Nathan tersentak, lalu memalingkan muka sembari mengusap wajahnya sekilas. Pandangnya kemudian dikembalikan pada Yosua. Bibirnya ia tarik paksa membentuk segaris senyum tipis.
"Tidak apa-apa."
Satu alis Yosua terangkat. Dugaannya benar. Semalam, ketika kesadarannya mulai meredup, ia mendengar isak kecil dan putus-putus dari luar kamarnya. Sedikit bergidik karena tidak pernah mengalami hal yang berbau supernatural di apartemennya, ia kumpulkan kesadarannya yang tercerai dan memasang pendengaran.
Wastafel menyala deras diiringi cipratan air yang tak beraturan, praduga Yosua hal itu dilakukan untuk menyamarkan tangisannya. Hal itu berlangsung selama tiga puluh lima menit, terhitung sejak jam dua lewat lima dini hari. Kemudian pintu kamar tamu tertutup dan apartemen Yosua kembali sunyi.
"Nggak ada orang yang bilang 'tidak apa-apa' dengan mata sembab begitu. Semalam abis nangis, kan? Sini cerita. Udah tiga bulan kita tinggal satu atap, percuma kalau masih merasa sungkan."
Yosia mengucapkan kalimat itu dengan nada bicaranya yang datar seakan tidak berarti apa-apa sementara pikiran Osamu telanjur melayang ke berbagai kemungkinan. Yosia memerhatikan air muka lawan bicaranya yang mendadak berubah panik sebelum akhirnya ia berdeham.
"Ehm.... jadi kan udah hampir tiga bulan cabang Jakarta tutup dan pindah ke pelayanan online...."
"Iya. Penjualan juga lancar-lancar aja, kan?"
Nathan terdiam sejenak. "..... Iya, tapi kadang aku masih merasa bersalah sama orang-orang yang terpaksa aku berhentiin, Yos." Sorot mata Nathan menerawang jauh entah kemana. "Rasanya kayak berhasil nabung buat ke Bali tapi waktu mau pergi ke Bali malah tutup sampai entah kapan. Udah seneng dapet kerjaan, tapi ketika baru mulai udah harus berhenti. Kan sakit."
Yosua mendekat selangkah, amati lamat-lamat garis wajah lawan bicaranya yang memerah. "Than, kita semua tau nggak ada yang menginginkan keadaan kayak gini juga, kan?"
Nathan membenamkan wajah dalam telapaknya. Entah karena malu atau frustasi. "Iya, tapi..."