"Maaf  Umi, kalau soal itu saya terserah Mak dengan Umi saja."
"Baiklah, nanti Umi akan bicara dengan Mak kamu. Tidak ada yang ditunggu bukan? Maksud Umi, maaf, misalnya menunggu jadi pegawai negeri dulu."
"Ah, tidak perlu ditunggu Umi, tidak ada kepastian, saya berserah diri saja kepada Allah, tapi kalau ada kesempatan seleksi saya pasti ikut."
"Ya ya ya, yang penting ikhtiar yah."
"Iya Mi." Â
Dari sikap Suradin yang demikian Umi Salimah dapat menyimpulkan bahwa Suradin bersedia dijodohkan dengan putrinya. Tidak terdengarnya suara sumbang dari tetangga yang menyatakan keberatan dimaknai sebagai dukungan moral. Hemat mereka, berjodoh dengan tetangga banyak kebaikannya, terlebih mereka masih ada hubungan kerabatan.
Selanjutnya, Umi Salimah meminta Mak Badriah untuk segera melamar putrinya. Gayung bersambut, Mak Badriah segera bertindak. Segala kemampuan dikerahkan, hingga terkumpullah sejumlah uang. Â Â
Mak Badriah mengutus kerabatnya, yakni Abu Heso, Nur Sani, dan Armana untuk melamarkan. Hasilnya, tentu saja, lamaran diterima dengan senang hati. Kabar lamaran tersebut segera diketahui para tetangga.
Berselang dua hari, seorang gadis bernama Haryanti datang bertamu diterima Mak Badriah. Dia mengaku sebagai pacar Suradin. Mak Badriah tercengang, tidak menyangka Suradin punya pacar, berjilbab, cantik pula parasnya.
 "Benarkah Suradin telah melamar gadis, Bu?"
Mak Badriah mengangguk. "Dilamarkan."Â