Karya Kolaborasi Umi Setyowati & Puguh Wahyudi.Â
Â
imgpin.com
Kembali dari berlibur di akhir pekan. Tiba di Tanah Air , hari tlah menjelang senja. Semburat merah di ufuk barat, mengiringi taxi yang keluar dari Bandara. Menembus kepadatan  lalu lintas kota.
Di dalam mobil.Â
Dalam rangkulan lengan kokohnya, Brian mengamati raut wajah May , dari samping, seakan menyiratkan rasa bimbang nan ragu menatap realita.Â
"May, adakah yang tersisa dari perjalanan kita di Hanoi? " lembut jemari Brian membelai rambut halus May.Â
"Tentu sayang..." May menyandarkan kepalanya di bahu Brian.Lirih berucap "tak sekedar perjalanan yang melelahkan, namun, tlah menyisakan goresan indah, yang terpahat di sisi ruang kalbuku, yang sebelumnya kosong nan hampa "Â
bila rindumu ini  berusaha pergiÂ
ingatlah mahkota ituÂ
yang kau sematkan kemarinÂ
rasa hati itu tak terpungkiriÂ
Â
pada mentari yang tenggelamÂ
letihku dan letihmu tak berujungÂ
dengan syair yang menghias mendungÂ
walau malammu bersenandung
Â
Â
sementara, di ujung kaki langit menyapa
menunjukkan kita, pada jalan ituÂ
kalaupun tidakÂ
rembulan malamÂ
akan segera bicara.Â
***
Setelah mengantar May, Brian kembali ke mobil taxi menuju ke tempat tinggalnya, yang berjarak tak lebih dari 1km.
Alangkah terkejutnya, ketika membuka pintu pagar, ibunya sudah menunggu kedatangannya .
"Kanjeng Ibu? Â kapan rawuh, mengapa tidak membertahu Brian kalau akan datang? "pertanyaan Brian bertubi, untuk menutupi rasa cemasnya. Menduga -duga maksud dibalik kedatangan ibunya yang tiba -tiba.Â
"Ibu sudah tak sabar menunggu kamu pulang Brian, juga menunggu jawabanmu, atas rencana yang sudah ibu sampaikan".langsung saja ke pokok masalah.Â
Tak salah lagi, pikir Brian. Tentang perjododohan itu, sungguh lucu, kalau masih terjadi di era super canggih kini.Â
"Nyuwun duko, ibunda, dalem mboten saget.Sungguh, ananda mohon maaf, Brian sudah punya pilihan dan tlah memantapkan hati untuk membangun keluarga bersama May, kami takkan bisa terpisahkan " tegas jawaban Brian.Â
Dipaksa berlabuhÂ
rinduku dipaksa berlabuhÂ
pada daratan tuanÂ
bersama butir pasir pantai putihÂ
pada elok rupawan bibir bergincuÂ
Â
terguncang di antara dua pulau impianÂ
sangat indah daratan seberangÂ
rindu ini terlanjur tertanamÂ
pada tiang tertancap, tumbuh dedaunanÂ
Â
ibuku, surgaku, beri aku waktuÂ
pada maumu, membelah rinduÂ
resahku pada kejujuranmuÂ
meski di saat tak ada pelangi.Â
***
May baru saja akan merebahkan tubuhnya, usai mandi dan solat. Mengingat besok harus mulai aktivitas, pekerjaan sudah menunggu di kantor.Â
Getar dari hp di atas meja rias, mengurungkan niatnya. Keningnya berkerut, ketika membaca nama yang tertera di layar. Tanpa menunggu kata halo dari si penelpon, langsung saja May nyerocos.Â
"Hans, tak perlu minta maaf lagi, aku sudah memaafkanmu, namun tak berarti, kita akan merajut kembali ikatan yang tlah terburai. Lupakan aku sebagaimana aku tlah melupakanmu. Tak ada lagi yang perlu kita bicarakan. ok. selamat malam "Â
Kabut Pendakian itu.
ingin kukembalikan lukisan rindukuÂ
yang tlah berselimut kabutÂ
saat kita ingin menggapai puncak ituÂ
suara hatimu masih terpahat di sanaÂ
Â
melalui hari -hari yang tersisaÂ
walau ku tak peduli apapunÂ
pada kabut gunung ituÂ
yang tenggelamkan pagiÂ
Â
untuk mendekapku pada sunyiÂ
menemani memetik bunga terlarangÂ
edelweiss yang nampak di atas sanaÂ
berharap tak layu digenggam tanganÂ
Â
bunga abadi lepas dari genggamanÂ
nampak berserak di kaki jurangÂ
sesaat pendakian pulangÂ
rasaku terhempas di dasar bumiÂ
***
Pagi nan cerah, sang surya bersinar penuh kehangatan, tetes embun di celah dedaunan menyegarkan suasana hari.Â
Namun, mengapa mendung mengglayut di wajah, Maya? Â
Dalam tidurnya, yang dirasa hanya sekejap, kegellisan hatinya, membuatnya ingin segera bertemu Brian. Secepatnya ia mempersiapkan diri dan menunggu dijemput.Â
Bersamaan dengan itu, Brian dalam perjalanan bersama sang ibu. tak ingin menunda lagi, untuk memperkenalkan May sebagai calon menantu.Â
Dengan kehalusan tutur katanya. Brian tlah berhasil meluluhkan hati sang ibu, menyampaikan alasan menolak pilihan bunda semata demi menjaga nama baik keluarga besar Haryokusumah. Apa jadinya, bila nantinya ketetpaksaan kan berakhir tak seperti harapan.Â
Dan ketika May sudah dihadapannya. Sesaat Nyonya Haryokusumah terpana. Terkesan oleh pembawaan May yang bersahaja, sekilas nampak sederhana, namun memancarkan aura nan mempesona.Â
Dengan  mengangguk kepada sang putra , sebagai isyarat bahwa persetujuan telah diberikan.Â
Tak mampu lagi Brian menahan gejolak hatinya yang berbahagia. Diraihnya kedua tangan May dalam erat genggamannya. Disaksikan sang Ibunda, dia berucap " May, bersediakah kau menerimaku, Brian Hadinata Haryokusumah untuk menjadi suami sepanjang hidupmu? " ditatapunya wajah sang kekasih penuh harap dengan begitu banyak cinta.Â
Maya, terpana, tak mengira secepat itu Brian melamarnya. Ada perasaan aneh yang menjalari hatinya,rasa haru , membuatnya tak mampu berkata - kata. Tanpa berkedip, ia menganggukkan kepala, kemudian menunduk, menyembunyikan rona wajah yang mengharu biru.Â
"Jangan pernah meragukanku, May, kita harus secepatnya menikah "Â
 Bintangku di antara Galaxi.Â
di antara bimasaktiÂ
gugusan milyaran bintang ituÂ
kutemukan  sinarmuÂ
berpijar tanpa redupÂ
Â
walau hujan tanpa hentiÂ
halilintar bersahutanÂ
menggoyahkanÂ
berdiri menara pencakar langitÂ
hadirmu tak sedemikianÂ
Â
teduhmu menyelinap dalam hatikuÂ
melebihi dingin saljuÂ
bilakah kau mengisi hari -harikuÂ
salju pun takkan mencairÂ
Â
kini tlah mengendap rasaku dan rasamuÂ
dan pancaran sinarmu akan abadi, sepanjang masa.Â
* * *
Â
Di setiap tingkap kehidupan, akan selalu  ada satu pertanyaan dengan banyak jawaban.Â
Di setiap cerita cinta, pun akan sampai di lembaran akhir. Tentang sedih dan bahagia ,akan mengalir mengikuti arus waktu.Â
Tamat.Â
Manado 05 05 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H