Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Bulan Kemanusiaan RTC] Firasat Naas

27 Juli 2016   01:52 Diperbarui: 27 Juli 2016   08:16 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.deviantart.com (dengan resolusi yang diperkecil)

Jim, kamu sudah dimana? Saya sedang bersiap ke kantor Dinas Sosial. Tidak ada yang mengantar!

Pesan singkat masuk di inbox. Dari nomor selular Azis. Ini sebuah “panggilan”, bukan sekedar pesan atau basabasi permintaan tolong yang biasa dan datang dari orang yang sekedar butuh teman karena dirinya diasingkan, kebutuhan akan teman yang muncul dari kebiasaan memanfaatkan kebaikan orang lain.

Aduh, mesti bagaimana nih, batin saya, pemilik jiwa sedang terjepit dalam kesempitan pilihan antara segera bergegas atau mendengar ceramah basi, pada ruang kerja yang penuh dengan tumpukan kertas di atas meja, ceramah yang keluar bibir penuh lipstick merah yang disapu secara genit pada wajah bundar seorang pegawai tata usaha di fakultas. Nadanya tinggi, marah besar seolah saya adalah pendosa karena menghamili anak perempuannya dan berniat kabur lalu membiarkan semuanya menjadi penderitaan panjang aib muda yang di masa depan akan selalu mengutuk habis gairah cinta masa kuliahnya.

“Kamu itu harus sudah segera menyelesaikan pembayaran SPP. Sudah menunggak tiga semester. Kamu akan mendapat surat teguran. Kalau lewat empat semester, bisa di-DO, tahu kan aturannya?”

Sialan. Ya tahulah, maki saya dalam rahang yang mengeras. Setengah mendesis seperti ular sangat berbisa yang kesal sebab kepalanya ditekan oleh cecabang kayu sementara si pawang mendapat tepukan penonton.

Jim, kenapa smsnya tidak dibalas? Tolong telpon saya, jangan membalas tidak ada yang membacakan.

Pesan pendek lagi. Masih dari Azis. Panggilan yang makin menekan ulu hati dan menciptakan rasa muak pada ceramah basi bibir yang kini seperti debt collector.

“Jadi kamu sudah haru…”

“Maaf Bu, saya ada urusan mendadak. Soal tunggakan SPP, nanti dibereskan. Saya janji.”

Saya berdiri dan berlalu tanpa menoleh ke belakang. Terserah apa yang akan terjadi sesudah ini, di drop out dari kampus pun terserah. Saya sudah tidak ambil pusing.

Keluar dari ruangan, saya memeriksa pulsa di nokia jadul, *888#. 150 perak. Jangankan menelpon, menggunakan layanan short message service saja tak bisa. Sialan!

Mengapa kesulitan ini seperti abadi sementara saya sedang belajar hidup melampaui urusan sendiri sebagaimana teman-teman kuliah yang hidupnya berpusar pada tiga ruang: kelas-mall-kos yang setiap energi putarannya dihidupi dengan birahi hedonisme?

Haaaaah! Berusaha menjadi manusia berguna sungguh banyak jalan kesulitannya.

***

Saya bertemu Aziz secara tidak sengaja. Bukan pertemuan yang direncanakan. Kemarin. Sebuah kemarin yang bukan setelah perpisahan karenanya juga tidak ada nostalgia yang perlu dikenang atau menjadi alasan yang membuat pertemuan memiliki kehangatan memorial masa lalu.

Di trotoar. di seberang sudut pertokoan sepi pada kota yang sedang sibuk mempersolek diri dengan mimpi kota jasa dan perdagangan, beberapa petugas polisi pamong praja sedang merazia pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar seolah saja para pedagang itu adalah binatang paling diharamkan dan entah bagaimana bisa berada di dalam sebuah rumah ibadah yang dibangun dengan dana besar dan peresmian yang megah namun selalu sepi dari puja puji yang tulus setiap hari dan hanya ramai ketika hari raya menjelang. 

Tak ada negoisasi, barang dagangan para pedagang itu dimuat secara kasar ke bak truck besar seperti mayat-mayat tak bernama yang menjadi korban dari kerusuhan atau perang saudara tanpa pernah sempat bertanya apa salah mereka. Razia yang hampir tak ada perlawanan pedagang.

Kemarin itu, saya juga adalah saksi di tengah sikap pasrah dan wajah memelas mereka, saksi yang mengabadikan perisitiwa dalam potongan-potongan gambar sedih di dalam kepala saya. Gambar-gambar mereka yang menjadi tumbal kegenitan kota.

“Angkut juga barang dagangan penjual buta itu!”

Di ujung trotoar, seorang tuna netra sedang duduk dengan wajah bingung yang menyedihkan. Kebingungan yang bercampur dengan ketakberdayaan yang lebih nelangsa dari pedagang lainnya.

Saya berlari dan mendekat. Hendak melerai. Menunda paling kurang.

“Pak, jangan diangkut. Abang ini hanya berjualan keripik pisang dan kacang goreng. Dia kan tidak menguasai badan trotoar!” pinta saya. Berusaha mengetuk nurani petugas, sesuatu yang saya tahu sia-sia, lebih sia-sia dari legenda Sisifus yang pernah saya baca di sebuah novel.

“Ada apa ini? Ada apa?” hanya ini kalimat yang keluar dari pedagang tuna netra itu. Dia masih muda.

Tak ada efek. Usaha mengetuk nurani bukan saja sia-sia, kini telah menjadi naif. Barang dagangan itu berpindah tempat ke bak mobil truck. Suasana kembali tenang, tinggal si pemilik dagangan yang masih berdiri dengan kebingungan yang makin liar.

“Ada apa? Ada apa ini?” tangannya masih menggapai ruang kosong di kanan dan kiri. Jelas meminta pertolongan.

Saya mendekatinya.

“Bang, barang dagangannya dirazia polisi pamong praja.”

“Haaaa?”

Saya kemudian memutuskan mengantarnya pulang. Perjalanan pulang yang membuat kisah kesulitan hidupnya tersambung dengan rasa iba saya. Azis, seorang muda yang hidup sendiri dan mencari nafkah sebagai penjaja keripik pisang dan kacang goreng dalam kemasan plastik dimana masing-masing diharga seribu rupiah. Hidup dijauhi cinta keluarga.

Azis sudah lama berjualan di trotoar sebelum kota menemukan mimpinya yang timpang.  

“Sekitar tiga tahun rasanya Jim.” kenangnya ketika kami telah berada di depan kontrakan kamarnya, “Tapi baru kali ini saya kena razia, hehehe. Mungkin sedang apes ya.”

Kamar kontrakannya hanyalah sebuah yang sempit dan pengap. Ruang seluas 4 x 5 meter tanpa jendela dan berdinding tripleks yang mulai melengkung juga terkelupas sebab sering dihajar hujan panas. Bekas gudang yang disewakan pemiliknya. Kondisinya jauh lebih buruk dari kamar kos saya. Tempat seperti ini hanya bisa diinapi seekor anjing betina beranak sembilan yang tidak pernah peduli siapa pejantan yang membuntinginya selain hanya menyediakan waktu tiduran sembari melihat sembilan moncong yang matanya tertutup mengisap air susunya.

Saya juga jadi tahu kalau barang dagangannya diambilnya juga dari pedagang yang memodali. Jadi Azis hanya mendapat sedikit dari rupiah jasa menjual. Artinya modalnya wajib dikembalikan jika tidak laku, katanya lagi. Saya merasa ini eksploitasi tapi, di mata Azis yang gelap sepanjang tahun itu, dalam kota yang menjadi rimba raya mencari nafkah, apa sesungguhnya batas perbedaan antara bekerja menghidupi diri dengan bangun lebih pagi dari matahari dan pulang ketika rembulan makin mengecil di langit barat dengan sedang menerima secara sukarela sebuah praktik eksploitasi yang tersembunyi dalam mantra: waktu adalah uang?

"Saya hanya harus mencari duit untuk mengganti yang dirazia lalu jualan lagi," katanya, menenangkan gundah, mengembalikan optimisme. Entah mengapa pedagang kecil seperti Azis selalu ulet lagi liat. Berkali dipukul, berkali pula muncul.

Jadi saya mengajukan ancaman yang konkrit, sebuah peristiwa yang baru saja mengusirnya dari trotoar:

“Bagaimana jika kena razia seperti barusan?”

“Ya harus diganti dengan nilai yang sama lagi,’ jawab Azis. Terkekeh.

“Lah, terus bagaimana cara barang dagangannya diganti Bang. Memangnya punya kerjaan lain?”

“Ya…itu yang sedang saya pikirkan..”

“Kita ke kantor Dinas Sosial Kota saja. Barang yang disita katanya bisa diambil kembali. Tapi jangan berjualan di trotoar lagi. Gimana?” usul saya.

“Kamu yakin, Jim?’

Kan kata walikota di berita begitu Bang. Kita coba saja. Gimana?”

Sesungguhnya ketika mengatakan ini saya tahu sedang berteriak di depan mulut goa peninggalan Jepang bekas perang dunia kedua yang menyimpan masa lalu kekejian dan memantulkan misteri pada suara saya yang bergaung sendiri. Saya merasa tak yakin dagangannya masih ada di sana.

“Aduh Jim. Kayaknya tidak usah.”

Sepertinya Azis mengetahui jika datang untuk mengambil barang dagangan yang merupakan hak hanya akan memberi kesempatan kepada aparat negara yang menjadi tukang gusur paling depan menemukan sanksak atas stres mereka akibat terus menjadi obyek dari perintah komandannya yang tidak pernah sekolah militer secara resmi itu. Ini duga-duga saya. 

Lho kenapa Bang? Besok siang saja. Paginya saya masih ada urusan di kampus, sip Bang?”

“Gimana ya…kayaknya..firasat saya tidak enak Jim.”

“Ah, tidak usah cemas Bang. Abang hanya masih shock. Saya bantu bicara nanti. Pokoknya sampai barang dagangannya dikembalikan. Saya janji. Sekarang Abang istirahat saja, saya mau ke kampus, masih ada kuliah. Abang punya hape kan?”

Azis diam saja. Wajahnya masih menyimpan gundah. Tapi ia tetap menyerahkan hape-nya. Saya memencet beberapa angka, lalu save, OK.

“Nanti minta tolong tetangga sms-in saya ya Bang. Nomornya sudah saya simpan. Jim. Sip ya Bang, saya ke kampus dulu.”

Saya berpamitan pada siang menjelang sore. Sejujurnya saya juga tidak tahu ke kampus untuk apa. Saya hanya sedang mengumpulkan keberanian dan meyakinkan diri jika benar-benar hendak membantu seorang buta yang mengalami hari naas agar tidak mengalami kesulitan yang lebih besar dalam hidupnya karena hanya menghabiskan waktu menantang kegelapan di matanya demi mengumpulkan cicilan membayar ganti barang dagangan.

***

Setelah memiliki keyakinan, cukup memiliki keberanian, juga rasa muak karena ceramah basi tata usaha, sesudah menyerahkan selembar dua ribuan, saya berlari kencang menuju gerbang kantor Dinas Sosial. Mencari dimana Azis berada. Ternyata ia sedang berdiri di pinggir pagar sambil memegang tongkat berwarna perak yang sebesar ibu jari orang dewasa. Wajahnya cemas, lama menunggu sendiri.

“Bang…” sapa saya dengan nafas yang ngos-ngosan.

“Jim? Kamu sudah sampai. Syukurlah.”

“Ayo Bang. Saya antar ke dalam.”

“Kamu yakin Jim?”

Laah..kan kita sudah di sini Bang. Masa' harus balik lagi?”

Saya memegang lengannya. Mengajaknya membuang ragu dengan melangkah pelan. Saya sudah membulatkan keberanian saya menjadi niat yang kukuh. Mengapa kini berbalik kanan? Ah, tidak begitu.

“Aziiis…?”

“Kamu Azis…. Azis kan?”

Sebuah suara, bukan sapa orang yang baru ketemu dengan sesosok yang pernah ada di masa lalu, namun lebih sebagai suara yang sedang memastikan target yang sejak lama dicari-carinya, menghentikan langkah kami. Siapa?

Dan tetiba saja sebuah serangan datang bersama teriakan yang keras melengking seolah singa bunting yang mengamuk dengan kemarahan yang mengepal pada jemari tangan dari lengan yang gemuk dengan sasaran tunggal: tubuh Azis yang mendadak wajahnya makin cemas dari wajah yang sama ketika bercakap kemarin di depan teras kamar kontrakan. Firasat yang terbukti.

Ternyata adalah serangan dari pemilik dagangan, pemodal, yang histeris sebab di hari kemarin yang naas itu seluruh penjajanya dirazia oleh satuan polisi pamong praja dan tak ada satu pun yang tersisa selain dibakar di depan kantor walikota pada upacara tadi pagi yang diliput media massa, dan itu berarti walikota telah menipu, seolah mereka sedang mengurbankan sesosok perawan yang menjadi penebusan supranatural terhadap kutukan wabah yang mematikan pada masyarakat kuno.

Hanya ada Azis yang didapatinya di depan kantor Dinas Sosial. Azis, seorang saja, yang menjemput naas kedua kali karena ajakan saya, seorang mahasiswa yang sedang berusaha menjadi sedikit saja berguna. Sedikit saja.

 Azis harus terlempar beberapa depa sembari melindungi kepalanya dengan dua telapak tangan agar tidak langsung menyentuh aspal dan bebatuan. Sedang saya, yang baru saja berusaha berniat baik membantunya keluar dari kesulitan, kini menjadi patung dengan mulut menganga. Hari yang naas belum sudi meninggalkan kesulitan di kegelapan mata pemuda yang baru kemarin menjadi akrab. Di depan mata saya yang belum lupa wajah-wajah sedih korban razia, perempuan gemuk menggulat tubuh lelaki muda yang tinggal di kamar yang lebih layak sebagai kandang hewan dengan pukulan dan cakaran bertubi, pukulan dan cakaran yang ganas dan seperti hendak menceraiberaikan tubuh hingga menyerupai potongan-potongan chicken nugget.

Hanya pertolongan dari beberapa pamong praja perempuan yang tidak suka melihat para penjaja kecil berkelahi karena dirazia yang menyelamatkan Azis. Karena lengan kekar mereka menarik “singa pemodal gemuk” yang mengamuk dengan pukulan bertubi bercampur cakaran yang penuh kehendak membunuh itulah yang mengeluarkan Azis dari cedera yang memiliki kemungkinan serius.

“Saya akan menggantinya. Saya akan menggantinya. Akan menggantinya.”

Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Azis, berulang kali, dengan bibir gemetar tanda ketakutan dan keterkejutannya masih kental menebal di segenap kesadarannya, ketika himpitan tubuh gemuk penuh nafsu membunuh yang sedang histeris itu diangkat dari tubuhnya.

Saya terus ingat kamar Azis yang berdinding tripleks. Dan kegelapan abadi di mata yang menemani hidupnya yang sendiri. Dan SPP yang belum dibayar.

 

***

Kisah fiksi ini diinspirasi dengan pengalaman faktual di sebuah kota kecil yang kini menyediakan dirinya sebagai rumah yang angkuh bagi pemujaan belanja juga gaya hidup urban. Kota yang mimpinya melahirkan tumbal dari ekonomi informal. 

Karya ini diikutsertakan untuk meramaikan event Bulan Kemanusiaan Rumpies The Club

kompasiana.com
kompasiana.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun