Seketika air mata Haryanti meleleh. Suradin yang datang kemudian tak bisa berkata-kata. Tangis Haryanti pecah. Seraya tersedu Haryanti menumpahkan isi hatinya. "Kamu tega Sur. Tak ada laki-laki lain di hatiku. Demi Allah Bu, hanya Suradin yang saya harapkan kelak menjadi pendamping hidup saya, menjadi imam saya dan anak-anak kami kelak. Saya menyayanginya, Bu. Saya tolak seseorang yang berminat terhadap saya, tidak peduli dia dari keluarga berada. Kamu tega Sur. Padahal belum sebulan kita bertemu. Kamu mengatakan akan menikah denganku. Pembohong kamu!"
Suradin tertunduk, matanya meleleh. "Maafkan aku Har."
Mak Badriah menaruh iba. "Ibu juga minta maaf, Dik Har. Ibu tidak tahu, tapi mau bagaimana lagi. Sudah jalannya begini. Rencana pernikahan tidak bisa dibatalkan. Mungkin kalian memang bukan jodoh. Semua berjalan seijin Allah." Â
Napas Haryanti tersengal, "Saya kecewa, Bu."
Mak Badriah berkaca-kaca. "Ya, ibu paham. Tabahkan hatimu Dik. Semoga Adik mendapat jodoh yang lebih baik dari Suradin. Ikhlaskanlah Suradin berjodoh dengan orang lain. Kami minta maaf. Lebih baik kalian bersahabat saja. "
Menyadari nasi telah menjadi bubur, perlahan emosi Haryanti mereda. "Maafkan saya Bu, kedatangan saya telah mengganggu. Saya mohon pamit."
"Tolong sampaikan salam ibu kepada orang tuamu Dik."
Ketika Haryanti hendak menghidupkan sepeda motornya Suradin mendekat, "Har aku minta maaf. Aku tidak bisa menolak."
Haryanti tak menanggapi.
Suradin tak bisa berkata-kata lagi.
Haryanti segera tancap gas.