Mohon tunggu...
USMAN HERMAWAN
USMAN HERMAWAN Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA

Belajar menebar kebaiakan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hati yang Kembali

9 Mei 2021   22:34 Diperbarui: 9 Mei 2021   22:35 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suradin belum dapat memberikan jawaban pasti atas permintaan Mak Badriah, ibunya. Dengan panjang lebar Mak Badriah  telah menyampaikan hal terkait perjodohannya dengan Nurma, gadis anak tetangganya. Mak Badriah mengharapkan gadis itu menjadi menantunya, yang berarti berbesanan dengan Umi Salimah, sahabat di masa kecilnya yang masih ada hubungan kekerabatan. Berarti juga berbesanan dengan orang berada, keluarga baik-baik, terpelajar dan terpandang di lingkungannya.  

Suradin telah lulus kuliah dua tahun lalu dan kini menjadi guru di Madrasah Aliyah swasta, sedangkan Nurma baru beberapa bulan meraih gelar sarjana komunikasi di kampus ternama di Semarang. Menurut perhitungan Mak Badriah, jika Suradin berjodoh dengan Nurma akan banyak kebaikannya. Oleh karena itu ketika ibunda Nurma mengajak berbesanan Mak Badriah segera menanggapinya dengan sikap positif.

Menyusul, Mak Badriah mimpi bertemu Haji Murad, ayahanda Nurma. Kata Haji Murad, perjodohan Nurma dan Suradin harus dijadikan. Mak Badriah mempercayai mimpinya itu sebagai petunjuk dari yang mahakuasa.

"Bagaimana Sur, kamu mau kan?" Mak Badriah mengulang pertanyaannya.

Suradin masih enggan menjawab. Dia khawatir jika menjawab 'tidak' akan melukai perasaan ibunya.

"Kita ini apalah Sur dibanding dengan keluarganya. Mak kira kalian sepadan, sama-sama sarjana, meskipun beda jurusan. Beda jurusan kan tidak apa-apa, asal jangan beda keyakinan, beda agama."

"Mak, beri saya waktu beberapa hari untuk mempertimbangkannya."

"Nurma itu cantik, Sur. Anaknya sudah ditanya, katanya mau. Katanya, kamu orangnya baik Sur. Dewasa. Dia cocok sama kamu Sur. Kesempatan bagus tidak datang dua kali Sur."

"Sudahlah Mak, sekarang Mak tenang saja." Suradin enggan bicara lebih banyak.

"Segera beri jawaban Sur. Kamu jangan ragu meskipun kita tidak punya cukup biaya untuk menikahinya. Haji Murad bersedia menanggung biaya resepsi pernikahannya nanti. Untuk mas kawin yang penting cukup syarat, Sur. Nurma tidak akan meminta yang macam-macam. Dia mengerti keadaan kita. Kalau cincin emas tiga gram dan seperangkat alat salat mudah-mudahan bisa kita usahakan."

"Coba Mak rundingkan juga hal itu dengan bapak."

"Bapakmu ikut saja. Dia pasti setuju Sur. Dia sudah menyerahkan urusan ini kepada mak."

"Bapak setuju?"

"Tentu."

"Bagaimana jika ada risiko biaya yang harus dikeluarkan nanti, bapak  menyerahkannya kepada Mak juga?"

"Kalau soal itu, harusnya tidak begitu Sur. Bebannya ditanggung bersama. Tapi keluarga Haji Murad sangat memahami keadaan ekonomi kita. Jika kalian menikah nanti, keluarga Haji Murad bersedia menanggung semua biayanya. Ibarat kendaraan, kamu tinggal naik Sur. Enak."

"Seperti jamaknya orang lain, sebagai barang serahan, berapa uang yang bisa kita serahkan?"

"Semampu kita Sur, walaupun mereka tidak minta."

"Yakin begitu?"

"Tentu."

"Tidak akan menanggung malu nantinya?"

"Tidak perlu malu, Sur. Kita saling pengertian."

"Tolong pertimbangkan masak-masak, Mak."

"Apanya yang mesti dipertimbangkan? Semuanya baik-baik saja kok. Kamu itu, mau dibantu seperti tidak semangat."

"Maaf, bukan begitu Mak, aku cuma khawatir terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Maksudku, tempat tinggal kita berdekatan, jika ada masalah sedikit saja khawatir jadi sengkarut."

"Kamu itu Sur, buruk pikir. Pokoknya bismillah, secepatnya kita urus pernikahanmu. Menunda-nunda jodoh tidak baik."

"Terserah Mak-lah."

Mak Badriah ke dapur, sesaat kemudian kembali. Disodorkandannya secangkir minasarua dan beberapa iris dodol wedu pemberian Umi Salimah. "Minumlah  Sur biar badanmu hangat dan tambah segar. Calon  pengantin tidak boleh loyo, harus semangat."

Baru saja Suradin meneguk minasarua, Umi Salimah datang dan beruluk salam. Dia meminta ijin kepada Mak Badriah untuk meminta tolong kepada Suradin. Dengan senang hati Mak Badriah mempersilakan.

"Sur kalau kamu tidak sedang sibuk, umi minta tolong bisa?"

"Minta tolong apa Mi?"

"Itu  motormu bisa dipakai?  Kalau tidak, pakai motor aji saja di rumah."

"Motor ini  juga bisa dipakai, Mi."

"Kalau begitu, tolong jemput Nurma di Bank BRI dekat pasar."

Suradin terhentak dan jengah sejenak, tapi tak ada alasan untuk menolaknya. "Baiklah Mi."

"Tolong segera Sur, takut keburu selesai urusannya di sana. Cuma tarik tunai uang pembayaran kedelai dari orang Makasar."

Suradin segera tancap gas. 

Keempat mata tertuju pada keberangkatan Suradin, lalu beradu pandang seraya berurai senyum.

"Dari Makasar ada transferan dua puluh juta ke rekening aji," Umi Salimah menegaskan.  Dua hari lalu Haji Murad mengirim dagangan kedelai kepada pelanggannya melalui pelabuhan Kota Bima.

***

Seperti biasa Bank BRI disesaki nasabah. Namun Suradin tidak mengalami kesulitan mendapati Nurma di antara banyak orang. Setelah hampir sepuluh menit Suradin menanti, Nurma pun keluar. Tak ada ketekejutan pada Nurma begitu melihat Suradin karena sejak awal sudah tahu bahwa ibunya akan menyuruh Suradin untuk menjemputnya. 

Inilah pertemuan kali pertama sejak orang tua mereka serius menyepakati perjodohan. Suradin berusaha menunjukkan sikap berempati kendati sebenarnya perasaannya biasa saja. Tak ada rasa tak suka, juga tak ada ketertarikan sebagai lawan jenis. Namun  demi memenuhi harapan Mak Badriah, Suradin berusaha menepis egonya. Dia pun menyadari, jika tuhan berkenan, dalam waktu dekat Nurma akan menjadi jodohnya. Seperti kata orang, pikir Suradin, cinta bisa tumbuh belakangan.

"Sur, boleh aku minta antar ke rumah temanku di Rasabou?"

Suradin mengangguk.

"Kau tidak keberatan Sur?"

"Dengan senang hati."

"Poda ro, benarkah?"

"Ayolah."

"Terima kasih Sur, kau baik sekali."

Mereka bergerak meninggalkan area Bank BRI, berboncengan menuju Rasabou, lalu kembali ke Kananga. Kedekatan mereka disaksikan berpasang mata para tetangga. Hal itu makin menguatkan kabar burung bahwa perjodohan keduanya adalah benar.

Tiba di rumah Nurma, Suradin dibahasakan Umi Salimah dengan sangat santun, bahkan terkesan berlebihan. "Silakan minum Sur."

"Terima kasih Umi."

"Terima kasih yah Sur. Umi percaya sama kamu. Kamu akan menjadi imam yang baik bagi Nurma."

"Insya Allah Umi."

"Semoga kamu tidak keberatan jika Umi mengharapkan agar hubungan kalian segera dihalalkan."

"Maaf  Umi, kalau soal itu saya terserah Mak dengan Umi saja."

"Baiklah, nanti Umi akan bicara dengan Mak kamu. Tidak ada yang ditunggu bukan? Maksud Umi, maaf, misalnya menunggu jadi pegawai negeri dulu."

"Ah, tidak perlu ditunggu Umi, tidak ada kepastian, saya berserah diri saja kepada Allah, tapi kalau ada kesempatan seleksi saya pasti ikut."

"Ya ya ya, yang penting ikhtiar yah."

"Iya Mi."  

Dari sikap Suradin yang demikian Umi Salimah dapat menyimpulkan bahwa Suradin bersedia dijodohkan dengan putrinya. Tidak terdengarnya suara sumbang dari tetangga yang menyatakan keberatan dimaknai sebagai dukungan moral. Hemat mereka, berjodoh dengan tetangga banyak kebaikannya, terlebih mereka masih ada hubungan kerabatan.

Selanjutnya, Umi Salimah meminta Mak Badriah untuk segera melamar putrinya. Gayung bersambut, Mak Badriah segera bertindak. Segala kemampuan dikerahkan, hingga terkumpullah sejumlah uang.   

Mak Badriah mengutus kerabatnya, yakni Abu Heso, Nur Sani, dan Armana untuk melamarkan. Hasilnya, tentu saja, lamaran diterima dengan senang hati. Kabar lamaran tersebut segera diketahui para tetangga.

Berselang dua hari, seorang gadis bernama Haryanti datang bertamu diterima Mak Badriah. Dia mengaku sebagai pacar Suradin. Mak Badriah tercengang, tidak menyangka Suradin punya pacar, berjilbab, cantik pula parasnya.

 "Benarkah Suradin telah melamar gadis, Bu?"

Mak Badriah mengangguk. "Dilamarkan." 

Seketika air mata Haryanti meleleh. Suradin yang datang kemudian tak bisa berkata-kata. Tangis Haryanti pecah. Seraya tersedu Haryanti menumpahkan isi hatinya. "Kamu tega Sur. Tak ada laki-laki lain di hatiku. Demi Allah Bu, hanya Suradin yang saya harapkan kelak menjadi pendamping hidup saya, menjadi imam saya dan anak-anak kami kelak. Saya menyayanginya, Bu. Saya tolak seseorang yang berminat terhadap saya, tidak peduli dia dari keluarga berada. Kamu tega Sur. Padahal belum sebulan kita bertemu. Kamu mengatakan akan menikah denganku. Pembohong kamu!"

Suradin tertunduk, matanya meleleh. "Maafkan aku Har."

Mak Badriah menaruh iba. "Ibu juga minta maaf, Dik Har. Ibu tidak tahu, tapi mau bagaimana lagi. Sudah jalannya begini. Rencana pernikahan tidak bisa dibatalkan. Mungkin kalian memang bukan jodoh. Semua berjalan seijin Allah."  

Napas Haryanti tersengal, "Saya kecewa, Bu."

Mak Badriah berkaca-kaca. "Ya, ibu paham. Tabahkan hatimu Dik. Semoga Adik mendapat jodoh yang lebih baik dari Suradin. Ikhlaskanlah Suradin berjodoh dengan orang lain. Kami minta maaf. Lebih baik kalian bersahabat saja. "

Menyadari nasi telah menjadi bubur, perlahan emosi Haryanti mereda. "Maafkan saya Bu, kedatangan saya telah mengganggu. Saya mohon pamit."

"Tolong sampaikan salam ibu kepada orang tuamu Dik."

Ketika Haryanti hendak menghidupkan sepeda motornya Suradin mendekat, "Har aku minta maaf. Aku tidak bisa menolak."

Haryanti tak menanggapi.

Suradin tak bisa berkata-kata lagi.

Haryanti segera tancap gas.

"Hati-hati Har!" Batinnya disesaki rasa bersalah.

***

 Sekitar pukul sepuluh akad nikah berlangsung di kediaman mempelai wanita, dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak serta para tetangga. Selanjutnya, bakda zuhur kedua mempelai bergaun pengantin dengan sedan merah bergerak ke Gedung Sakinah, sekira dua kilometer jaraknya. Acara resepsi dimeriahkan dengan musik organ tunggal. Para tamu yang datang menikmati hidangan yang disediakan dengan iringan lagu yang dinyanyikan sang vokalis wanita. Pesta berlangsung lancar, selama tiga jam.    

Malam pertama, malam yang banyak diceritakan orang sebagai malam istimewa tak dirasakan Suradin. Tak ada sensasi yang berarti. Ibarat persneling, giginya masih netral. Suradin belum bisa tancap gas. Apanya pula yang hendak digas? Kendaraannya saja tak ada kunci kontaknya. Suradin gamang. Kebersamaannya di tempat tidur tak sesuai harapannya. Nurma selalu membelakangi.

Malam kedua, kejadian serupa terulang. Bantal guling berada di tengah sebagai penghalang.

"Nur, kenapa kamu selalu begitu?"

"Kamu tidur sajalah!" Nurma bangkit dan keluar kamar.

Suradin berusaha bersabar. Pikirnya, masih ada malam-malam lain yang memungkinkan menghadirkan sensasi tak terduga. Dicobanya memejamkan mata untuk tidur pulas, tapi gagal hingga kemudian Nurma kembali.

 "Astaga, kenapa kamu malam-malam begini makan mangga muda Nur? Asam. Bisa sakit perut nanti."

"Lagi mau."

Suradin berpikir beberapa jenak. "Jangan-jangan ..."

"Benar Sur. Sejujurnya aku katakan, sampai malam ini tak ada rasa cinta di hatiku. Hambar Sur. Kukira cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Ternyata tidak. Sekarang aku ngidam. Ini sudah bulan ketiga."

"Kamu hamil?"

"Ya."

"Astagfirullah, pantas .... Kenapa kamu mau saja dijodohkan dengan aku?  Pernikahan kita tidak sah. Sebenarnya aku curiga, tapi aku buang jauh-jauh pikiran buruk itu demi menghomati martabatmu sebagai perempuan, juga martabat keluargamu."

"Aku minta maaf."

"Tidak ada maaf. Kalian bersekongkol menipu aku."

 "Ini salahku Sur. Umi dan yang lainnya tidak tahu."

"Terserah. Aku pulang sekarang juga!

Dengan membawa barang pribadinya Suradin keluar rumah tanpa pamit kepada Umi Salimah dan Haji Murad. Pikirnya, biarlah mereka tahu dengan sendirinya.

***

Mak Badriah menangis. "Maafkan Mak Sur. Mak menyesal menjodohkan kamu Sur."

"Biarlah segala sesuatu menemui takdirnya Mak. Kita hanya tinggal menjalani. Kesedih dan penyesalan Mak tak akan mengembalikan kita kepada posisi semula. Mungkin ini jalan yang harus saya tempuh untuk sampai kepada keadaan yang membahagiakan. Mak jangan bersedih."

"Saya masih sanggup menghadapi kenyataaan ini Mak."

"Mak malu kepada orang-orang Sur. "

"Mak jangan keluar rumah dalam beberapa hari."

Dalam waktu yang relatif singkat kabar memalukan itu diketahui warga sekampung. Sebagian besar mereka murka terhadap keluarga Haji Murad. Bahkan seorang paman Suradin hendak melaporkannya ke polisi namun dicegah oleh ayah Suradin.

Bulan terus berganti, kandungan Nurma terus membesar hingga tiba saatnya untuk melahirkan. Nurma dibawa ke rumah sakit umum kabupaten. Tak ada kendala berarti dengan proses melahirkannya. Bayinya laki-laki. Kabar itu pun segera diketahui keluarga Mak Badriah.

Seorang anggota keluarga Umi Salimah datang menanyakan Suradin. Kebetulan Suradin sedang tak ada di rumah. 

"Ada apa?" tanya Mak Badriah.

"Minta KTP Suradin, atau fotokopinya."

"Untuk apa?"

"Permintaan bidan, untuk syarat administrasi."

Tanpa pikir panjang Mak Badriah mencarikannya. Didapatilah tiga lembar fotokopi Suradin dan diberikannya.

"Bukan cucuku," gumam Mak Badriah membatin.

Berarti secara administrasi ayah bayi itu Suradin. Setelah mengetahui hal itu Suradin marah. Kemarahannya diekspresikan dengan cara membanting gelas yang kebetulan ada di hadapannya. Dia kemudian pergi dari rumah. Beberapa anggota keluarga menyalahkan Mak Badriah.

***

Sebulan setelah bayi lahir, tampak di rumah Nurma berdiri tenda dan ada keramaian. Nurma menikah dengan ayah biologis bayinya, orang Semarang.  Ijab qabul dipimpin penghulu KUA. Meskipun mengetahui hal itu, Suradin tak mau peduli. Dia ingin mengubur dalam-dalam kisah pilunya.

Hubungannya dengan Haryanti kembali terjalin. Keduanya bersepakat akan berumah tangga.  Ayah Haryanti memanggilnya untuk menghadap. Beliau ingin memastikan kesungguhan  hubungannya dengan Haryanti.

"Saya dan Haryanti telah saling menerima. Kami telah mantap untuk beranjak ke jenjang pernikahan. Untuk itu saya mohon restu bapak dan ibu."

"Sebagai  orang tua, kami tinggal mengikuti. Kalau begitu, tolong sampaikan salam kami kepada orang tuamu,  kira-kira bulan depan, orang mereka bapak persilakan untuk melamar."

"Baik Pak, akan saya sampaikan. Terima kasih, bapak telah bersedia menerima kehadiran saya."

Suradin gembira, tak peduli dengan beban biaya yang harus ditanggung kedua orang tuanya untuk biaya pernikahannya nanti. Sementara itu, mendengar restu ayahnya, Haryanti berbinar-binar.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun