"Bang Azel mo minum kopi hitam ka?"
Kalimat itu belum lagi selesai, Liza telah menawarkan segelas kopi. "Kopi dari Anggi, to?"Â
"Iyoo, Bang. Sa bikinkan e?" Liza hendak kembali ke dapur. "Liz, tolong kasi krim sedikit e,"pinta Azel.Â
Selama di pinggir selat, kopi Anggi sering membantunya menyukuri udara laut. Azel merasa terikat dengan kopi yang dibawa dari kebun petani di sekitar Danau Anggi Giji, Pegunungan Arfak.Â
"Oke, Abang."
Tak ada lagi percakapan. Sabtu ini, Azel benar-benar berjuang agar bisa menyelesaikan cerita pendudukan singkat Jepang di pesisir Pulau Salawati. Azel tak menyangka ada anak magang yang justru datang di hari Sabtu. Ricard tak pernah bilang sebelumnya. Liza.
"Abang, siang ini mo makan apa?"
"Ini baru jam 8, Liz. Nanti saja sudah. Sa bisa makan di kafe depan saja, trapapa."
"Ah, jangan bang. Sa memang ke sini cuma mo bantu siapkan makan siang saja."
Oh, disuruh Nancy kayaknya. "Terserah Liza saja sudah."
Azel tidak ingin lagi bicara. Kalimat-kalimat yang kemarin lesu kini mendesak-desak keluar dari jemarinya. Setiap karya penulisan adalah proses melahirkan, ia memiliki riwayat perjuangan dan pengorbanannya sendiri-sendiri.