Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Belajar untuk menjadi bagian dari penyebar kebaikan

BEKAS ORANG GANTENG, Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Si Piyu

21 September 2020   00:00 Diperbarui: 21 September 2020   00:22 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meskipun kerap sepi pembeli tapi dia terus berjualan. Biasanya lewat tengah hari setelah pasar sepi dia menutup lapaknya. Sisa daganganya dijajakan  di sepanjang perjalanan pulangnya. Jika sampai di rumah masih tetap tersisa,  Mak Juminah-lah yang kemudian memasaknya atau memberikannya kepada tetangga.

Meskipun sifat kekanak-kanakannya masih tampak dominan, tapi kini dia jauh lebih dewasa dibanding dengan  beberapa tahun sebelumnya. Maklumlah, dia terlahir dengan kondisi  mental yang istimewa. Ayahnya meninggal dunia ketika dia masih kanak-kanak. Ibunya kewalahan mengurusinya. Dia pun tak pernah bisa mengenyam pendidikan sebagaimana mestinya.

Dia pernah ditolak ketika hendak masuk SD karena dikhawatirkan tidak dapat mengikuti pelajaran. Tak ada orang yang sanggup dengan telaten mengajarinya baca-tulis sesuai dengan kemampuannya, pun  guru ngaji yang pernah didatanginya.  Setiap pelajaran yang disampaikan kepadanya  seperti tak sedikitpun ada yang menyangkut di benaknya.  

Selain karena kondisinya yang serba kekurangan, orang-orang mengasihinya lebih karena dia anak yatim. Dia kerap menerima pemberian yang diatasnamakan sebagai sedekah.

Bahkan setiap 'lebaran yatim' tanggal sepuluh Muharam dia selalu hadir dan masuk antrean bersama anak-anak yatim lainnya untuk mendapatkan santunan. Dia pun senang karena mendapat uang.

Orang-orang tak luput dari mengusap kepalanya. Mereka berharap pahala sunah. Hanya dia penerima santunan anak yatim yang paling tua. Panitia belum berniat mencoret namanya. Dia masih dianggap layak. "Kamu lagi kamu lagi!" cetus seorang panitia membecandai.

Biasanya sekadar untuk membeli jajanan dia selalu punya uang. Jika tidak punya uang dia kerap memintanya kepada siapa saja yang dijumpainya. Tidak banyak yang dimintanya, hanya seribu rupiah. "Minta duit ebu!"  pintanya dengan tangan menadah. Jika diberi uang lima ribuan atau lebih dia menolak. Yang dia mau hanya seribu rupiah karena baru itu yang dia tahu.

Bahkan sampai usianya kepala tiga dia masih menjadi peminta-minta. Kalau hanya diminta seribu rupiah orang pun tidak keberatan. Jika kebetulan sedang tak ada uang, orang dewasa kerap memberinya sebatang rokok. Dia tidak menolak. Dia diajari merokok, selanjutnya dia ketagihan. Jadilah dia perokok layaknya kebanyakan orang dewasa.

Ibunya tak dapat mengendalikan kebiasaannya itu. Seperti knalpot lokomotif, setip hari dari mulutnya mengepul asap rokok. Pada usia dewasanya kini, tampak jelas efek merokok pada penampilannya. Mulutnya berbau rokok, giginya kuning dan sebagian hitam. Dia juga  sering batuk-batuk.

Sebagian besar waktunya digunakan untuk bermain layaknya kebanyakan anak-anak.  Namun dia tak punya banyak teman kecuali beberapa anak saudaranya. Satu-satunya teman yang selalu menyertainya adalah sebuah radio kecil.

Bahkan saat tidur pun radio itu selalu berada di sampingnya. Di saat anak-anak lain dari keluarga muda mulai bermain dengan ponsel layar sentuh, gadget atau tablet dia masih tetap asik dengan radio transistornya itu. Sekali-sekali dia juga bermain ponsel mainan.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun