Tanpa pikir panjang Mak Badriah mencarikannya. Didapatilah tiga lembar fotokopi Suradin dan diberikannya.
"Bukan cucuku," gumam Mak Badriah membatin.
Berarti secara administrasi ayah bayi itu Suradin. Setelah mengetahui hal itu Suradin marah. Kemarahannya diekspresikan dengan cara membanting gelas yang kebetulan ada di hadapannya. Dia kemudian pergi dari rumah. Beberapa anggota keluarga menyalahkan Mak Badriah.
***
Sebulan setelah bayi lahir, tampak di rumah Nurma berdiri tenda dan ada keramaian. Nurma menikah dengan ayah biologis bayinya, orang Semarang. Â Ijab qabul dipimpin penghulu KUA. Meskipun mengetahui hal itu, Suradin tak mau peduli. Dia ingin mengubur dalam-dalam kisah pilunya.
Hubungannya dengan Haryanti kembali terjalin. Keduanya bersepakat akan berumah tangga.  Ayah Haryanti memanggilnya untuk menghadap. Beliau ingin memastikan kesungguhan  hubungannya dengan Haryanti.
"Saya dan Haryanti telah saling menerima. Kami telah mantap untuk beranjak ke jenjang pernikahan. Untuk itu saya mohon restu bapak dan ibu."
"Sebagai  orang tua, kami tinggal mengikuti. Kalau begitu, tolong sampaikan salam kami kepada orang tuamu,  kira-kira bulan depan, orang mereka bapak persilakan untuk melamar."
"Baik Pak, akan saya sampaikan. Terima kasih, bapak telah bersedia menerima kehadiran saya."
Suradin gembira, tak peduli dengan beban biaya yang harus ditanggung kedua orang tuanya untuk biaya pernikahannya nanti. Sementara itu, mendengar restu ayahnya, Haryanti berbinar-binar.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H