"Saya hanya harus mencari duit untuk mengganti yang dirazia lalu jualan lagi," katanya, menenangkan gundah, mengembalikan optimisme. Entah mengapa pedagang kecil seperti Azis selalu ulet lagi liat. Berkali dipukul, berkali pula muncul.
Jadi saya mengajukan ancaman yang konkrit, sebuah peristiwa yang baru saja mengusirnya dari trotoar:
“Bagaimana jika kena razia seperti barusan?”
“Ya harus diganti dengan nilai yang sama lagi,’ jawab Azis. Terkekeh.
“Lah, terus bagaimana cara barang dagangannya diganti Bang. Memangnya punya kerjaan lain?”
“Ya…itu yang sedang saya pikirkan..”
“Kita ke kantor Dinas Sosial Kota saja. Barang yang disita katanya bisa diambil kembali. Tapi jangan berjualan di trotoar lagi. Gimana?” usul saya.
“Kamu yakin, Jim?’
“Kan kata walikota di berita begitu Bang. Kita coba saja. Gimana?”
Sesungguhnya ketika mengatakan ini saya tahu sedang berteriak di depan mulut goa peninggalan Jepang bekas perang dunia kedua yang menyimpan masa lalu kekejian dan memantulkan misteri pada suara saya yang bergaung sendiri. Saya merasa tak yakin dagangannya masih ada di sana.
“Aduh Jim. Kayaknya tidak usah.”