Mohon tunggu...
Umi Setyowati
Umi Setyowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu rumah tangga

Wiraswasta yang suka membaca dan menulis fiksi sesekali saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Ujung Penantian ( 2 )

5 Mei 2016   15:01 Diperbarui: 5 Mei 2016   15:10 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karya Kolaborasi Umi Setyowati & Puguh Wahyudi. 

 

imgpin.com

Kembali dari berlibur di akhir pekan. Tiba di Tanah Air , hari tlah menjelang senja. Semburat merah di ufuk barat, mengiringi taxi yang keluar dari Bandara. Menembus kepadatan  lalu lintas kota.

Di dalam mobil. 

Dalam rangkulan lengan kokohnya, Brian mengamati raut wajah May , dari samping, seakan menyiratkan rasa bimbang nan ragu menatap realita. 

"May, adakah yang tersisa dari perjalanan kita di Hanoi? " lembut jemari Brian membelai rambut halus May. 

"Tentu sayang..." May menyandarkan kepalanya di bahu Brian.Lirih berucap "tak sekedar perjalanan yang melelahkan, namun, tlah menyisakan goresan indah, yang terpahat di sisi ruang kalbuku, yang sebelumnya kosong nan hampa " 

bila rindumu ini  berusaha pergi 

ingatlah mahkota itu 

yang kau sematkan kemarin 

rasa hati itu tak terpungkiri 

 

pada mentari yang tenggelam 

letihku dan letihmu tak berujung 

dengan syair yang menghias mendung 

walau malammu bersenandung

 

 

sementara, di ujung kaki langit menyapa

menunjukkan kita, pada jalan itu 

kalaupun tidak 

rembulan malam 

akan segera bicara. 

***

Setelah mengantar May, Brian kembali ke mobil taxi menuju ke tempat tinggalnya, yang berjarak tak lebih dari 1km.

Alangkah terkejutnya, ketika membuka pintu pagar, ibunya sudah menunggu kedatangannya .

"Kanjeng Ibu?  kapan rawuh, mengapa tidak membertahu Brian kalau akan datang? "pertanyaan Brian bertubi, untuk menutupi rasa cemasnya. Menduga -duga maksud dibalik kedatangan ibunya yang tiba -tiba. 

"Ibu sudah tak sabar menunggu kamu pulang Brian, juga menunggu jawabanmu, atas rencana yang sudah ibu sampaikan".langsung saja ke pokok masalah. 

Tak salah lagi, pikir Brian. Tentang perjododohan itu, sungguh lucu, kalau masih terjadi di era super canggih kini. 

"Nyuwun duko, ibunda, dalem mboten saget.Sungguh, ananda mohon maaf, Brian sudah punya pilihan dan tlah memantapkan hati untuk membangun keluarga bersama May, kami takkan bisa terpisahkan " tegas jawaban Brian. 

Dipaksa berlabuh 

rinduku dipaksa berlabuh 

pada daratan tuan 

bersama butir pasir pantai putih 

pada elok rupawan bibir bergincu 

 

terguncang di antara dua pulau impian 

sangat indah daratan seberang 

rindu ini terlanjur tertanam 

pada tiang tertancap, tumbuh dedaunan 

 

ibuku, surgaku, beri aku waktu 

pada maumu, membelah rindu 

resahku pada kejujuranmu 

meski di saat tak ada pelangi. 

***

May baru saja akan merebahkan tubuhnya, usai mandi dan solat. Mengingat besok harus mulai aktivitas, pekerjaan sudah menunggu di kantor. 

Getar dari hp di atas meja rias, mengurungkan niatnya. Keningnya berkerut, ketika membaca nama yang tertera di layar. Tanpa menunggu kata halo dari si penelpon, langsung saja May nyerocos. 

"Hans, tak perlu minta maaf lagi, aku sudah memaafkanmu, namun tak berarti, kita akan merajut kembali ikatan yang tlah terburai. Lupakan aku sebagaimana aku tlah melupakanmu. Tak ada lagi yang perlu kita bicarakan. ok. selamat malam " 

Kabut Pendakian itu.

ingin kukembalikan lukisan rinduku 

yang tlah berselimut kabut 

saat kita ingin menggapai puncak itu 

suara hatimu masih terpahat di sana 

 

melalui hari -hari yang tersisa 

walau ku tak peduli apapun 

pada kabut gunung itu 

yang tenggelamkan pagi 

 

untuk mendekapku pada sunyi 

menemani memetik bunga terlarang 

edelweiss yang nampak di atas sana 

berharap tak layu digenggam tangan 

 

bunga abadi lepas dari genggaman 

nampak berserak di kaki jurang 

sesaat pendakian pulang 

rasaku terhempas di dasar bumi 

***

Pagi nan cerah, sang surya bersinar penuh kehangatan, tetes embun di celah dedaunan menyegarkan suasana hari. 

Namun, mengapa mendung mengglayut di wajah, Maya?  

Dalam tidurnya, yang dirasa hanya sekejap, kegellisan hatinya, membuatnya ingin segera bertemu Brian. Secepatnya ia mempersiapkan diri dan menunggu dijemput. 

Bersamaan dengan itu, Brian dalam perjalanan bersama sang ibu. tak ingin menunda lagi, untuk memperkenalkan May sebagai calon menantu. 

Dengan kehalusan tutur katanya. Brian tlah berhasil meluluhkan hati sang ibu, menyampaikan alasan menolak pilihan bunda semata demi menjaga nama baik keluarga besar Haryokusumah. Apa jadinya, bila nantinya ketetpaksaan kan berakhir tak seperti harapan. 

Dan ketika May sudah dihadapannya. Sesaat Nyonya Haryokusumah terpana. Terkesan oleh pembawaan May yang bersahaja, sekilas nampak sederhana, namun memancarkan aura nan mempesona. 

Dengan  mengangguk kepada sang putra , sebagai isyarat bahwa persetujuan telah diberikan. 

Tak mampu lagi Brian menahan gejolak hatinya yang berbahagia. Diraihnya kedua tangan May dalam erat genggamannya. Disaksikan sang Ibunda, dia berucap " May, bersediakah kau menerimaku, Brian Hadinata Haryokusumah untuk menjadi suami sepanjang hidupmu? " ditatapunya wajah sang kekasih penuh harap dengan begitu banyak cinta. 

Maya, terpana, tak mengira secepat itu Brian melamarnya. Ada perasaan aneh yang menjalari hatinya,rasa haru , membuatnya tak mampu berkata - kata. Tanpa berkedip, ia menganggukkan kepala, kemudian menunduk, menyembunyikan rona wajah yang mengharu biru. 

"Jangan pernah meragukanku, May, kita harus secepatnya menikah " 

 Bintangku di antara Galaxi. 

di antara bimasakti 

gugusan milyaran bintang itu 

kutemukan  sinarmu 

berpijar tanpa redup 

 

walau hujan tanpa henti 

halilintar bersahutan 

menggoyahkan 

berdiri menara pencakar langit 

hadirmu tak sedemikian 

 

teduhmu menyelinap dalam hatiku 

melebihi dingin salju 

bilakah kau mengisi hari -hariku 

salju pun takkan mencair 

 

kini tlah mengendap rasaku dan rasamu 

dan pancaran sinarmu akan abadi, sepanjang masa. 

* * *

 

Di setiap tingkap kehidupan, akan selalu  ada satu pertanyaan dengan banyak jawaban. 

Di setiap cerita cinta, pun akan sampai di lembaran akhir. Tentang sedih dan bahagia ,akan mengalir mengikuti arus waktu. 

Tamat. 

Manado 05 05 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun