Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keladi Tumbuk Terakhir

12 November 2022   22:36 Diperbarui: 12 November 2022   22:56 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keladi Tumbuk | Foto: S Aji

"Bang Azel mo minum kopi hitam ka?"

Kalimat itu belum lagi selesai, Liza telah menawarkan segelas kopi. "Kopi dari Anggi, to?" 

"Iyoo, Bang. Sa bikinkan e?" Liza hendak kembali ke dapur. "Liz, tolong kasi krim sedikit e,"pinta Azel. 

Selama di pinggir selat, kopi Anggi sering membantunya menyukuri udara laut. Azel merasa terikat dengan kopi yang dibawa dari kebun petani di sekitar Danau Anggi Giji, Pegunungan Arfak. 

"Oke, Abang."

Tak ada lagi percakapan. Sabtu ini, Azel benar-benar berjuang agar bisa menyelesaikan cerita pendudukan singkat Jepang di pesisir Pulau Salawati. Azel tak menyangka ada anak magang yang justru datang di hari Sabtu. Ricard tak pernah bilang sebelumnya. Liza.

"Abang, siang ini mo makan apa?"

"Ini baru jam 8, Liz. Nanti saja sudah. Sa bisa makan di kafe depan saja, trapapa."

"Ah, jangan bang. Sa memang ke sini cuma mo bantu siapkan makan siang saja."

Oh, disuruh Nancy kayaknya. "Terserah Liza saja sudah."

Azel tidak ingin lagi bicara. Kalimat-kalimat yang kemarin lesu kini mendesak-desak keluar dari jemarinya. Setiap karya penulisan adalah proses melahirkan, ia memiliki riwayat perjuangan dan pengorbanannya sendiri-sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun