Tanah merah dengan taburan bunga melati di atasnya. Ditambah lagi bunga-bunga kering berguguran. Aku menangis untuk sesuatu yang terlambat. Untuk sesuatu yang takkan bisa ku rengkuh lagi. Aku menyesal telah berbohong padanya dua hari yang lalu. Ya, aku mencintainya dan rasaku tak terungkap justru aku menyangkalnya. Ku remas-remas tanah merah itu dengan geramnya, aku tau bahwa airmataku sudah terlalu banyak untuk ukuran seorang lelaki menangis.
"Alena..." Kataku pelan. "Aku suka kamu..." Aku meletakkan rangkain bunga mawar tadi di atas gundukan tanah merah itu. Dan ku ambil kertas yang sudah ku tulisi tadi pagi.
alena, tetap semangat jangan cengeng. aku tak suka cewe cengeng, kalo ga cengeng aku suka... bukankah itu yang ingin kau perdengarkan? aku suka kamu...
Ah, sialan... Cintaku tak terungkap! Aku berlalu meninggalkan kuburan Alena dan masih terus mengusap-usap mataku yang berair.
Apalah aku ini? Harus semangat bekerja berhubung gajiku bulan ini akan mendapatkan banyak potongan. Demimu Alena.
"Bunga terakhir untukmu, Alena. Aku pikir bunga terakhir ini aku persembahkan saat kesembuhanmu ternyata saat menutup matamu. Alena, cinta tak memihak pada jalan kita," Aku hanya memejamkan mata, semoga saja Alena kembali dalam hidupku dan akan aku ungkap rasa itu... Tapi... :(
[caption id="attachment_138508" align="aligncenter" width="300" caption="Bunga terakhir tuk Alena"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H