadi satu dalam petak apartemen milik Yosua.

Dan akan selamanya seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun