"Dikasih parutan kelapa, terus dimasukan kedalam baki kotak. Sayuranya ditumis biasa sama cakalangnya dimasak seperti biasa saja. Bumbunya mudah, kok. Makanan begini sering buat anak-anak yang lagi ujian skripsi, bang."
"Wah, sudah betul. Enak, sehat dan murah."
Liza tertawa. Tapi tidak ikut makan. Mungkin dia bosan, pikir Azel. "Makasih, Liza. Ini enak sekali." Suapan terakhir.
"Besok saya bikinkan lagi menu Papua, Bang. Kalau papeda kuah kuning, gimana?"
Azel tersenyum. Hanya mengangkat alis. Mulutnya penuh.Â
***
Azel merenggangkan kedua lengannya kuat-kuat. Seperti ingin melepas semua penat. Tak terasa, seusasi makan siang, dirinya telah menghabiskan 300 menit tanpa berhenti memeriksa acuan, membaca transkrip dan mengetik cerita. Sebentar lagi magrib.Â
Liza kok tak terdengar suaranya? Perempuan muda seramah dan seceria itu, pulangnya gak pamit?
Azel memutuskan pergi ke dapur. Tak ada siapa-siapa. Mungkin di rumah panggung sebelah. Tak ada juga. Kok gak pamit ya? Batin Azel.Â
"Zel, Azel...."
Dari pintu pagar depan halaman kantor yayasan, Ricard tergopoh. "Sori, sori," katanya pelan.Â