Tio masih berdiri di Selatan Balairung. Deru hujan terus saja meraung. Tak deras tak jua gerimis. Alunannya cukup membuat hati tersenyum manis. Ya, hujan bak kawan di kesunyian. Gemuruh yang dihasilkan kerap meneduhkan. Pun helai air yang menyiram hadirkan kesejukkan.
Tio semakin menikmati setiap butiran yang membasahi bumi. Berteman segelas air putih hangat. Cukup kiranya menjadi pengusir penat sesaat. Sesekali diteguknya sedikit demi sedikit. Sembari mengumbar pandang pada sehampar hujan yang menggelitik.
Usai bekerja Tio kerap mengunjungi tempat ini. Sudut ruang yang tak begitu lebar. Namun cukup menuai ketenangan yang tersebar. Beberapa pepohonan menjuntai di hadapan. Membuat suasana bagai di tengah keramaian. Namun masih berbalut ketenangan.
Rinai hujan terus saja mengiring hati dalam sebuah penantian. Menunggu dan terus menunggu. Begitulah Tio tak bosan meramu rindu. Hadirnya pujangga di tengah deru hujan. Menjadi hal yang kerap didamba pada penantian sebuah kepastian.
Pemuda berparas sederhana. Mempunyai prinsip hidup yang begitu istimewa. Pantang menyerah dan setia pada satu cinta.
Pandangannya tertuju di gemulai butiran yang seakan tak putus. Terus bergulir hingga mengulum waktu yang tergerus.
Bagi Tio hujan bukan penghalang jalan. Bukan pula cobaan yang harus diabaikan. Berteman hujan merupakan hal terindah. Yang mungkin bagi sebagian orang menuai resah. Tenggelam dalam lelah dan lebih memilih tuk berebah.
Berbeda dengan Tio. Hujan kiranya bukan musuh yang harus dilawan. Saat hati tengah dirundung penantian. Hujan justru meramaikan suasana hati yang terkurung dalam kehampaan.
"Tuut..... tuut..."
Suara ponsel itu seolah menggugah lamunan. Bagai sambaran kilat begitu cepat melesat menghentak laju kesunyian. Menggetarkan relung hati yang terpasung dalam gejolak penuh senyap. Segera saja Tio menekan tombol angkat dari layar gawai. Terdengar suara yang begitu jelas walau wajah tak tergapai.
"Hai, kau sudah menunggu."