A. Pendidikan Islam dan Mobilitas Sosial
Secara umum, pendidikan adalah upaya yang disengaja untuk membujuk orang lain baik individu, organisasi, atau komunitas untuk mengikuti aturan yang ditetapkan oleh mereka yang mempraktikkannya. Pendidikan adalah proses, teknik, dan tindakan mengubah sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam upaya membantu mereka berkembang melalui pelatihan dan pengajaran. Salah satu pilar utama pembangunan pendidikan di Indonesia adalah pendidikan. Pada hakikatnya, pendidikan adalah usaha seumur hidup untuk mengembangkan kepribadian dan bakat dalam satu kesatuan yang dinamis, harmonis, dan organik, baik di dalam maupun di luar kelas. Agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi dirinya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk lingkungan atau masyarakat, maka pendidikan merupakan usaha yang disengaja untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran.
Ada beberapa pendapat tentang fungsi pendidikan. Menurut Brom dan Selznick, fungsi pendidikan meliputi: 1) tansmisi kebudayaan; 2) memilih dan mengajarkan peran sosial; 3) integrasi sosial; 4) inovasi sosial; 5) mengembangkan kepribadian anak.
Transmisi kebudayaan
Dua jenis transmisi kebudayaan masyarakat kepada anak terdiri dari a) transmisi pengetahuan dan ketrampilan; dan b) transmisi pandangan nilai dan norma. Kategori ini mencakup pengetahuan tentang bahasa, sistem matematika, pengetahuan alam dan sosial, serta kemajuan teknologi. Transmisi kebudayaan mencakup lebih dari sekedar mengajarkan anak-anak teknik belajar, juga mencakup kreativitas dan penciptaan.
Memilih dan mengajarkan peran sosial
Masyarakat kita telah belajar tentang spesialisasi dan deferensiasi pekerjaan. Dengan berkembangnya spesialisasi dan deferensiasi pekerjaan ini, beberapa masalah muncul. Pertama, masyarakat harus memberikan fasilitas untuk mengajarkan berbagai spesialisasi ini; kedua, masyarakat harus memastikan bahwa jumlah orang yang mempunyai spesialisasi itu seimbang dengan kebutuhan; dan ketiga, masyarakat harus membuat mekanisme yang mampu menyerasikan bakat dan kemampuan individu dengan tuntutan spesialisasi. Sekolah kejuruan didirikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang berspesialisasi ini.
Integrasi sosial
Salah satu tujuan pendidikan sekolah yang paling penting adalah memastikan integrasi sosial dalam masyarakat yang heterogen dan pluralistik. Bahaya yang ditimbulkan oleh perbedaan budaya, suku, dan bahasa ini di Indonesia sangat besar. Karena itu, menjadi integrasi sosial adalah tujuan utama pendidikan.
Inovasi sosial
Pada perguruan tinggi, fungsi inovasi sosial ini lebih jelas melalui kegiatan penelitian. Studi ini menemukan inovasi baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat mengubah masyarakat.
Perkembangan kepribadian anak
Sekolah tidak hanya memberikan pengetahuan dan keterampilan yang berpengaruh pada perkembangan intelektual siswa, tetapi juga mendidik perkembangan fisik mereka. Pendidikan juga memperhatikan perkembangan karakter melalui pengajaran etika, kebiasaan, dan budi pekerti.
Tujuan pendidikan adalah untuk membekali generasi penerus dengan keterampilan yang mereka butuhkan untuk berhasil dalam hidup dan mencapai tujuan mereka. Di sisi lain, pendidikan Islam bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai spiritual yang kuat dan kesadaran akan nilai etika Islam dalam sikap mereka terhadap kehidupan, tindakan, keputusan, dan pendekatan terhadap semua bentuk pengetahuan. Meskipun ada beberapa cara untuk mendefinisikan tarbiyah (pendidikan), ta`lim (pengajaran), dan ta`dib (karakter), tujuan pendidikan Islam tidak diragukan lagi adalah sama, yaitu menghasilkan manusia yang berakhlak mulia.
Para ahli pendidikan Islam memandang pendidikan Islam secara berbeda. Sudut pandang para ahli tersebut merupakan letak perbedaannya. Pendidikan Agama Islam adalah komponen pendidikan Islam, menurut Muhaimin. Pendidikan Islam dapat diartikan dengan beberapa cara, antara lain:
Pendidikan Islam didefinisikan sebagai pengajaran yang berasal dari prinsip-prinsip dan ajaran-ajaran utama yang terdapat dalam Al Qur'an dan Sunnah.
Tujuan dari pendidikan agama Islam adalah untuk menanamkan prinsip-prinsip dan ajaran Islam dalam diri seseorang sehingga menjadi cara pandang dan cara hidupnya.
Proses dan praktik pengaturan pendidikan yang terjadi dan berkembang sepanjang sejarah Muslim dikenal sebagai pendidikan dalam Islam.
Abdurrahman al-Nahlawi menggarisbawahi bahwa ada empat komponen dalam pengertian at-Tarbiyah (pendidikan), yaitu sebagai berikut:
Memelihara perkembangan fitrah manusia;
Membimbing evolusi fitrah manusia menuju kesempurnaan;
Mengembangkan sumber daya manusia (potensi) untuk mencapai sifat-sifat tertentu;
Melaksanakannya secara progresif sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
Penggunaan frasa "konsep Tarbiyah" dalam pendidikan Islam memiliki beberapa implikasi sebagai berikut:
Pendidikan difokuskan pada fitrah dan kebutuhan dasar manusia yang dipandu oleh rencana Allah.
Karena pekerjaan pendidik merupakan komponen dari misi kekhalifahan, maka pendidikan layak dihormati.
Pendidikan memiliki kewajiban tidak hanya kepada Allah tetapi juga kepada manusia.
Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah sebuah usaha untuk mengarahkan dan membimbing setiap komponen (potensi) yang ada pada diri manusia secara optimal. Pendidikan Islam, sederhananya, adalah pendidikan yang dibangun di atas prinsip-prinsip ajaran Islam sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur'an, Hadits, dan pendapat para ahli dalam praktik sejarah umat Islam.
Secara historis, pesantren adalah institusi pendidikan Islam pertama yang didirikan di Indonesia. Oleh karena itu, pesantren dianggap sebagai bapak dari pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren telah meletakkan dasar keagamaan yang kuat sebelum pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan Baratnya. Para santri tidak hanya diberi pengetahuan tentang ajaran Islam, tetapi mereka juga diberi kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan agama Islam. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda mengadopsi model pendidikan Barat, yang menyebabkan perpecahan antara ilmu agama (Islam) dan ilmu sekuler (umum). Sebuah gerakan reformasi pendidikan di lingkungan pesantren telah dipicu oleh konflik pendidikan yang menantang ini. Itu adalah embrio madrasah.
Pemerintah kolonial Belanda mulai memperkenalkan sekolah-sekolah modern yang mengikuti sistem pengajaran yang berkembang di Barat pada sekitar tahun 1800-an. Sistem pendidikan pesantren yang ada harus diperbarui untuk mencegah perbedaan yang terlalu jauh. Umat Islam menanggapi upaya pemerintah kolonial Belanda melalui politik pendidikan. gabungan lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang kemudian diikuti oleh berdirinya madrasah-madrasah, yang dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga pendidikan ala Belanda dengan tujuan keagamaan.
Oleh karena itu, madrasah didirikan sebagai perpaduan antara sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan umum yang diterapkan oleh kolonial Belanda. Tujuan pembentukan madrasah adalah untuk mengimbangi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum dalam kegiatan pendidikan umat Islam.
Salah satu definisi mobilisasi adalah mobilitas, atau tindakan berpindah dari satu objek ke objek lainnya. Meskipun istilah ini bersifat teoritis, kecenderungannya tampaknya beralih dari kesadaran akan ketidaktahuan ke kesadaran akan pengetahuan ketika dilihat melalui lensa mereka yang menjalani proses pendidikan. Dalam hal ini, proses pendidikan bertujuan untuk membebaskan subjek dari penjara ketidaktahuan dan membimbingnya untuk memahami dunia sekitarnya.
Selanjutnya, lihatlah bagaimana lembaga-lembaga pendidikan terkonsentrasi di kota-kota. Hasilnya adalah perpindahan individu dari satu lokasi ke lokasi lain di mana fasilitas pendidikan berada. Meskipun tampaknya ini merupakan mobilisasi geografis, namun sebenarnya ini adalah mobilisasi kesadaran. Dari kesadaran negara hingga kesadaran kota, misalnya. Di sisi lain, mereka yang berpendidikan atau menyukai institusi pendidikan terkadang dipuji, disanjung, dan dipuji. Selain itu, ditandai dengan gelar sarjana atau diploma.
Inilah cara kerja pendidikan sebagai sarana untuk memobilisasi berbagai aspek masyarakat, bergerak dari yang tidak penting menjadi elemen penting. Pendekatan mobilisasi khusus ini tidak diragukan lagi bersifat konstruktif. Namun, tidak jarang perubahan yang terjadi justru menghasilkan individu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan. Idealnya, pendidikan menghasilkan orang-orang yang sadar akan kebenaran, yang muncul sebagai prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari. Namun, karena pendidikan menghasilkan kecerdasan, pendidikan juga dapat menghasilkan orang-orang yang tamak dan sombong.
Tulisan ini akan berkonsentrasi pada pendidikan sebagai sarana mobilitas kelas sosial, dengan mempertimbangkan beberapa aspek mobilisasi yang ditimbulkan oleh pendidikan. Di satu sisi, filosofi pendidikan telah menyimpang dari tujuan mobilisasi pendidikan. Rencana-rencana yang dibangun dalam sistem pendidikan saat ini berdampak pada hal ini. Pendidikan saat ini lebih bersifat pragmatis, segera, dan terbatas. mengawasi perkembangan orang-orang yang dipersiapkan untuk berbagai pekerjaan (kelas pekerja). Selain itu, dari sudut pandang ekonomi dan politik, posisi yang diperoleh pada akhirnya diharapkan menjadi jalur mobilitas sosial yang meningkatkan status. "Pendidikan sebagai proses pencerdasan tidak hanya menghasilkan sosok-sosok yang berpikir kritis, rasional, dan progresif," menurut Ahmad Nurhasim. Secara tidak langsung, pengajaran di kelas mengubah struktur kelas sosial dari sebelum seseorang masuk ke lingkungan pendidikan. Masyarakat umum menyadari bahwa pendidikan berfungsi sebagai saluran perubahan politik, sosial, dan ekonomi.
B. Konsep dan Teori Mobilitas Sosial
Gerakan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang dikenal sebagai mobilitas sosial. Menurut Henry Clay Smith, mobilitas sosial adalah gerakan dalam struktur sosial. Pergerakan individu dan kadang-kadang kelompok antara posisi yang berbeda dalam hierarki stratifikasi sosial masyarakat dapat dijelaskan. Mobilitas sosial fokus pada posisi kelas dalam struktur pekerjaan dalam masyarakat modern. Mobilitas sosial mencakup pergerakan suatu kelas atau hierarki status, seperti mobilitas ke atas (upward mobility) atau mobilitas ke bawah (downdard mobility): di mana fokus sosiologi adalah pada perbedaan antara kelas sosial ekonomi atau posisi status, atau mungkin lebih singkat, seperti naik kelas sosial ekonomi.
"Mobilitas" berasal dari kata Latin "mobilis", yang berarti banyak bergerak atau mudah dipindahkan. Perpindahan, gerak, atau gerakan adalah istilah yang biasa digunakan dalam bahasa Indonesia untuk menyebutkan istilah yang sepadan. Oleh karena itu, mobilitas sosial sama dengan perpindahan sosial, gerak sosial, atau gerakan sosial. Perpindahan individu atau kelompok dari satu posisi sosial ke posisi sosial lainnya dikenal sebagai mobilitas sosial. Masyarakat dengan sistem pelapisan sosial terbuka, yang biasanya memiliki tingkat mobilitas rendah, memiliki tingkat mobilitas yang lebih tinggi daripada masyarakat dengan sistem pelapisan sosial tertutup.
Adapun definisi mobilitas sosial menurut beberapa ahli sosiologi ialah sebagai berikut:
William Kornblum
Mobilitas sosial adalah pergeseran individu, keluarga, dan kelompok sosialnya dari satu lapisan sosial ke lapisan sosial lainnya.
Michael S. Basis
Mobilitas sosial adalah transisi ke lingkungan sosio-ekonomi yang mengubah status sosial seseorang dalam masyarakat.
H. Edward Ransford
Mobilitas sosial adalah perpindahan ke atas atau ke bawah dalam lingkungan sosial secara hierarki.
Kimball Young dan Raymond W. Mack
Mobilitas sosial adalah suatu pergeseran dalam struktur sosial, yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Oleh karena itu, mobilitas sosial adalah suatu pergeseran atau perpindahan kelas sosial yang dialami oleh individu atau kelompok sosial, yang menghasilkan kelas baru yang diperoleh individu atau kelompok tersebut.
Menurut Paul B. Horton
Mobilitas sosial adalah suatu transisi dari satu kelas sosial ke kelas sosial yang lain atau pindah dari satu strata sosial ke strata sosial yang lain.
Kimball Young dan Raymond W. Mack
Mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial, yaitu pola yang mengatur kelompok sosial. Struktur sosial mencakup bagaimana hubungan antara individu dalam kelompok dan antara mereka sendiri.Â
Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi Mobilitas Sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial.
Gunawan menjelaskan bahwa menurut P.A Sorokin saluran mobilitas sosial terdiri dari:Â
Angkatan bersenjata
Angkatan bersenjata memiliki organisasi yang dapat digunakan untuk saluran mobilitas naik pangkat. Seorang prajurit, misalnya, akan diberi penghargaan oleh masyarakat karena menyelamatkan negara dari pemberontakan.
Lembaga keagamaan
Status sosial seseorang dapat ditingkatkan oleh lembaga keagamaan, seperti orang yang memiliki peran penting dalam pengembangan agama seperti ustadz, pendeta, dan biksu. Mereka akan menjadi lebih baik di masyarakat, terutama dalam komunitas yang menganut agama tertentu.
Lembaga pendidikan
Institusi pendidikan biasanya dianggap sebagai jalan konkrit menuju mobilitas vertikal. Mereka bahkan dianggap sebagai elevator sosial, atau perangkat, yang membawa orang dari posisi yang lebih rendah ke posisi yang lebih tinggi. Setiap orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi berkat pendidikan. Anak yang berasal dari keluarga miskin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dia menjadi pengusaha yang sukses yang meningkatkan status sosialnya setelah lulus, menguasai bisnis dan menggunakan pengetahuannya untuk berusaha.
Organisasi politik
Organisasi politik memungkinkan anggota yang setia dan berdedikasi untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, meningkatkan status sosial mereka.
Ekonomi
Bisnis, seperti perusahaan, koperasi, dan BUMN, dapat meningkatkan pendapatan seseorang. Semakin baik prestasinya, semakin tinggi jabatannya dan, sebagai hasilnya, pendapatannya akan meningkat karena pendapatan yang meningkat menghasilkan kekayaan dan status sosial yang lebih tinggi.
Keahlian
Orang yang rajin menulis dan memberikan pengetahuan dan keahliannya kepada orang lain, seperti situs karya ilmiah, pasti akan dianggap lebih tinggi dari pengguna biasa.
Perkawinan
Setelah menikah, seseorang dapat mengubah status sosialnya. Misalnya, jika seorang pria miskin menikah dengan janda kaya, status sosialnya dengan sendirinya berubah menjadi orang kaya karena istrinya kaya.
Ada dua cara untuk mendefinisikan mobilitas sosial, menurut Nasution: Pertama, suatu sektor dalam masyarakat bergeser posisinya dalam hubungannya dengan sektor-sektor lain. Misalnya, seorang guru yang dulunya sangat dihormati, saat ini tidak lagi memiliki status yang tinggi. Kedua, potensi seseorang untuk berpindah dari satu lapisan sosial ke lapisan sosial lainnya, yang dapat dilihat dari lingkungannya.
Dalam bukunya Sosiologi, James M. Henslin mengidentifikasi tiga bentuk mendasar dari mobilitas sosial, yaitu sebagai berikut: Mobilitas antargenerasi adalah yang pertama, mengacu pada pergeseran generasi, khususnya ketika anak-anak dewasa memiliki status sosial ekonomi yang berbeda dengan orang tua mereka, Jenis mobilitas sosial yang kedua adalah ke atas, di mana suatu perubahan menghasilkan kenaikan status; jenis yang ketiga adalah ke bawah, di mana suatu perubahan menghasilkan penurunan status.
Menurut Sarjono Sukanto, ada dua kategori mobilitas sosial: Mobilitas Vertikal, seperti Pertama, Kelompok konglomerat, eksekutif, super eksekutif, dan lain sebagainya merupakan contoh dari panjat sosial (social climbing), yaitu perpindahan dari status rendah ke status tinggi ketika status tinggi sebelumnya telah ada dan menciptakan suatu kelompok status baru karena adanya kenaikan status (promosi). Secara umum, sekolah dan lembaga pendidikan lainnya berfungsi sebagai saluran mobilitas sosial vertikal. Sekolah dapat benar-benar dianggap sebagai lift sosial yang bergerak dari peringkat terendah ke peringkat tertinggi. Ada situasi di mana hanya anggota kelompok sosial tertentu, misalnya anggota kelas atas atau anggota ras tertentu yang diizinkan untuk mendaftar di sekolah tertentu. Jika anggota masyarakat kelas bawah masuk ke sekolah-sekolah ini, mereka akan menjadi saluran untuk mobilitas sosial ke atas. Meskipun kenyataan belum menunjukkan bahwa ada posisi yang cocok untuk mereka di bidang-bidang tertentu, namun cukup masuk akal untuk melihat posisi yang dipegang oleh orang-orang yang baru saja menyelesaikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, universitas, dan seterusnya di Indonesia. Ada dua jenis utama dari gerakan sosial vertikal ke atas: a) Orang yang berpindah dari posisi yang lebih rendah ke posisi yang lebih tinggi di mana mereka sebelumnya memegang posisi tersebut. Seorang pekerja di kantor A dapat diangkat menjadi pejabat di kantor B, misalnya. Ketika perubahan terjadi secara linier, seperti ketika seorang petani beralih profesi menjadi buruh pabrik, hal ini dikenal sebagai mobilitas horizontal.
Menurut buku sosiologi, jenis-jenis mobilitas sosial sebagai berikut.
Mobilitas Vertikal
Pergeseran status dari satu kelompok sosial yang tidak setara ke kelompok sosial lainnya dikenal sebagai mobilitas vertikal. Ada beberapa jenis perpindahan vertikal, termasuk yang berikut ini:
Mobilitas vertikal naik (social climbing); mobilitas ini memiliki dua bentuk utama, yaitu:
promosi orang dari posisi yang lebih rendah ke posisi yang lebih tinggi. Ketika seorang anggota staf dipromosikan menjadi manajer perusahaan, misalnya, jabatan tersebut sudah terbuka.
pembentukan kelompok baru yang kemudian diposisikan lebih tinggi dari anggota kelompok secara individu. Misalnya, dewan manajemen dibentuk oleh rapat anggota.
Mobilitas vertikal turun (social sinking); mobilitas ini juga memiliki dua bentuk utama, yaitu:
Penurunan status seseorang dari posisi yang lebih tinggi ke posisi yang lebih rendah. Sebagai ilustrasi, seorang direktur yang kehilangan pekerjaannya
Kemerosotan sekelompok orang dapat bermanifestasi sebagai kehancuran kelompok secara keseluruhan. Sebagai contoh, sekutu-sekutunya digulingkan ketika kediktatoran Soeharto jatuh dari kekuasaan.
Mobilitas Horizontal
Perpindahan status dari satu kelompok sosial yang sederajat ke kelompok sosial yang lain dikenal sebagai mobilitas horizontal. Contohnya:
Alif menjadi warga negara Amerika Serikat dan bukan warga negara Indonesia;
Rona pindah ke tempat kerja baru yang menawarkan gaji yang sama dengan tempat kerja sebelumnya.
Mobilitas Intragenerasi
Mobilitas vertikal dalam generasi sendiri dikenal sebagai mobilitas intragenerasi. Dengan kata lain, mobilitas intragenerasi terjadi di dalam diri seseorang. Ada gerakan naik-turun dalam mobilitas semacam ini. Dengan demikian, ada dua cara di mana mobilitas ini dapat terjadi, secara khusus:
Mobilitas intragenerasi meningkat, seperti ketika seorang karyawan naik pangkat dari golongan IV A ke IV B.
Mobilitas intragenerasi menurun, seperti ketika seorang karyawan diturunkan pangkatnya karena melakukan kesalahan.
Mobilitas Antargenerasi
Mobilitas vertikal yang terjadi antara dua generasi, bukan di dalam satu orang, dikenal sebagai mobilitas antargenerasi. Selain itu, ada dua cara mobilitas ini dapat terjadi:
Mobilitas antargenerasi ke atas, yaitu ketika seorang anak menjadi seorang dokter sementara ayahnya hanya seorang petani.
Contoh mobilitas antargenerasi ke bawah adalah ketika seorang anak tumbuh menjadi karyawan biasa, sementara ayahnya dulunya adalah seorang pengusaha dengan tenaga kerja yang banyak.
Banyak sosiolog telah mengembangkan berbagai hipotesis tentang mobilitas sosial. Pada bagian ini, teori mobilitas sosial dari Pitirim Sorokin, Ralph Turner, Hans Zetterberg, dan Martin Lipset akan dibahas.
Teori Martin Lipset dan Hans Zetterberg
Mereka berpendapat bahwa perubahan pangkat dan jabatan yang kosong merupakan akar dari mobilitas sosial. Menurut teori mereka, mobilitas sosial memiliki empat aspek, yaitu sebagai berikut:
Peringkat pekerjaan: Salah satu ukuran umum stratifikasi sosial adalah pekerjaan.
Tingkatan konsumsi: individu dapat dikategorikan sebagai anggota dari kelas konsumsi yang sama jika mereka memiliki gaya hidup dan tingkat status yang sama.
Kelas sosial: Jika seseorang memiliki hubungan yang dekat dan menerima orang lain secara setara, mereka dikatakan berada dalam kelas sosial yang sama dengan orang lain.
Peringkat kekuasaan, yang menggambarkan dinamika otoritas atau kekuasaan antara posisi bawahan dan atasan. Mereka melihat mobilitas sosial difasilitasi oleh kekuasaan.
Teori Ralph Turner
Berdasarkan aturan masyarakat yang terorganisir, penelitian Turner mengungkapkan dua kategori mobilitas: mobilitas yang disponsori dan mobilitas kontes. Menurut Turner, mobilitas kontes adalah sebuah sistem di mana pencapaian peringkat elit merupakan imbalan atau hadiah yang diperoleh dari berbagai upaya yang dilakukan dalam sebuah kompetisi terbuka. Peserta dalam acara atau kompetisi bersaing secara adil sambil menunjukkan keterampilan, taktik, dan kemauan mereka. Kelompok elit dipilih dan status elit diberikan dalam mobilitas bersponsor sesuai dengan kriteria tertentu yang dimaksudkan untuk didasarkan pada kualitas tertentu; tidak ada jumlah kerja atau strategi yang dapat membalikkan keputusan ini.
Menurut Turner, kedua bentuk mobilitas sosial ini adalah yang terbaik untuk menjelaskan studinya tentang sistem pendidikan dan stratifikasi. Pada kenyataannya, kedua bentuk mobilitas tersebut hadir dalam mobilitas sosial vertikal yang terjadi di semua peradaban, meskipun dengan derajat yang berbeda.
Teori Pitirim Sorokin Sorokin
Dalam hal prospek mobilitas, Sorokin berpendapat bahwa tidak semua orang dalam suatu masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk mengubah posisi. Menurut gagasan ini, mobilitas sosial adalah pergerakan umum individu dalam suatu wilayah sosial. Dalam studi mobilitas sosial, kami tidak hanya berfokus pada bagaimana posisi sosial seseorang berubah, tetapi juga pada bagaimana perubahan ini memengaruhi pengelompokan sosial dan struktur sosial secara keseluruhan tempat mereka bermigrasi.
Sorokin membagi pergerakan menjadi dua kategori: mobilitas ke atas dan mobilitas horizontal. Perpindahan dari satu posisi ke posisi lain dalam tingkat yang sama dikenal sebagai mobilitas horizontal. Di sisi lain, mobilitas vertikal menggambarkan perpindahan individu dari satu kelas sosial ekonomi ke kelas sosial ekonomi lainnya. Jika seseorang berpindah dari satu strata sosial ke strata sosial lainnya, ini dikenal sebagai mobilitas ke atas. Seseorang mengalami mobilitas ke bawah ketika mereka berpindah dari strata yang lebih tinggi ke strata yang lebih rendah.
Menurut Philip Robinson dalam bukunya "Sosiologi Pendidikan" terdapat tiga teori mobilitas, yaitu:
Teori mobilitas yang dipengaruhi faktor politik
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jancks dan rekan menunjukkan bahwa mobilitas yang menghubungkan pendidikan dengan struktur kesempatan lebih ditekankan pada aspek politik, di mana keberhasilan dalam mendapatkan pekerjaan sangat bergantung pada keinginan pemerintah untuk mengurangi ketiadaan persamaan. Hasil penelitian ini sekaligus membantah peran pendidikan secara langsung, artinya tidak peduli seberapa baik pendidikan seseorang, jika pemerintah tidak mengubah kebijakan diskriminasi sosial, mereka tidak akan mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Penelitian juga menemukan bahwa ada perbedaan status yang signifikan di antara orang-orang dengan tingkat pendidikan yang sama. Sementara Jancks berpendapat bahwa perbedaan pendidikan yang ternyata tidak berpengaruh terhadap besarnya penghasilan (sebanyak 78%) adalah kebetulan atau kemujuran, teorinya ini bersifat pesimistis.
Teori mobilitas berdasarkan ketidaksamaan kultural
Boudon mengemukakan teori ini, menyatakan bahwa mobilitas dipengaruhi oleh latar belakang kultural di mana seseorang termasuk dalam kelas sosial yang lebih atas dan memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengincar pekerjaan di kelas sosial yang lebih rendah. Teori ini juga menyatakan bahwa ketidakmerataan sosial menunjukkan arah yang tetap atau tidak berubah, meskipun ketidakmerataan di bidang pendidikan menunjukkan kecenderungan menurun.
Teori modus mobilitas sosial
Menurut Bowman dan Turner, mobilitas masyarakat terjadi dalam dua cara. Pertama, mobilitas berdasarkan sponsor: seseorang didukung oleh status orang tua mereka untuk menuju status pekerjaan tertentu untuk mendapatkan kesempatan karena status sosial sudah disiapkan. Kedua, mobilitas berdasarkan perlombaan: seseorang berusaha mencapai status sosial tertentu melalui pencapaian prestasi. Modus pertama lebih umum di masyarakat yang tertutup, sementara modus kedua lebih umum di masyarakat yang terbuka.
Adapun Faktor Pendorong Mobilitas Sosial, yaitu:
Perubahan kondisi sosial
Struktur kasta dan kelas dapat berubah dengan sendirinya sebagai akibat dari perubahan kondisi sosial. Ini terjadi karena masyarakat menjadi lebih terbuka. Mobilitas ke atas dapat muncul sebagai hasil dari kemajuan teknologi. Selain itu, perubahan baru dalam stratifikasi.
Ekspansi teritorial (peluasan daerah) dan gerak populasi
Mobilitas sosial dapat ditingkatkan oleh ekspansi teritorial, atau peluasan daerah, dan gerak populasi, misalnya, karena transmigrasi dan pertumbuhan kota dapat memicu mobilitas sosial.
Komunikasi yang bebas
Mobilitas sosial akan terhambat jika ada komunikasi yang bebas atau terbatas antar anggota masyarakat. Sebaliknya, jika ada komunikasi yang bebas dan efektif, semua batas antar anggota masyarakat akan dihapus, yang memungkinkan mobilitas sosial terjadi.
Pembagian kerja
Pembagian kerja, besarnya kemungkinan mobilitas dipengaruhi oleh tingkat pembagian kerja yang ada dan jenis pekerjaan. Keahlian khusus diperlukan untuk posisi tertentu. Kemungkinan orang berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain berkurang seiring dengan seberapa spesifik pekerjaan yang ada di masyarakat. Akibatnya, kemungkinan mobilitas sosial berkurang.
Tingkat fertilitas (kelahiran) yang berbeda
Tingkat fertilitas, atau kelahiran, berbeda: kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah cenderung memiliki tingkat fertilitas yang tinggi, sedangkan kelompok masyarakat dengan kelas sosial yang lebih tinggi cenderung memiliki tingkat fertilitas yang lebih rendah. Orang-orang dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang lebih rendah pada saat itu memiliki lebih banyak kesempatan untuk bereproduksi dan memperbaiki kualitas keturunan mereka. Mobilitas sosial dapat terjadi dalam kondisi seperti itu.
Situasi politik
Banyak orang mengungsi atau pindah ke negara lain yang lebih aman karena situasi politik dan politik negara yang tidak stabil. Sebagai contoh, situasi negara menjadi kacau balau saat Reformasi Indonesia dimulai. Sebagian besar orang Indonesia pindah ke tempat yang dianggap aman. Dalam kasus lain, ketika Israel menyerang Lebanon, sebagian besar penduduknya mengungsi ke negara tetangga untuk menghindari korban jiwa.
Perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya tidak mudah. Beberapa faktor penting menghambat proses ini.
Perbedaan ras dan agama
Perbedaan berdasarkan agama dan ras. Perbedaan status sosial disebabkan oleh perbedaan ras dan agama, yang dapat menghambat mobilitas sosial. Contohnya adalah perbedaan rasial di Afrika Selatan. Ras kulit putih berkuasa dan tidak memberi kesempatan kepada ras berkulit hitam untuk menjadi penguasa di pemerintahan. Namun, Nelson Mandela dari kalangan kulit hitam menjadi presiden Afrika Selatan setelah politik Apharteid berakhir. India memiliki sistem kasta. Sistem tidak memungkinkan seseorang yang berasal dari kasta rendah untuk naik ke kasta tertinggi. Dalam agama tertentu, seseorang tidak boleh dengan bebas dan sesuka hati mengubah agama untuk mencapai posisi tertentu.
Diskriminasi kelas dalam sistem kelas terbuka
Dalam sistem kelas terbuka, diskriminasi kelas dapat menghalangi mobilitas ke atas. Itu terbukti dengan pembatasan keanggotaan organisasi tertentu dengan berbagai syarat dan ketentuan, seperti batasan jumlah anggota DPR menjadi 500 orang.
Kelas-kelas sosial
Subkultur tempat seseorang berkembang dan mengalami proses sosialisasi dikenal sebagai kelas sosial. Hal ini menghalangi mobilitas sosial di atas. Misalnya, anak-anak dari keluarga kelas ekonomi rendah cenderung tinggal di lingkungan yang memiliki prinsip dan cara berpikir yang umumnya ada di masyarakat kelas rendah. Pengaruh sosialisasi yang kuat dari lingkungan sekitar mereka cenderung mendorong anak-anak untuk menerapkan pola pikir yang berasal dari masyarakat kelas rendah.
Kemiskinan
Kemiskinan dapat membatasi peluang untuk maju dan mencapai status sosial tertentu. Sebagai contoh, Ahmad memilih untuk tidak pergi ke sekolah karena kedua orang tuanya tidak dapat membayar biaya.
Perbedaan jenis kelamin
Perbedaan antara jenis kelamin berpengaruh pada prestasi, status sosial, kekuasaan, dan peluang untuk maju. Pria dianggap memiliki status yang lebih tinggi dan cenderung lebih mudah mengalami gerak sosial daripada wanita. Sebagai contoh, wanita yang tinggal di desa biasanya menganggap tugasnya hanya sebagai ibu rumah tangga. Hal itu dipengaruhi oleh pendapat umum tentang masyarakatnya.Â
C. Sistem Mobilitas Sosial
Disebutkan sebelumnya bahwa sistem mobilitas sosial terbuka dan tertutup berbeda dari satu sama lain. Sistem mobilitas tertutup berlaku dalam masyarakat feodal, di mana posisi sosial seseorang ditentukan oleh masyarakat berdasarkan beberapa kriteria, seperti pekerjaan orang tua, posisi sosial orang tua, dan jenis kelamin. Pada sistem ini, sangat terbatas kesempatan seseorang untuk menduduki posisi sosial yang lebih tinggi atau melakukan mobilitas vertikal; sistem ini bahkan dapat mempertahankan kesenjangan dalam masyarakat, seperti perbedaan dalam distribusi sumber daya dan kepemilikan kekuasaan. Namun, meskipun sistemnya ketat, tetap ada peluang untuk melakukan mobilitas sosial, meskipun sangat sulit dan kesempatannya sangat terbatas.
Posisi sosial seseorang dalam masyarakat dengan sistem mobilitas terbuka terutama ditentukan oleh usaha atau prestasi dirinya. Melalui kerja keras, usaha, dan prestasi, setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk meningkatkan status sosialnya. Sistem masyarakat seperti ini biasanya memiliki hirarki sosial yang lebih fleksibel dan tingkat kemungkinan perubahan sosial yang lebih besar, termasuk perubahan struktur sosial. Pada masyarakat ini, kesetaraan dan kebebasan individu ditekankan. Namun, Sorokin menyatakan bahwa tidak ada masyarakat yang benar-benar tertutup atau terbuka.
Menurut Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L., masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas yang rendah disebut berkelas sosial tertutup, sedangkan masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi disebut berkelas sosial terbuka. Jika masyarakat lebih terbuka, seseorang dapat mencapai posisi sosial yang lebih tinggi dengan usaha sendiri. Kondisi ini menunjukkan apakah seseorang dapat meningkatkan status sosialnya. Selain itu, keterbukaan ini menunjukkan seberapa jauh seseorang dapat berpartisipasi dalam mobilitas sosial.
D. Cara Untuk Melakukan Mobilitas Sosial
Menurut Anggriawan secara umum, cara orang untuk dapat melakukan mobilitas sosial ke atas dapat melalui:
Perubahan standar hidup
Jika penghasilan Anda meningkat, itu tidak secara otomatis meningkatkan status Anda. Sebaliknya, itu menunjukkan standar hidup yang lebih baik, yang akan berdampak pada peningkatan status. Sebagai contoh, seorang pegawai rendahan dinaikkan pangkat menjadi manajer karena prestasinya yang baik. Jika dia tidak mengubah gaya hidupnya, seperti menjadi pegawai rendahan, status sosialnya di masyarakat tidak dapat dianggap naik.
Perubahan tempat tinggal
Untuk meningkatkan status sosial, seseorang dapat berpindah dari tempat tinggal yang lama ke tempat tinggal yang baru atau merenovasi tempat tinggal yang lama menjadi lebih megah, indah, dan mewah. Memiliki rumah mewah secara otomatis dianggap sebagai orang kaya oleh masyarakat, yang menunjukkan terjadinya gerak sosial ke atas.
Perubahan tingkah laku
Orang berusaha meningkatkan status sosial mereka dan berperilaku dengan cara yang lebih kelas. tidak hanya tingkah laku, tetapi juga ucapan, minat, pakaian, dan lainnya.
Selain itu, terdapat pula beberapa cara lain untuk melakukan mobilitas sosial, diantaranya adalah melalui:
Perubahan nama.
Nama dihubungkan dengan posisi sosial tertentu dalam masyarakat tertentu. Mengubah nama diri menjadi nama yang menunjukkan posisi sosial yang lebih tinggi adalah cara untuk bergerak ke posisi sosial yang lebih tinggi. Sebagai contoh, di masyarakat feodal Jawa, lelaki biasa disebut "kang". Jika seorang pria diangkat menjadi pengawas pamong praja, sebutan "kang" berubah menjadi "raden".
Pernikahan.
Pernikahan dapat membawa seseorang ke status sosial yang lebih tinggi. Seseorang yang berasal dari keluarga yang sangat sederhana menikah dengan orang dari kalangan keuarga terpandang dan kaya di masyarakatnya, misalnya. Status seseorang dapat meningkat karena pernikahan. Dan
Bergabung (berafiliasi) dengan asosiasi tertentu.
Dengan bergabung pada salah satu organisasi tertentu, seseorang dapat memperoleh posisi yang lebih tinggi. Orang-orang yang kurang pendidikan, contohnya, dapat bergabung dengan ormas tertentu. Ia menyadari potensinya setelah bergabung dengan ormas. Ia menjadi populer di masyarakat dan akhirnya diangkat menjadi ketua organisasi. Oleh karena itu, status sosialnya telah berubah.
E. Konsekuensi dan Dampak Mobilitas Sosial Pendidikan Islam
Ada dampak baik dan buruk dari mobilitas sosial terhadap masyarakat secara keseluruhan. Dampak baik termasuk mendorong pertumbuhan pribadi, mempercepat perubahan sosial yang baik dalam masyarakat, dan mendorong integrasi sosial yang lebih besar. Selain itu, mobilitas sosial juga dapat menginspirasi individu untuk maju dan sukses untuk mencapai posisi yang lebih tinggi. Di sisi lain, dampak negatifnya antara lain meningkatnya penyakit kejiwaan, berkurangnya persatuan sosial, dan konflik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Elfahmi bahwa mobilitas sosial dalam masyarakat menimbulkan berbagai potensi konflik, termasuk pertikaian antar kelompok, kelas, generasi, dan lain-lain. Akibatnya, persatuan dan kesatuan di dalam dan antar kelompok akan berkurang. Seknum mengklaim bahwa meningkatnya stres, kesombongan dalam memamerkan kekayaan, dan perselisihan keluarga karena meningkatnya perceraian dan pembubaran perkawinan adalah konsekuensi yang merugikan dari mobilitas sosial bagi masyarakat. Di sisi lain, meskipun kekayaan dan status mereka meningkat dengan cepat, seseorang yang secara psikologis kuat dan sehat akan mampu menahan dampak-dampak tersebut.
Efek negatif dari mobilitas sosial termasuk ketegangan dalam mempelajari peran baru dari status posisi dan kecemasan tentang penurunan status mobilitas, yang memperlebar kesenjangan antara anggota kelompok primer asli ketika seseorang pindah ke status yang lebih tinggi atau lebih rendah, menurut Horton dan Hunt. Sebagai contoh, seorang karyawan perusahaan yang dipromosikan ke pekerjaan tertentu kemungkinan besar akan membuat mantan rekan kerjanya cemburu dan mungkin dengan mudah menjadi fokus rumor, meskipun promosi tersebut sah dan sesuai dengan hukum. Hubungan sosial yang telah berlangsung lama dapat merenggang karena mobilitas sosial ekonomi, yang memungkinkan terjadinya kerenggangan di antara para tetangga.
Seseorang yang baru saja mendapatkan status mungkin tidak selalu disambut dengan tangan terbuka di lingkungan kelas sosial barunya. Karena mereka tidak menjalani gaya hidup yang sama, seseorang yang tiba-tiba menjadi kaya karena kemenangan lotere atau warisan mungkin tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat elit.
F. Hubungan Madrasah dengan Mobilitas Sosial
Seperti yang dinyatakan oleh Robert G. Burgess dalam Bahar, sistem pendidikan berfungsi sebagai mekanisme mobilitas sosial dalam hubungan antara pendidikan (madrasah/sekolah) dan mobilitas. Sebagai tanggapan dari Ivan Reid, pendidikan memainkan peran penting dalam mobilitas sosial, meskipun tidak tertuju pada penempatan pekerjaan tertentu. Berkaitan dengan peran pendidikan dalam mobilitas sosial, kita tahu bahwa tingkat pendidikan harus langsung terkait dengan jenis pekerjaan yang diinginkan.
Salah satu faktor yang dianggap dapat mempercepat mobilitas sosial adalah pendidikan, yang berfungsi sebagai proses penyeleksian untuk menempatkan orang pada masyarakat sesuai dengan kemampuan dan keahlian mereka. Akibatnya, pendidikan berkorelasi dengan tujuan mobilitas sosial karena mobilitas sosial yang terpenting adalah kemampuan dan keahlian seseorang.
Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam mendorong mobilitas sosial dalam suatu masyarakat, dan Minabari berpendapat bahwa pendidikan nasional harus dapat mewujudkan diri sebagai sarana atau media mobilitas sosial untuk menekankan pada pemerataan kualitas pendidikan. Pattinasarany menyatakan dalam penelitiannya bahwa pendidikan dapat dianggap sebagai "elevator sosial" karena membantu meningkatkan posisi sosial seseorang.
Dalam hal hubungan antara pendidikan dan mobilitas sosial, ada banyak hal yang dipertimbangkan. Misalnya, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan banyak dipengaruhi oleh status sosial dan kedudukan seseorang di masyarakat. Pendidikan mendorong perubahan atau mobilitas sosial di kalangan masyarakat bawah. Selain itu, untuk mendapatkan pekerjaan, kualifikasi pendidikan berkorelasi dengan jenis pekerjaan yang diinginkan. Namun, tidak semua orang dengan kualifikasi tinggi akan diterima di pekerjaan yang mereka inginkan. Mobilitas sosial dipengaruhi oleh pendidikan, yang menghasilkan kualifikasi yang lebih tinggi, sehingga kesempatan kerja berbeda di antara daerah. Oleh karena itu, hubungan dengan mobilitas sosial memengaruhi peluang pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Karena itu, ada lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, dan lebih banyak hasil pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan kerja jika mobilitas sosial diinginkan.
Orang yang dapat menyelesaikan pendidikan tingkat SD di Belanda pada zaman dahulu memiliki harapan untuk menjadi pegawai dan mendapatkan posisi sosial yang terhormat. Dengan lebih banyak pendidikan di MULO, AMS, atau perguruan tinggi, lebih besar peluang untuk mendapatkan posisi yang lebih baik.
Sekarang, pendidikan di SD/Madrasah Ibtidaiyah, bahkan SMU atau Madrasah Aliyah, hampir tidak memengaruhi mobilitas sosial. Apalagi ketika kewajiban belajar meningkat sampai SMU atau Madrasah Aliyah, ijazah SMU atau Madrasah Aliyah tidak relevan lagi untuk mencari pekerjaan yang lebih tinggi. Bahkan saat ini, lulusan perguruan tinggi menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mobilitas sosial secara vertikal, yaitu memperoleh status sosial yang lebih tinggi, karena kompetisi untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi dengan bekal gelar. Akibatnya, persaingan juga sangat ketat. Namun, pendidikan tinggi tetap sangat selektif. Tidak semua orang tua memiliki kemampuan finansial untuk membiayai pendidikan tinggi anak mereka. Komputer menilai tes seleksi masuk secara objektif, tidak lagi dipengaruhi oleh posisi orang tua atau orang yang memberikan rekomendasi. Cara ini memungkinkan banyak anak-anak dari golongan rendah dan menengah untuk memasuki perguruan tinggi berdasarkan kinerja dan kemampuan mereka.
Di satu sisi, Anderson menekankan dalam studinya bahwa harus berhati-hati untuk menyimpulkan bahwa mobilitas sosial ke atas ditentukan oleh pendidikan formal saja. Studi komparatif menunjukkan bahwa banyak mobilitas sosial yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan sekolah di Swedia dan AS. Hal ini menunjukkan bahwa intelegensi dan dorongan merupakan komponen penting yang mempengaruhi mobilitas sosial. Kedua komponen ini tidak selalu ada hubungannya dengan pendidikan formal di sekolah.
Menurut uraian di atas, mobilitas sosial meningkat dengan tingkat pendidikan yang berfungsi, terutama bagi anak-anak dari golongan rendah dan menengah. Terlepas dari kenyataan bahwa pernyataan tersebut tidak selalu benar, terutama dalam kasus di mana pendidikan hanya sebatas madrasah aliyah dan tidak memiliki kemampuan untuk membantu mendapatkan ijazah. Pembaharuan pendidikan adalah perspektif baru dalam dunia pendidikan yang dimulai sebagai alternatif untuk memecahkan masalah pendidikan yang belum diatasi secara menyeluruh. Dengan demikian, pembaharuan pendidikan dilakukan untuk memecahkan masalah pendidikan saat ini dan menyongsong arah perkembangan dunia pendidikan yang lebih menjanjikan ke depan. Clark menjelaskan hubungan antara status sosial ekonomi dan pendidikan seseorang sebagai berikut.
Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin tinggi pula tingkat penghasilannya. Tidak dapat dipungkiri, pada umumnya karyawan dengan tamatan pendidikan SD, SMP, SMA, maupun perguruan tinggi memiliki tingkat pendapatannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula tingkat pendapatannya.
Tamatan sekolah dasar (atau sekolah menengah pertama) akan mendapat penghasilan maksimal pada usia sekitar 25-34 tahun; tamatan sekolah menengah atas akan mendapatkan penghasilan maksimal pada usia sekitar 35-44 tahun dan tamatan perguruan tinggi akan mendapat hasil maksimal pada usia sekitar 45-54 tahun.
Tamatan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama pada usia tua mendapat hasil yang lebih rendah dari hasil ketika mereka mulai bekerja. Tamatan sekolah menengah atas pada usia tua mendapat hasil yang seimbang dengan hasil ketika mereka mulai bekerja. Tamatan perguruan tinggi pada usia tua mendapat hasil yang lebih besar ketika mereka mulai bekerja.
Pendapat Clark sejalan dengan pendapat Kuznet, yang menyatakan bahwa distribusi tingkat pendidikan terkait dengan distribusi pendapatan. Karena faktor tingkat pendidikan yang rendah, masyarakat kelas bawah cenderung memiliki distribusi pendapatan yang merata. Namun, jelas bahwa tidak semua orang mengalami atau memiliki korelasi antara tingkat pendidikan dan penghasilan yang disebutkan di atas; ketidaksesuaian tentu ada, seperti halnya masalah sosial lainnya. Sebagai contoh, menurut Musyarifah (2018), seorang anak yang berasal dari keluarga miskin atau kelompok miskin dapat pergi ke sekolah sampai jenjang yang lebih tinggi karena profesionalisme pendidikan di sekolahkan. Dia menjadi pengusaha sukses yang meningkatkan status sosialnya setelah lulus, memiliki pengetahuan bisnis dan menggunakan pengetahuannya untuk berusaha.
KesimpulanÂ
Pendidikan dipandang sebagai jalan untuk mencapai kedudukan yang lebih baik di dalam masyarakat. Makin tinggi pendidikan yang diperoleh, makin besar harapan untuk mencapai tujuan itu. Dengan demikian terbuka kesempatan untuk meningkat ke golongan sosial yang lebih tinggi. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu jalan bagi mobilitas sosial.
Pada kenyataannya, di Indonesia masih ditemui adanya kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang seringkali dikaitkan dengan prestasi akademik atau profesional seseorang. Fakta adanya ketimpangan sosial ini dipengaruhi akses seseorang untuk memperoleh pendidikan sebagai sarana utama untuk memperoleh mobilitas vertikal. Fungsi pen didikan bukan lagi hanya sekedar usaha sadar yang berkelanjutan. Akan tetapi sudah merupakan sebuah alat untuk melakukan perubahan dalam masyarakat. Pendidikan harus bisa memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang realitas sosial serta cara melakukan mobilitas sosial. Mengingat pentingnya pendidikan bagi masyarakat, sudah sepatutnya pemerintah dapat mengakomodasi pendidikan yang merata bagi seluruh warga negara Indonesia, agar memiliki kehidupan yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H