"Hah! Aku bukan penjaga stasiun tau."
"Hahaha terserah kau yang penting aku datang lewat sini. Tak ada jalan lain. Kau mengerti?"
Bayang Ratri perlahan menghilang dibalik kerumunan. Tio semakin tak mengerti. Rasanya seperti mimpi. Gadis itu begitu penuh teka teki. Namun Tio tetap menaruh hati.
***
Hari berganti hari, minggu hingga bulan berlalu. Tio tak pernah letih menunggu. Ini bulan Februari. Saat hujan tak jua terhenti. Di Selatan Balairung Tio kerap menanti. Sapaan sang penawan hati. Ratri.
Tempat ini begitu berarti. Suara lembut Ratri begitu jelas di tempat Tio berdiri saat ini. Semua terasa begitu dekat. Meski tak saling bertatap.
Maklum sinyal begitu susah didapat. Apalagi jika sampai di rumah tetiba lenyap. Jadilah tempat ini menjadi tempat yang tepat. Apalagi berteman hujan menambah riuh hingga tak terasa penat.
Bagi Tio hujan adalah lambang kesetiaan. Untaianya mengandung makna mendalam. Setiap butir penuh dengan selaksa cerita. Ketika jatuh dari langit ada gurat bahagia. Tak putus hingga menyentuh semesta.
Begitu pun Tio yang kerap menunggu dalam resah hati. Jikalau hujan hadir seakan bahagia mengiringi. Hingga suara lembut kembali menyapa dari seberang gawai. Gundah seketika sirna terganti harap segera tercapai.
Rupanya Tio ingin berlama lama mengurai cerita pun canda. Namun dia tak bisa egois begitu saja. Gadis itu hanya memiliki waktu sebentar saja. Dia harus menunaikan kewajibannya.
Ratri, gadis yang pernah sekali berjumpa namun melekat dihati tak hanya sesaat hadirnya. Dia merawat ibunda yang sakit beberapa waktu cukup lama. Kiranya Tio harus rela menunggu hingga Ratri kembali menyapanya.