Azel merasa cuaca seminggu terakhir di Manokwari tidak cukup baik bagi pikirannya yang berserak.
Sebulan lalu, Azel baru saja menenggelamkan keseriusannya di pinggiran selat Sagawin. Di pinggir sebuah tanjung yang tenang, cerah, dan berpotensi merawat kerinduan.Â
Azel menghabiskan hari-hari bertemu para tetua kampung, bertanya, merekam-membayangkan bagaimana mereka merawat hidup hingga hari ini. Sesekali mengunyah pinang, menyesap kopi tapi tidak merokok.Â
Lantas menjelang senja, Azel akan mengapung di laut dengan peralatan snorkeling. Atau jogging tanpa alas kaki di sepanjang pasirnya yang lembut. Tak cukup sinyal, tak ada sosial media. Azel seperti sedang healing.
Pesisir di sini bukanlah destinasi inti seperti Waisai. Atau tetangganya, Pulau Batanta. Tapi setiap pesisir di Raja Ampat adalah surga yang tidak ada di sembarang tempat. Tete Okto, salah seorang tetua bilang begini ke Azel. "Anak, orang-orang kota bekerja keras untulk pergi liburan ke tempat-tempat yang tenang, bersahaja dan tidak banyak pembangunan. Hati-hati dengan ambisimu sendiri." Â
Seminggu ini, Azel mesti menyelesaikan semua cerita-cerita itu kedalam susunan yang enak dibaca. Dan perlu!
"Kaka Azel, hari ini mo makan apa ka?"
Pukul 11.30 WIT.  "Ah, sa ikut teman-teman saja."
"Kalau begitu, siang ini kitong makan lalapan sudah e." Nancy adalah orang yang selalu memastikan keperluan Azel terpenuhi.Â
Setiap hari ia akan bertanya apa saja yang diinginkan atau apa yang masih kurang. Oleh Ricard, pimpinannya, Nancy sepertinya diberi tugas tambahan. Selain mengurusi laporan keuangan. Yayasan mereka memang tak menggunakan jasa Asisten Rumah Tangga. Semua staf adalah juga tenaga kebersihan. Â
Azel seringkali risih diperlakukan begitu tapi, "Sudah begini aturannya, kak." Terang Nancy pada kesempatan pertama.
Siang yang gerah itu, Azel makan lalapan dengan pikiran yang stagnan. Paragraf-paragraf yang digarapnya masih rumpamg dimana-mana. Azel telah melihat benang merah tapi selalu tak mudah menyusunnya dalam narasi yang utuh.Â
Azal melewati makan siang dengan kalimat-kalimat yang patah di kepala.
Di masa Perang Pasifik, Jepang pernah membangun hunian di sini. Jepang ingin mengawasi pergerakan Sekutu.
***
Sabtu, pukul 6 pagi. Azel menyelesaikan 4 kilometer di sekitar Universitas Papua. Dengan begini, badannya mungkin bisa lebih segar. Pikirannya kembali bisa melepaskan diri dari penjara stagnasi. Deadline-nya tak lama lagi.
"Pagi, Bang. Yang lain belum datang?"Â
Azel menolehkan pandang ke pintu. "Pagi juga. Eh, belum ada. Bukannya Sabtu tra ma..?" Kalimat tanya yang tak Azel teruskan. Sesungguhnya ia bingung. Jangan-jangan yang datang adalah staf yayasan yang belum pernah dijumpainya. Tapi ini bukan hari kerja.Â
"Bang Azel, ya. Saya Liza. Anak magang di sini."
"Oh. Sori, hehehe." Azel cuma bisa nyengir. Bagaimana menghadapi seseorang, di sebuah pagi, yang mengetahui namamu tapi sembari mengenalkan siapa dirinya? Seorang perempuan muda dengan rambut keriting sebahu yang masih basah. Ceria.Â
Situs hunian peninggalan Jepan yang dijaga seorang Jerman...
"Bang Azel mo minum kopi hitam ka?"
Kalimat itu belum lagi selesai, Liza telah menawarkan segelas kopi. "Kopi dari Anggi, to?"Â
"Iyoo, Bang. Sa bikinkan e?" Liza hendak kembali ke dapur. "Liz, tolong kasi krim sedikit e,"pinta Azel.Â
Selama di pinggir selat, kopi Anggi sering membantunya menyukuri udara laut. Azel merasa terikat dengan kopi yang dibawa dari kebun petani di sekitar Danau Anggi Giji, Pegunungan Arfak.Â
"Oke, Abang."
Tak ada lagi percakapan. Sabtu ini, Azel benar-benar berjuang agar bisa menyelesaikan cerita pendudukan singkat Jepang di pesisir Pulau Salawati. Azel tak menyangka ada anak magang yang justru datang di hari Sabtu. Ricard tak pernah bilang sebelumnya. Liza.
"Abang, siang ini mo makan apa?"
"Ini baru jam 8, Liz. Nanti saja sudah. Sa bisa makan di kafe depan saja, trapapa."
"Ah, jangan bang. Sa memang ke sini cuma mo bantu siapkan makan siang saja."
Oh, disuruh Nancy kayaknya. "Terserah Liza saja sudah."
Azel tidak ingin lagi bicara. Kalimat-kalimat yang kemarin lesu kini mendesak-desak keluar dari jemarinya. Setiap karya penulisan adalah proses melahirkan, ia memiliki riwayat perjuangan dan pengorbanannya sendiri-sendiri.
"Bang, kalau keladi tumbuk, gimana? Pernah makan?"
Liza masih berdiri di sana. Dengan tawaran yang dilengkapi senyuman ramah. "Keladi tumbuk?"
"Pernah makan keladi to, bang?" Liza bertanya tapi seperti ingin tertawa. Seolah-olah Azel adalah seseorang dari ujung Barat yang seleranya terjebak di antara gerai fast-food atau jaringan coffee shop belaka.
"Boleh. Terima kasih Liz."
***
Azel telah menghabiskan tiga potongan putih. Sepotong sedang cakalang disaos pedas. Setengah mangkuk tumisan bunga pepaya dicampur jantung pisang. Segar, sedikit pahit dan gurih. Keringat berhamburan di atas jidat dan kumisnya yang tipis. Â
"Ini enak sekali, Liz. Belajarnya sama siapa, mama?"
"Ah, tidak. Sama kaka perempuan." Liza tersenyum. Keladi tumbuk buatannya disanjung dengan sungguh.Â
"Oh, salam kenal buat kaka-nya e. Siapa namanya?" Azel berusaha lebih ramah. Sedari tadi ia merasa sedikit kaku. Tidak diniatkan. Semata-mata karena kisah Jepang yang sempat mandeg dan deadline yang terbayang-bayang.Â
 "Sintia, bang."
"Oh, terima kasih kaka Sintia," balas Azel sambil memasukan potongan keladi, daging cakalang dan sayuran. "Keladinya direbus dulu, terus dikasih apa Liz? Enak sekali ini."
"Dikasih parutan kelapa, terus dimasukan kedalam baki kotak. Sayuranya ditumis biasa sama cakalangnya dimasak seperti biasa saja. Bumbunya mudah, kok. Makanan begini sering buat anak-anak yang lagi ujian skripsi, bang."
"Wah, sudah betul. Enak, sehat dan murah."
Liza tertawa. Tapi tidak ikut makan. Mungkin dia bosan, pikir Azel. "Makasih, Liza. Ini enak sekali." Suapan terakhir.
"Besok saya bikinkan lagi menu Papua, Bang. Kalau papeda kuah kuning, gimana?"
Azel tersenyum. Hanya mengangkat alis. Mulutnya penuh.Â
***
Azel merenggangkan kedua lengannya kuat-kuat. Seperti ingin melepas semua penat. Tak terasa, seusasi makan siang, dirinya telah menghabiskan 300 menit tanpa berhenti memeriksa acuan, membaca transkrip dan mengetik cerita. Sebentar lagi magrib.Â
Liza kok tak terdengar suaranya? Perempuan muda seramah dan seceria itu, pulangnya gak pamit?
Azel memutuskan pergi ke dapur. Tak ada siapa-siapa. Mungkin di rumah panggung sebelah. Tak ada juga. Kok gak pamit ya? Batin Azel.Â
"Zel, Azel...."
Dari pintu pagar depan halaman kantor yayasan, Ricard tergopoh. "Sori, sori," katanya pelan.Â
"Ada apa Cad? Ada masalah?"
"Ko sendirian di sini?"
"Ya sendirian. Bereskan naskah adalah meniti jalan sunyi, Cad. Hehehe."
"Tidak ada anak-anak yang datang? Maap e."Â
"Tidak juga. Tadi ada Liza, katanya anak magang. Ko tra cerita tu. Sembunyi aset juga e," sindir Azel, "eh, Liza ternyata pintar juga bikin keladi tumbuk." Â
"Liza? Liza yang rambutnya keriting sebahu?" Ricard kaget. "Memangnya ada berapa Liza di sini?" kejar Azel.
"Dia sudah resign 2 bulan yang lalu. Liza memang sering sakit-sakitan setahun terakhir," kenang Ricard. "Liza yang mengusulkan ko diajak."Â
Liza ternyata sepenting itu di balik semua proses ini. Azel merasa tersanjung tapi setengah bersalah "Liza boleh kenal saya dari mana?"
"Dia memang bergaul dengan komunitas blogger. Liza yang ngotot agar ko saja yang diajak." Terang Ricard. Agak lirih.
"Ada nomor WA-nya ka, Cad? Saya harus bilang banyak terima kasih."
Icad tak menjawab Azel. "Liza meninggal subuh tadi, Zel"
"Eh". Azel tidak memiliki lagi kata-kata.Â
***
Azel tidak mengerti mengapa pagi ini dia terbangun dengan mata yang sembab. Ada semangkuk hangat papeda kuah ikan kuning di mejanya. Azel merasa hidupnya mendadak pedih sekali.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H